Abstrak        Paper ini membahas bagaimana teknologi interaktif berperan sebagai faktor utama yang menjelaskan pertumbuhan dan keunggulan L...

Abstrak 
    Paper ini membahas bagaimana teknologi interaktif berperan sebagai faktor utama yang menjelaskan pertumbuhan dan keunggulan LSM. Penulis paper ini, yaitu Jonathan dan David memposisikan teknologi interaktif bukan sebagai alat melainkan sebagai bagian dari proses evolusi bersama yang membentuk praktik organisasi. Saat review ditulis, paper ini sudah berusia 18 tahun. Meskipun demikian, pendekatan yang digunakan pada paper ini berhasil memberikan penjelasan yang cukup kuat dan relevan untuk menjelaskan transformasi LSM hingga saat ini, terutama jika dikawinkan dengan perkembangan revolusi industri 4.0—yang menawarkan teknologi Big Data dan Data Science yang sedang populer dewasa ini. 

Keyword: LSM, Teknologi Interaktif, Pengetahuan. 

Image by Rudy and Peter Skitterians from Pixabay 


1. Problem yang Dibahas 
    Jonathan dan David mengawali pembahasan langsung pada inti persoalan, yaitu ko-evolusi LSM yang dipicu oleh teknologi interaktif. Untuk dapat memahami bentuk organisasi baru ini, J&D mengajak pembaca untuk mempelajari bagaimana peran dan praktik LSM bertransformasi bersamaan dengan munculnya teknologi interaktif baru. Menurutnya, transformasi tersebut dipercepat oleh alat digital yang memungkinkan untuk mengakses informasi teks, audio, visual, dan data base dalam lingkungan interaktif yang luas dan masif. 

    Namun, menurut Jonathan dan David, tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut yang secara langsung dapat menjelaskan pertumbuhan LSM. Menurutnya, semua dari teknologi interaktif tersebut hanyalah konteks yang menyediakan peluang. Oleh karena itu, inti pertanyaan pada paper ini adalah mengapa LSM dapat mengambil keuntungan dari keadaan ini?

2. Solusi Paper 
    Paper ini berusaha menunjukkan bahwa jawabannya terletak pada perkawinan ko-evolusi LSM dengan teknologi interaktif. Jonathan dan David meletakan dasar asumsi bahwa teknologi tidak dilihat sebagai alat, melainkan dilihat sebagai bagian dari proses ko-evolusi yang membentuk praktik organisasi. Pandangannya tentang masyarakat adalah sebagai entitas yang terdiri dari manusia dan bukan manusia (benda, teknologi, pengetahuan, dsb). Menurutnya, pandangan ini dapat menjelaskan mengapa LSM mampu mengambil peran yang lebih kuat dan kontroversial sebagai co-konstituen transformasi global.

3. Penjelasan Solusi 
    Jonathan dan David mengawali penjelasan dengan mengungkapkan kemunculan ruang pengetahuan akibat teknologi interaktif baru tersebut. Menurutnya, pengaplikasian teknologi interaktif terjadi sangat luas pada internet. Internet memberikan pelayanan intim terhadap LSM, yang jika dikompres maka akan menghasilkan tiga kata kunci, yaitu tautan, pencarian, dan interaksi. Menurut J&D, pelayanan internet tersebut menghasilkan apa yang disebutnya sebagai ruang pengetahuan—yang di dalamnya menghubungkan struktur sosial dengan jaringan pengetahuan. Menurutnya, perkawinan struktur sosial dengan jaringan pengetahuan tersebut menghasilkan struktur sosial kognitif dan jaringan pengetahuan kognitif. Jonathan dan David berargumen bahwa LSM dapat mengambil manfaat dengan mengembangkan dan mempromosikan jaringan pengetahuan mereka melalui ruang pengetahuan tersebut. Dari argumennya tersebut, J&D berspekulasi bahwa kemunculan bentuk-bentuk baru organisasi sosial didasari oleh perkembangan ruang pengetahuan tersebut.

    Selanjutnya, Jonathan dan David secara implisit menyatakan bahwa internet menghasilkan tatanan ruang-waktu baru, yaitu komunikasi real-time yang luas dan masif—yang dapat terhubung ke seluruh belahan dunia. Menurutnya, hal tersebut berdampak pada transformasi organisasi yang tercerminkan pada tiga bentuk perubahan. Pertama, pergeseran isu sosial dari isu kesakralan kedaulatan menjadi isu penegakan norma-norma universal. Kedua, pergeseran struktur dari struktur terdesentralisasi ke struktur terdistribusi. Ketiga, berubahnya model perubahan sosial dari model difusi menjadi model penerjemah. 

    Berikutnya, Jonathan dan David menjelaskan bahwa LSM mengalami pergeseran dari penerapan kedaulatan autarki menjadi kedaulatan kolaborasi. Menurut J&D, pergeseran ini pertanda keterlibatan LSM dalam memanfaatkan tatanan ruang-waktu baru—yang dihasilkan dari internet (teknologi interaktif baru). J&D berargumen bahwa konsep jaringan pengetahuan sejalan dengan logika operasional LSM. Secara implisit J&D juga menyatakan bahwa tampak ideal apabila LSM memanfaatkan kemudahan komunikasi dan jaringan pengetahuan yang difasilitasi oleh teknologi interaktif tersebut.

    Menurut Jonathan dan David, pertumbuhan tinggi LSM tidak hanya terkait dengan adanya peningkatan eksternal (teknologi interaktif baru), melainkan juga disebabkan LSM itu sendiri bergerak ke kolaborasi ketika menyadari bahwa kesuksesan terjadi saat kolaborasi. J&D juga menekankan pentingnya hubungan informal yang dibangun oleh pemimpin LSM sebagai pengorganisasian kekuatan selain dari akar rumput. 

    Namun, J&D tampak kesulitan dalam menjelaskan bagaimana LSM mengatasi konflik internal yang muncul akibat penerapan kedaulatan kolaborasi. J&D justru terseret kepada penjelasan relativis yang menggantungkan jawaban pada kemampuan subjektif aktor LSM dalam menghadapi konflik tersebut. Sehingga sulit untuk memisahkan antara penyebab eksternal (teknologi interaktif) atau penyebab internal (aktor LSM) dalam menentukan penyebab utama pergeseran menuju kedaulatan kolaborasi. 

    Kelemahannya tersebut semakin terbuka ketika Jonathan dan David justru menyimpulkan pernyataan dari hasil-hasil yang telah tampak pada perubahan besar LSM. Menurutnya, LSM telah berhasil berubah dan berada di garis depan dalam menggeser isu sosial dari isu kesakralan kedaulatan ke isu norma-norma universal, hal ini diakibatkan perpindahan menuju kedaulatan kolaborasi. Namun, apakah hasil perubahan tersebut mengindikasikan adanya pemanfaatan pelayanan teknologi interaktif yang berhasil? Atau justru lebih mengindikasikan keberhasilan aktor LSM? Atau terdapat faktor lainnya yang lebih signifikan? Logika deduksi yang digunakan J&D tersebut bermasalah karena berpotensi menggeneralisir setiap transofrmasi yang dialami oleh LSM. Meskipun demikian harus diakui, bahwa fungsi utama LSM sebagai penerjemah isu sosial memiliki logika yang sejalan dengan pelayanan ruang pengetahuan yang disediakan oleh teknologi interaktif. 

    Pada pembahasan selanjutnya, Jonathan dan David menyatakan bahwa penggunaan teknologi interaktif oleh LSM dan pergeseran kedaulatan menuju kolaborasi menjadikan peran LSM dalam globalisasi menguat, terutama sebagai model perantara pengetahuan. Menurutnya, penguatan model ini masuk akal. Hal ini disebabkan masyarakat modern diatur oleh informasi terukur yang diperantarai oleh mereka yang memiliki informasi dan mereka yang membutuhkannya. Dengan begitu, menurut J&D, LSM menempati posisi strategis dalam menerjemahkan isu sosial untuk menghimpun massa. 

    Menurut Jonathan dan David, LSM itu sendiri dapat bertransformasi dari penekanan fungsinya sebagai perantara informasi menjadi penekanan pada fasilitator pengetahuan (pemberi solusi). Menurutnya, LSM yang bertujuan mencari solusi dari suatu isu akan menggunakan fitur pencarian untuk menautkan dan berinteraksi. Lebih jauh lagi, peran LSM sebagai fasilitator pengetahuan dapat membawa LSM ke dalam asosiasi kekuasaan deliberatif. J&D memperkuat pernyataannya dengan mengutip hasil studi Charles Sabel, bahwa bukan negara yang lebih unggul sebagai fasilitator pengetahuan, melainkan asosiasilah yang lebih unggul sebagai fasilitator pengetahuan—yang mana asosiasi ini memungkinkan keterlibatan peran LSM di dalamnya. Dengan begitu, ketika LSM bergabung dengan asosiasi kekuasaan deliberatif tersebut, maka LSM berpotensi memainkan peran yang lebih besar dalam pengembangan institusi regional dan global. 

    Pada bagian akhir penjelasan, Jonathan dan David memberikan kesimpulan yang tidak proporsional. Ketidak-proporsionalannya terlihat pada penekanan yang terlalu optimis terhadap peningkatan fungsi pengetahuan sebagai sumber daya yang menciptakan kekuatan abadi asosiasi. Padahal dewasa ini, signifikansi pengetahuan hampir selalu terikat pada situasi kelas. Artinya, secerdas apapun LSM sebagai pemberi solusi akan hampir selalu dirintangi oleh struktur kelas yang ada. Pengetahuan memiliki kekuatan dalam asosiasi dikarenakan menguntungkan kepentingan-kepentingan kelas tertentu. Optimisme J&D terhadap meningkatnya fungsi pengetahuan adalah upaya untuk melebih-lebihkan peran teknologi interaktif yang memfasilitasi penciptaan ruang pengetahuan yang kemudian dapat membawa LSM ke dalam asosiasi kekuasaan. Jonathan dan David juga memberikan poin baru yang tidak dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yaitu munculnya pernyataan bahwa teknologi interaktif dapat memberikan hambatan pada transformasi LSM. Penulis tidak menemukan penjelasan atas poin ini. 

4. Peluang Pengembangan Penelitian 
    Pada akhir tulisannya, Jonathan dan David memberikan saran pengembangan penelitian agar berfokus pada dampak perkembangan ruang pengetahuan yang difasilitasi oleh teknologi interaktif terhadap transformasi yang mungkin terjadi pada LSM. 

Referensi
Bach, J., & Stark , D. (2002). LINK, SEARCH, INTERACT: THE CO-EVOLUTION OF NGOs AND INTERACTIVE TECHNOLOGY. ISERP WORKING PAPER 02-03, 1-12.

Umumnya, kemiskinan dipandang sebagai kegagalan individu dalam berkontestasi di arena sosial. Pandangan tersebut mudah diterima di masyara...

Umumnya, kemiskinan dipandang sebagai kegagalan individu dalam berkontestasi di arena sosial. Pandangan tersebut mudah diterima di masyarakat tatkala dikaitkannya kondisi kemiskinan dengan kondisi rendahnya tingkat pendidikan, kemalasan, dan kebodohan si individu miskin tersebut. Melalui pandangan seperti itu, orang miskin sering kali disalahkan atas kondisi yang menimpa dirinya. Padahal..
Gambar oleh Peter H dari Pixabay 
.. kebanyakan dari kondisi kemiskinan diwarisi oleh generasi-generasi sebelumnya, yaitu orangtua-orangtua mereka. Individu yang tidak berdaya menerima warisan kondisi tersebut, mau tidak mau, hanya mendapatkan akses sumber daya yang apa adanya sebagai bekal bawaan mereka untuk bertempur di arena sosial. Sedangkan individu-individu lain yang berasal dari kalangan berada, mereka sedari awal telah mendapatkan akses lebih untuk bertempur di arena sosial. Mereka memiliki persiapan matang untuk terjun ke medan pertempuran.

Kenyataan memang demikian, tidak dapat dipungkiri dan tidak perlu disesali. Namun di balik itu semua, ada sifat-sifat yang menstimulasikan keadaan demikian yang dapat diubah, yaitu keserakahan. Tidak sepatutnya manusia tetap mewarisi sifat-sifat yang sejatinya tidak menambah apa-apa bagi hidup mereka. Tidak hanya orang kaya, meskipun kebanyakan memang orang kaya, orang miskin juga dapat menjadi serakah. Hanya saja, orang miskin tidak memiliki sarana dan momentum untuk menyalurkannya. Ini sifat umum yang dimiliki mayoritas manusia, terlepas dari asal-muasal kelas sosialnya. Sifat ini, dalam pandangan penulis, bertanggungjawab mereproduksi kemiskinan di masyarakat.

Seharusnya, keserekahan adalah subjek utama yang dibahas perihal masalah-masalah kemiskinan. Tidak seperti kemiskinan, keserekahan adalah kehendak sadar arogansi manusia yang dinyatakan ke dalam tindakan yang mengakumulasikan kapital. Oleh karena keserakahan adalah kehendak sadar manusia, maka sudah sewajarnya yang dipersoalkan adalah keserakahan itu sendiri, bukannya malah kemiskinan yang bahkan tidak dikehendaki oleh siapa pun.

Keserakahan adalah kehendak, sedangkan kemiskinan bukan kehendak. Namun, konstruksi sosial masyarakat masih menganggap kemiskinan sebagai pilihan gagal yang dikehendaki secara individual. Oleh karena itu, lahirlah pandangan umum masyarakat yang membenarkan penghakiman terhadap individu yang terjerat kemiskinan. Lebih dari itu, kebijakan dan hukum yang diproduksi oleh struktur sosial masyarakat juga menjadikan kemiskinan sebagai subjek utama yang harus diberikan stimulasi, alih-alih membatasi keserakahan manusia itu sendiri sebagai kehendak yang mendorong lahirnya kemiskinan.

Ketika moralitas tidak lagi membayang-bayangi manusia maka yang lahir adalah adegan tindas-menindas.

Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhl...

Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhluk cerdas, dan lain sebagainya. Oleh karena makna merupakan bagian dari kehidupan manusia, maka mempersoalkannya adalah bentuk gugatan terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Kenapa kita harus mempersoalkan makna? Apakah ada sesuatu di balik makna? Dan bagaimana makna memengaruhi kehidupan manusia?
Menggugat Makna
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay 
Eksistensi tidak sendirinya hadir dengan makna. Melalui lika-liku kehidupan, eksistensi mulai menyadari keterasingannya di pusaran realitas. Keterasingannya tersebut mencemaskan eksistensi akan hakikat dirinya, asal-muasal dirinya, dan untuk apa dirinya ada. Untuk menyembunyikan dan menutupi rasa cemas dari keterasingannya tersebut, manusia menggunakan berbagai cara, dan salah satunya melalui penggunaan makna.

Bagi eksistensialis, makna hanyalah salah satu alat untuk menjembatani kesadarannya agar 'terhubung' dengan realitas. Tidak seperti manusia umumnya—yang memandang makna sebagai bagian dari manusia itu sendiri—bagi eksistensialis, makna terpisah dari eksistensi manusia itu sendiri. Sebagaimana alat, eksistensialis mengoperasikan makna, bukan malah sebaliknya, dioperasikan oleh makna. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka makna tengah digugat!

Menggugat Makna

Makna, seringkali berperan sebagai pelaku yang menstimulasi pikiran, perasaan, dan tindakan manusia untuk membenarkan aksi ataupun reaksi manusia terhadap realitas di sekitarnya. Misalnya, apabila dibandingkan dengan orang berpakaian rapih, orang berpakaian lusuh umumnya mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda (orang lusuh < orang rapih). Adanya hierarki makna di antara keduanya seolah-olah menjadi pembenaran atas perlakuan yang berbeda. Padahal, keduanya sama-sama manusia yang terasingkan oleh realitas—yang kedatangannya sama-sama tidak membawa makna.

Selain itu, makna juga berperan dalam memproduksi ketidakadilan yang difasilitasi oleh ketidaksetaraan yang tidak dapat dihindarkan oleh pendistribusian acak dadu kehidupan. Misalnya, orang dengan wajah kurang simetris dan berkulit gelap, saat kesan pertama, cenderung sulit mendapatkan kehangatan emosional apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki wajah simetris dan berkulit cerah. Kenyataan ini disebabkan oleh hierarki makna yang ada pada keduanya. Hal ini pula membuat sebagian orang, dalam kasus yang tidak dapat dihindarkan, harus berusaha lebih keras dari yang lainnya. 

Kenyataan-kenyataan yang dimaknai secara hierarki seperti inilah yang membuat Penulis geram dan harus dipersoalkan. Bagaimana tidak, Penulis sendiri terkadang menjadi korban dari ketidakadilan hierarki makna tersebut. Terkadang, Penulis dihakimi oleh pemaknaan yang bahkan tidak merepresentasikan diri Penulis. Meskipun begitu, harus diakui pula bahwa pemaknaan yang mendahului realitas terkadang juga menguntungkan. Hal ini pun membuktikan bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.

Realitas atau kenyataan itu sendiri dapat dianalogikan sebagai suatu hindangan, dimaknai bagaimanapun juga, rasanya tetap sama. Hanya saja, ketika kita memaknainya, maka cara kita melihat dan menafsirkan realitas suatu hidangan menjadi berubah dan bervariasi. Apa yang dikomunikasikan kepada orang lain tentang hidangan tersebut pun menjadi tidak apa adanya, kadang meninggikan, kadang merendahkan. Kekonyolan seperti inilah yang menjadi kenyataan bagi sifat makna itu sendiri.

Sesuatu di balik Makna

Meskipun demikian, makna tidak dapat bertahan dan melembaga dengan sendirinya, kecuali memang sengaja dilestarikan dan direproduksi secara kontinu untuk tujuan tertentu. Lalu, siapa yang sengaja mereproduksinya untuk tujuan tertentu? Jawabannya, semua manusia yang sadar bahwa situasi kelasnya terikat oleh makna. Mereka adalah eksistensi yang bersembunyi di balik topeng kepentingan kelas mereka.

Persembunyian eksistensi ini bukan tanpa alasan, melainkan terdapat tujuan mendasar untuk mempertahankan kemapanan dirinya agar tetap 'ada'. Dan situsi kelas adalah sarana yang paling merepresentasikan kemampuan eksistensi dalam mempertahankan kemapanan dirinya di pusaran realitas. Misalnya, orang-orang kelas atas, mereka memiliki akses melimpah ke berbagai macam sumber daya di masyarakat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya agar tetap 'ada'. Sebaliknya dengan orang-orang kelas bawah, akses mereka sangat terbatas, 'ada' mereka sangat rentan.

Situasi semua kelas terikat oleh situasi pasar yang mana motor penggeraknya bukan hanya kebutuhan primer—sandang, pangan, papan—semata, melainkan terdapat motor ideologi sebagai kumpulan makna yang mengoperasikan hidup manusia dengan cara-cara tertentu. Motor ideologi tersebut menciptakan pola keteraturan yang kemudian dapat dengan mudah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan kelas tertentu.

Misalnya, ideologi-ideologi yang mewacanakan berbagai dikotomi biner antara makna kehidupan modern/ canggih/ keren dan makna kehidupan primitif/ kuno/ katro. Ideologi-ideologi semacam itu menguatkan situasi kelas yang memegang kendali atas perubahan dan kemajuan dalam bidang teknologi dan industri—yang keterlembagaannya ditopang oleh kekuatan institusi sosial-politik. Tanpa hierarki makna yang dibangun oleh dikotomi biner itu, usaha mereka menjual teknologi dan industri sulit menuai hasil.

Saat ini, kita hidup dalam bayang-bayang ideologi tersebut, seolah-olah, jika eksistensi kita tidak menjelma sebagai ekspektasi ideologi kehidupan modern, maka eksistensi kita menjadi kurang bermakna apabila dibandingkan oleh mereka yang memenuhi ekspektasi ideologi kehidupan modern. Ini nyata, tidak percaya? Coba saja dipraktikan. Apabila meminjam istilah Durkheim, maka hal ini dapat dinyatakan sebagai fakta sosial non-material—dengan cirinya yang universal, eksternal, dan memaksa.

Makna dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Manusia

Apabila ditinjau berdasarkan kedudukannya, makna dapat dibagi menjadi dua, yaitu makna struktural dan makna individual. Makna struktural adalah makna yang dibagikan, diakui, dikembangkan, dan dilembagakan secara kolektif di masyarakat. Misalnya, makna yang mengatur cara berpakaian manusia. Sedangkan makna individual adalah makna yang terbatas jika dibagikan dan terbentur oleh pengakuan orang lain. Makna individual diproduksi oleh keunikan pengalaman manusia secara personal—yang apabila kita membagikannya kepada orang lain, maka orang lain belum tentu dapat memahaminya, apa lagi mengakuinya. Misalnya, curahan hati orang perihal perasaan pribadinya terhadap orang yang disukainya.

Kenyataannya, kita senantiasa hidup dalam bayang-bayang makna, baik makna struktural ataupun individual. Kenyataan yang diperoleh dari makna struktural adalah fungsinya yang memfasilitasi cara manusia dalam berasa, berpikir, dan bertindak. Sedangkan kenyataan dari makna individual adalah fungsinya yang memfasilitasi kebebasan berekspresi secara personal. Kedua kenyataan tersebut saling berdialektika dalam memengaruhi kehidupan manunsia. Dan menariknya, karena dialektika itu makna dapat diretas fungsinya sejauh tidak dipertemukan dengan realitas, alias dijadikan sebagai alat kebohongan! Masih ingat, 'kan? Bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.

Apa-apa yang dapat dipengaruhi oleh makna adalah apa-apa yang dapat dimanfaatkan dari makna. Kehidupan manusia senantiasa dipengaruhi makna dikarenakan manusia memahami manfaat yang ada pada makna. Meskipun begitu, penggunaan makna terkadang tidak sejalan dengan manfaat utamanya sebagai ukuran yang mewakili realitas. Misalnya, pada perbedaan makna profesi. Seharusnya, makna suatu profesi diutamakan dari tingkat penghasilannya, namun kenyataan di lapangan dapat terjadi sebaliknya. Misalnya, seorang pengemis jalanan dapat menghasilkan uang 6-8 juta dalam sebulan, sedangkan seorang pegawai kantoran hanya mendapatkan gaji tetap 4 juta dalam sebulan. Namun kenyataannya, profesi pengemis tetaplah bermakna lebih rendah dari pada profesi pegawai kantoran.

Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia? Makna atau nilai dari realitas (penghasilan)? Melihat dari perbandingan makna profesi sebelumnya, maka makna seolah-olah lebih diutamakan dari pada nilai realitas (penghasilan) itu sendiri. Jawabannya tentu saja bukan karena manusia itu bodoh. Saat keadaan tertentu, manusia lebih memprioritaskan makna dikarenakan makna itu sendiri memiliki nilai yang dipertimbangkan secara struktural ataupun individual. Rendahnya makna profesi pengemis meskipun memiliki penghasilan lebih tinggi dari pegawai kantoran disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan struktural, salah satunya adalah prestise atau gengsi suatu profesi.

Dari kenyataan-kenyataan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna memiliki dunianya sendiri yang nilainya tidak selalu terikat oleh realitas. Artinya, makna adalah lapisan terpisah dari realitas yang beroperasi untuk mewakili realitas namun juga menciptakan realitasnya sendiri—yang bahkan nilai realitas ciptaannya dapat digunakan untuk melawan nilai dari realitas aslinya. Kenapa terjadi demikian? Karena gugatan eksistensialis terhadap makna, agar realitas yang tiada makna dihidupi sebagai moral.

Sebagaimana prinsip ekonomi, terjadinya pertukaran perilaku yang dilangsungkan melalui proses interaksi sosial diasumsikan melibatkan biay...

Sebagaimana prinsip ekonomi, terjadinya pertukaran perilaku yang dilangsungkan melalui proses interaksi sosial diasumsikan melibatkan biaya (cost) untuk mendapatkan ganjaran (reward) dari keberlangsungan hubungan pertukaran tersebut.
Prinsip kepentingan minimum Homans
Gambar oleh www_slon_pics dari Pixabay 
Sebelum itu, perlu diingat kembali bahwa ketidakpuasan (deprivation) dan kejenuhan (satiation) dalam suatu hubungan pertukaran sangat mungkin terjadi. Deprivasi terjadi apabila suatu ganjaran yang serupa diterima dalam jangka waktu berdekatan. Misalnya, seseorang yang berhasil menjadi murid terbaik (cost) diberi hadiah mobil oleh ayahnya (reward 1), kemudian tidak lama berselang diberi hadiah sepeda oleh gurunya (reward 2), ganjaran yang diberikan gurunya tersebut menjadi tidak terlalu memuaskan karena kepuasannya telah diluapkan pada pemberian mobil dari Ayah (reward 1). 

Sedangkan kejenuhan (satiation) adalah situasi di mana hadiah guru dan hadiah-hadiah yang diberikan orang lain setelahnya, menjadi tidak diinginkan lagi disebabkan efek berkurangnya kepuasan (deprivation) yang dihasilkan oleh jarak waktu pemberian reward yang saling berdekatan.

Berangkat dari penjelasan konsep deprivation dan satiation tersebut, dapat disimpulkan, bahwa besaran nilai suatu ganjaran ditentukan oleh intensitas kepuasan yang diperoleh dengan biaya dan waktu tertentu. Apabila seseorang memiliki biaya besar dan dapat memperoleh suatu ganjaran kapan saja dia inginkan, maka nilai kepentingan/urgensi suatu ganjaran menjadi berkurang. Hal ini lah yang kemudian melandasi munculnya prinsip kepentingan minimum.

Prinsip Kepentingan Minimum dan Asal Muasal Kekuasaan

Prinsip kepentingan minimum adalah kondisi di mana orang yang memiliki kepentingan paling sedikit terhadap ganjaranyang ditawarkan dalam suatu hubungan pertukaranpaling mampu menentukan situasi pertukaran. Prinsip ini menghasilkan kekuasaan di tangan salah satu pihak yang berpartisipasi, "Sebab dalam pertukaran (dengan situasi tersebut), seseorang memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memberi orang lain ganjaran ketimbang yang mampu diberikan orang itu kepadanya" Homans dalam (Poloma, 1979).

Misalnya, pada kasus pacaran tidak berimbang antara artis dan orang biasa. Apabila seorang artis terkenal menjalin hubungan pacaran dengan orang biasa, maka prinsip kepentingan minimum berlaku pada artis terkenal tersebut. Artis terkenal tersebut tidak bergantung pada ganjaran yang dihasilkan oleh hubungan pacarannya tersebut. Sang artis, bisa saja bergonta-ganti hubungan yang sangat mungkin pada hubungan selanjutnya mendapatkan ganjaran yang lebih dari yang sebelumnya. Sebaliknya, orang biasa akan berusaha mati-matian untuk mempertahankan hubungan pacarannya tersebut disebabkan ganjaran yang dihasilkannya, seperti ketenaran, misalnya.

Di sini lah asal muasal kekuasaan, di mana salah satu pihak (orang biasa) bergantung terhadap ganjaran yang disediakan oleh pihak lainnya (Artis) melalui hubungan pertukarannya (pacaran) tersebut. Maka dari itu, sang Artis memperoleh kekuasaan dari ketergantungan pihak lain (orang biasa) tersebut atas ganjaran yang dikendalikannya. Dengan demikian, sang Artis memperoleh kepatuhan dari pasangannya yang hanya orang biasa dan dapat dengan leluasa mengatur jalannya suatu hubungan tanpa khawatir kehilangan suatu ganjaran.

Status: Diferensiasi Pelayanan (cost & reward) dan Keadilan Distributif

Pada kenyataannya, individu-individu yang ada di masyarakat memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan pengorbanan/pelayanan (cost) terhadap suatu hubungan. Oleh karena perbedaan kontribusi pengorbanan dalam suatu hubungan, maka setiap individu memperoleh ganjaran (reward) yang berbeda-beda pula berdasarkan tingkat dan jenis kontribusinya.

Cara-cara terkait bagaimana suatu ganjaran didistribusikan juga ditentukan oleh bagaimana jenis pelayanan/pengorbanan (biaya) diberi nilai berdasarkan kontribusinya terhadap tujuan hubungan pertukaran. Selain itu, besar kecilnya pemberian ganjaran terhadap jenis pelayanan/pengorbanan juga ditentukan oleh perbandingan secara umum terhadap ganjaran dari jenis pelayanan/pengorbanan yang sama atau mirip di masyarakat. Mekanisme-mekanisme pemberian ganjaran terhadap jenis-jenis pelayanan ini lah melahirkan keadilan yang bersifat distributif.

Keadilan distributif kemudian mempengaruhi keputusan seseorang dalam membangun suatu hubungan pertukaranyang senantiasa mempertimbangkan tepatnya suatu distribusi biaya dan ganjaran tertentu. Dengan begitu, melalui keadilan distributif, mereka-mereka yang memiliki biaya (cost) lebih tinggi—dalam suatu hubungan pertukaranmenuntut perolehan ganjaran (reward) yang lebih tinggi pula.

Oleh karena itu, dalam suatu kelompok pertukaran, lahirnya status-status merupakan hasil dari keadilan distributif yang telah disepakati oleh anggota-anggota kelompok yang bersangkutan. Kesadaran bahwa beberapa anggota memiliki kontribusi lebih dari pada anggota lainnyaterhadap tujuan kelompokmengakibatkan lahirnya pembedaan status secara hierarki di antara anggota kelompok. Umumnya, anggota yang mampu memberikan biaya yang paling besar terhadap suatu kelompok memiliki status yang lebih tinggi dengan ganjaran yang tinggi pula, seperti status ketua, misalnya. Meskipun begitu, hukuman yang lebih tinggi juga menanti mereka (status tinggi) yang gagal memberikan pelayanan sebagaimana statusnya dalam suatu kelompok.

Daftar Pustaka

Johnson, D. P. (1981). Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives.
Poloma, M. M. (1979). Contemporary Sociological Theory.

Teori pertukaran sosial didasarkan pada suatu asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Sebagaimana orang menyediakan ...

Teori pertukaran sosial didasarkan pada suatu asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Sebagaimana orang menyediakan barang dan jasa dengan tujuan memperoleh imbalan berupa barang atau jasa yang diinginkan dari orang lain, maka interaksi sosial pun dipandang demikian. Sebagai gambaran awal dalam memahami pertukaran sosial, teori ini memulai analisisnya dengan menggambarkan kerangka hubungan sosial menggunakan prinsip dasar ekonomi, selanjutnya mendeskripsikan perilaku individu dalam konteks struktural, dan kemudian menjelaskan motif-motif perilaku individu menggunakan psikologi perilaku.
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay 
Teori yang dikembangkan oleh Homans berupaya untuk memperbaiki kekurangan teori fungsional yang memandang sebelah mata peran individu. Dengan memberikan tekanan individualistik pada teorinya, perilaku individu dipandang sebagai kunci yang menjelaskan fenomena sosial.

Persamaan dan Perbedaan: Asumsi Terkait Manusia dan Masyarakat

Ketidakpuasan Homans terhadap teori fungsional membuahi lahirnya teori pertukaran sosial. Hemat penulis, penting untuk mengetahui asumsi dasar Homans terkait manusia dan masyarakat serta persamaan dan perbedaannya terhadap teori fungsional. 

Dalam asumsinya tentang manusia, Homans memiliki banyak kesamaan dengan teori fungsional. Homans memandang manusia sebagai makhluk yang rasional—yang berorientasi tujuan—dan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan—struktur nilai, norma, aturan—yang berada di luar dirinya. Baik teori pertukaran maupun teori fungsional—keduanya—memandang manusia memiliki pilihan yang dibatasi secara struktural dan memberikan sedikit perhatian pada tindakan kreatif manusia. Sebagaimana yang dinyatakan Homans (1967), walaupun bertindak rasional, manusia tetap melakukannya di bawah "ilusi pilihan": "saya berbicara tentang ilmu sebab, saya sendiri percaya bahwa apa yang masing-masing kita lakukan benar-benar telah ditentukan sebelumnya".

Meskipun demikian, Homans menolak penjelasan fungsional tentang masyarakat. Menurutnya, eksistensi masyarakat tidak dapat dipisahkan dari eksistensi individu yang senantiasa dalam proses pertukaran sosial. Bagi Homans dalam Poloma (1979), "orang-orang, bukan masyarakat yang memiliki kebutuhan. Hal ini sangat jelas dan menerima pandangan lain hanya akan membawa kita jauh dari pembicaraan kebenaran tentang masalah-masalah manusia." Maka dari itu, apabila fungsionalisme struktural menekankan struktur sosial sebagai unit analisis dalam sosiologi, maka Homans menekankan proses interaksi yang menghasilkan perilaku individu sebagai unit analisisnya.

Teori Pertukaran Homans

Homans berusaha bergerak lebih jauh dari upaya deskripsi (The Human Group) menuju upaya eksplanasi yang dituangkan dalam bukunya yang terbit 10 tahun kemudian, yaitu Social Behavior: its elementary Forms. Dapat dikatakan bahwa pandangan Homans semakin mikro, menurunkan proposisi-proposisi kelompok—yaitu kegiatan, interaksi, dan perasaan dalam sistem eksternal dan internal—menjadi proposisi-proposisi individu—yaitu sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu-agresi. Secara eksplisit, Homans membatasi dirinya pada interaksi tatap-muka dimana pertukaran sosial bersifat langsung, bukan tidak langsung.

Dalam membangun teori pertukarannya, Homans menggunakan konsep psikologi perilaku Skinner dan konsep dasar ekonomi. Pada psikologi perilaku, temuan dari eksperimen Skinner terhadap binatang (burung merpati) digunakan Homans untuk mengamati perilaku sosial manusia terkait stimulasi positif atau negatif yang dihasilkan melalui proses interaksi manusia yang kemudian saling membentuk perilaku manusia tersebut. Reaksi perilaku manusia terhadap stimulasi yang dihasilkan melalui proses interaksi tersebut dilihat sebagai hasil yang berorientasi pada masa sekarang.

Pada konsep dasar ekonomi, Homans menggunakan konsep biaya (cost), imbalan (reward), dan keuntungan (profit) untuk menggambarkan perilaku manusia yang secara kontinu dihasilkan melalui pertimbangan-pertimbangan ketiga konsep tersebut dengan tujuan menghasilkan pilihan-pilihan alternatif dalam berperilaku. Dalam konsep dasar ekonomi, pertimbangan-pertimbangan manusia dalam berperilaku diorientasikan untuk hasil di masa depan.

Dengan begitu, konsep dasar ekonomi dapat menggambarkan hubungan-hubungan pertukaran, dan sosiologi, dapat menggambarkan struktur-struktur sosial yang melatari kejadian suatu pertukaran, tetapi yang memegang kunci penjelasan adalah psikologi perilaku. (Poloma, 1979)

Kemudian, dalam (Johnson, 1981) Homans menyatakan "seperangkat proposisi umum yang akan saya gunakan dalam buku ini, menggambarkan perilaku sosial sebagai suatu pertukaran kegiatan paling kurang antara dua orang, yang nampak atau yang tersembunyi, dan kurang lebih yang memberikan reward atau mengeluarkan cost." Selain itu, dalam merespon pemikiran fungsional, Homans dalam (Poloma, 1979) "bukan hanya status dan peran yang berasal dari fungsionalisme yang menyediakan mata rantai antara individu dan struktur sosialnya; melainkan oleh karena struktur atau lembaga-lembaga demikian itu terdiri dari individu-individu yang terlibat dalam proses pertukaran barang berwujud materi maupun non-materi."

Oleh karena itu, Homans percaya bahwa proses pertukaran dapat dijelaskan lewat pernyataan proposisional Skinnerian, yaitu sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu-agresi (Poloma, 1979). Berikut adalah penjelasan dari masing-masing proposi-proposisi tersebut.

Pertama, proposisi sukses. Proposisi ini menggambarkan terbentuknya perilaku manusia karena tindakan-tindakan yang dilakukan sukses mendapatkan ganjaran. Menurut Homans dalam (Poloma, 1979) "semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka semakin sering manusia akan melakukan tindakan tertentu itu." Pendek kata, proposisi ini dapat menjawab pertanyaan "kenapa manusia hanya melakukan tindakan-tindakan tertentu?"

Kedua, proposisi stimulus. Proposisi ini menggambarkan seperangkat stimulus tertentu yang dilibatkan dengan peristiwa terjadinya suatu tindakan. "Jika di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama," Homans dalam (Poloma, 1979). Secara sederhana, stimulus dapat dikatakan sebagai rangkaian kegiatan atau cara untuk mencapai proposisi sukses. Proposisi ini dapat menjawab pertanyaan "kenapa tindakan-tindakan tertentu sukses memperoleh ganjaran?"

Ketiga, proposisi nilai. Homans dalam (Poloma, 1979) menyatakan bahwa "semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorang melakukan tindakan itu." Proposisi ini menjelaskan ganjaran dan hukuman yang terdapat dalam suatu tindakan. Proposisi nilai merupakan inti dari proposisi yang bersifat eksplanasi (penjelas) yang merepresentasikan urgensitas/kepentingan suatu tindakan yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia menginginkan ganjaran dari kesuksesan tindakan tertentu?"

Keempat, proposisi deprivasi-satiasi. Dalam (Poloma, 1979) Homans menyatakan bahwa "semakin sering di rentang waktu yang dekat seseorang menerima suatu ganjaran, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu." Artinya, nilai kepuasan suatu ganjaran akan berkurang apabila diterima terus-menerus dalam waktu dekat. Misalnya, orang yang haus apabila mendapatkan ganjaran minum air maka akan memperoleh nilai kepuasan maksimum di awal, akan tetapi, minum air untuk kedua kalinya  dalam waktu dekat akan mengurangi nilai kepusan, bahkan pada titik tertentu, ganjaran dapat berubah menjadi hukuman, misalnya kembung. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia menjadi tidak puas meskipun memperoleh ganjaran dari tindakan yang sama?"

Kelima, proposisi restu-agresi. Apabila tindakan yang diperbuat manusia tidak memperoleh ganjaran yang diinginkannya, maka manusia cenderung meluapkan kekecewaannya ke dalam tindakan marah atau sedih sebagai tanda ketidakpuasan terhadap ganjaran dari tindakannya tersebut. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia dapat bertindak marah dan sedih?"

Kesimpulan

Dengan melihat proposisi sebagai separangkat unit analisis, Homans percaya para ahli sosiologi dapat menjelaskan apa yang disebut kaum fungsionalis struktural sebagai "struktur sosial". Bagi Homans, perilaku sosial yang paling institusional dan non-institusional dengan demikian dapat dijelaskan melalui penerapan dan penyempurnaan kelima proposisi psikologis elementer itu. (Poloma, 1979)

Salah satu perbedaan yang paling penting antara perilaku non-institusional dan perilaku institusional adalah bahwa yang institusional jauh lebih kompleks dengan banyak pertukaran yang bersifat tidak langsung daripada yang langsung. Homans mengemukakan bahwa institusi sosial tidak bertahan dengan dinamikanya sendiri yang terlepas dari proses sosial (pertukaran perilaku) yang mendasar. Dengan demikian, institusi sosial itu senantiasa tergantung pada dinamika perilaku sosial dasar, di mana individu berusaha memuaskan kebutuhannya sebagai manusia (bukan sebagai anggota suatu institusi sosial atau masyarakat). (Johnson, 1981)

Daftar Pustaka

Johnson, D. P. (1981). Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives.
Poloma, M. M. (1979). Contemporary Sociological Theory.

Sebelum memutuskan bercerai dengan teori fungsional, pemikiran Homans dalam karyanya  The Human Group  memberikan sumbangan terhadap anali...

Sebelum memutuskan bercerai dengan teori fungsional, pemikiran Homans dalam karyanya The Human Group memberikan sumbangan terhadap analisis struktur, proses, dan fungsi sosial pada kelompok kecil (primer). Pada tulisan ini, penulis akan membahas secara ringkas bahasan The Human Group yang mana merupakan sumbangan Homans terhadap teori fungsional.
Kelompok primer (kecil) Homans
Gambar oleh StockSnap dari Pixabay

Kelompok Primer Homans dan Teori Fungsional

Kenapa kelompok kecil? Menurut Homans, sistem sosial kelompok kecil identik dengan hukum-hukum perkembangan, struktur, dan fungsi dalam kelompok besar, termasuk peradaban secara keseluruhan, misalnya. Selain itu, keuntungan meneliti kelompok kecil adalah karena kemudahannya untuk diamati ketimbang kelompok besar.

Dalam pengertiannya, Homans menggambarkan kelompok sebagai "sejumlah orang yang berkomunikasi satu sama lain dalam frekuensi tinggi dalam jangka waktu tertentu, dan hanya terdiri dari beberapa orang saja sehingga masing-masing mampu berkomunikasi dengan semua orang lain tanpa lewat seseorang" (Homans, 1951).

Dalam menjelaskan fenomena kelompok kecil, Homans menggunakan tiga konsep utama, yaitu kegiatan, interaksi, dan perasaan. Konsep kegiatan digambarkan sebagai perilaku aktual individu yang dapat dibandingkan menurut persamaan dan perbedaan—tingkatannya dan kegiatannya—terhadap individu lain. Konsep interaksi digambarkan sebagai segala sesuatu yang merangsang dan dirangsang oleh/untuk kegiatan individu lain—yang dapat dibedakan menurut frekuensi, stimulasi sebab-akibat, dan sarana/medium terjadinya interaksi. Sedangkan konsep perasaan, digambarkan sebagai tanda eksternal—seperti raut wajah marah dan tersenyum—yang menunjukan keadaan internal—seperti perasaan kekecewaan dan kepuasan.

Menurut Homans, ketiga elemen tersebut membentuk suatu keseluruhan yang terorganisir dan berhubungan secara timbal-balik, yang kemudian membentuk sistem sosial suatu kelompok. Perubahan pada salah satu elemen akan merangsang perubahan pada elemen lainnya. Jangkauan pengaruh yang dihasilkan dari hubungan timbal balik ketiga elemen tersebut menandakan batas suatu kelompok. Di luar selain itu, adalah pengaruh kepribadian dan personal yang dibawa oleh individu dari luar kelompok dan juga pengaruh konteks sosial-budaya yang secara umum menyelimuti kelompok tersebut.

Berangkat dari penjelasan tersebut, analisis Homans terhadap kelompok kecil melahirkan gambaran tentang sistem eksternal dan internal. Sistem eksternal adalah kegiatan, interaksi, dan perasaan yang bersifat formal—seperti peran individu yang termasuk di dalamnya hak dan kewajiban, dan juga peran peralatan serta teknologi—yang semuanya telah diatur sesuai tujuan kelompok. Sedangkan sistem internal, adalah kegiatan, interaksi, dan perasaan yang bersifat informal—seperti hubungan asmara dan persahabatan dalam suatu kelompok. Kedua sistem ini—eksternal dan internal—memiliki hubungan saling memengaruhi.

Meskipun Homans mengakui bantuan teori fungsional dan juga mendapatkan pujian atas sumbangannya The Human Group, Homans tetap merasa tidak puas. Menurutnya, teori fungsional telah gagal menjelaskan fenomena sosial karena terbatas pada pemahaman yang bersifat deskriptif. Bagi Homans, "setiap ilmu haruslah melakukan dua kewajiban: yaitu menemukan dan menjelaskan. Dengan yang pertama kita menilai apakah itu benar-benar merupakan suatu ilmu, sedang dengan yang kedua, kita harus mengetahui sejauh mana ia berhasil sebagai suatu ilmu (Homans, 1969)." Dengan demikian, teori fungsional hanya dipandang sebagai usaha dalam mendeskripsikan fenomena sosial namun gagal dalam memberikan penjelasan.

Daftar Pustaka

Johnson, D. P. (1981). Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives.
Poloma, M. M. (1979). Contemporary Sociological Theory.