Abstrak Paper ini membahas bagaimana teknologi interaktif berperan sebagai faktor utama yang menjelaskan pertumbuhan dan keunggulan L...
A Review on “Link, Search, Interact: The Co-evolution of NGOs and Interactive Technology”
Umumnya, kemiskinan dipandang sebagai kegagalan individu dalam berkontestasi di arena sosial. Pandangan tersebut mudah diterima di masyara...
Keserakahan dan Kemiskinan
Gambar oleh Peter H dari Pixabay |
Kenyataan memang demikian, tidak dapat dipungkiri dan tidak perlu disesali. Namun di balik itu semua, ada sifat-sifat yang menstimulasikan keadaan demikian yang dapat diubah, yaitu keserakahan. Tidak sepatutnya manusia tetap mewarisi sifat-sifat yang sejatinya tidak menambah apa-apa bagi hidup mereka. Tidak hanya orang kaya, meskipun kebanyakan memang orang kaya, orang miskin juga dapat menjadi serakah. Hanya saja, orang miskin tidak memiliki sarana dan momentum untuk menyalurkannya. Ini sifat umum yang dimiliki mayoritas manusia, terlepas dari asal-muasal kelas sosialnya. Sifat ini, dalam pandangan penulis, bertanggungjawab mereproduksi kemiskinan di masyarakat.
Seharusnya, keserekahan adalah subjek utama yang dibahas perihal masalah-masalah kemiskinan. Tidak seperti kemiskinan, keserekahan adalah kehendak sadar arogansi manusia yang dinyatakan ke dalam tindakan yang mengakumulasikan kapital. Oleh karena keserakahan adalah kehendak sadar manusia, maka sudah sewajarnya yang dipersoalkan adalah keserakahan itu sendiri, bukannya malah kemiskinan yang bahkan tidak dikehendaki oleh siapa pun.
Keserakahan adalah kehendak, sedangkan kemiskinan bukan kehendak. Namun, konstruksi sosial masyarakat masih menganggap kemiskinan sebagai pilihan gagal yang dikehendaki secara individual. Oleh karena itu, lahirlah pandangan umum masyarakat yang membenarkan penghakiman terhadap individu yang terjerat kemiskinan. Lebih dari itu, kebijakan dan hukum yang diproduksi oleh struktur sosial masyarakat juga menjadikan kemiskinan sebagai subjek utama yang harus diberikan stimulasi, alih-alih membatasi keserakahan manusia itu sendiri sebagai kehendak yang mendorong lahirnya kemiskinan.
Ketika moralitas tidak lagi membayang-bayangi manusia maka yang lahir adalah adegan tindas-menindas.
Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhl...
Menggugat Makna
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay |
Menggugat Makna
Realitas atau kenyataan itu sendiri dapat dianalogikan sebagai suatu hindangan, dimaknai bagaimanapun juga, rasanya tetap sama. Hanya saja, ketika kita memaknainya, maka cara kita melihat dan menafsirkan realitas suatu hidangan menjadi berubah dan bervariasi. Apa yang dikomunikasikan kepada orang lain tentang hidangan tersebut pun menjadi tidak apa adanya, kadang meninggikan, kadang merendahkan. Kekonyolan seperti inilah yang menjadi kenyataan bagi sifat makna itu sendiri.
Sesuatu di balik Makna
Meskipun demikian, makna tidak dapat bertahan dan melembaga dengan sendirinya, kecuali memang sengaja dilestarikan dan direproduksi secara kontinu untuk tujuan tertentu. Lalu, siapa yang sengaja mereproduksinya untuk tujuan tertentu? Jawabannya, semua manusia yang sadar bahwa situasi kelasnya terikat oleh makna. Mereka adalah eksistensi yang bersembunyi di balik topeng kepentingan kelas mereka.Persembunyian eksistensi ini bukan tanpa alasan, melainkan terdapat tujuan mendasar untuk mempertahankan kemapanan dirinya agar tetap 'ada'. Dan situsi kelas adalah sarana yang paling merepresentasikan kemampuan eksistensi dalam mempertahankan kemapanan dirinya di pusaran realitas. Misalnya, orang-orang kelas atas, mereka memiliki akses melimpah ke berbagai macam sumber daya di masyarakat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya agar tetap 'ada'. Sebaliknya dengan orang-orang kelas bawah, akses mereka sangat terbatas, 'ada' mereka sangat rentan.
Situasi semua kelas terikat oleh situasi pasar yang mana motor penggeraknya bukan hanya kebutuhan primer—sandang, pangan, papan—semata, melainkan terdapat motor ideologi sebagai kumpulan makna yang mengoperasikan hidup manusia dengan cara-cara tertentu. Motor ideologi tersebut menciptakan pola keteraturan yang kemudian dapat dengan mudah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan kelas tertentu.
Misalnya, ideologi-ideologi yang mewacanakan berbagai dikotomi biner antara makna kehidupan modern/ canggih/ keren dan makna kehidupan primitif/ kuno/ katro. Ideologi-ideologi semacam itu menguatkan situasi kelas yang memegang kendali atas perubahan dan kemajuan dalam bidang teknologi dan industri—yang keterlembagaannya ditopang oleh kekuatan institusi sosial-politik. Tanpa hierarki makna yang dibangun oleh dikotomi biner itu, usaha mereka menjual teknologi dan industri sulit menuai hasil.
Saat ini, kita hidup dalam bayang-bayang ideologi tersebut, seolah-olah, jika eksistensi kita tidak menjelma sebagai ekspektasi ideologi kehidupan modern, maka eksistensi kita menjadi kurang bermakna apabila dibandingkan oleh mereka yang memenuhi ekspektasi ideologi kehidupan modern. Ini nyata, tidak percaya? Coba saja dipraktikan. Apabila meminjam istilah Durkheim, maka hal ini dapat dinyatakan sebagai fakta sosial non-material—dengan cirinya yang universal, eksternal, dan memaksa.
Makna dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Manusia
Apabila ditinjau berdasarkan kedudukannya, makna dapat dibagi menjadi dua, yaitu makna struktural dan makna individual. Makna struktural adalah makna yang dibagikan, diakui, dikembangkan, dan dilembagakan secara kolektif di masyarakat. Misalnya, makna yang mengatur cara berpakaian manusia. Sedangkan makna individual adalah makna yang terbatas jika dibagikan dan terbentur oleh pengakuan orang lain. Makna individual diproduksi oleh keunikan pengalaman manusia secara personal—yang apabila kita membagikannya kepada orang lain, maka orang lain belum tentu dapat memahaminya, apa lagi mengakuinya. Misalnya, curahan hati orang perihal perasaan pribadinya terhadap orang yang disukainya.Kenyataannya, kita senantiasa hidup dalam bayang-bayang makna, baik makna struktural ataupun individual. Kenyataan yang diperoleh dari makna struktural adalah fungsinya yang memfasilitasi cara manusia dalam berasa, berpikir, dan bertindak. Sedangkan kenyataan dari makna individual adalah fungsinya yang memfasilitasi kebebasan berekspresi secara personal. Kedua kenyataan tersebut saling berdialektika dalam memengaruhi kehidupan manunsia. Dan menariknya, karena dialektika itu makna dapat diretas fungsinya sejauh tidak dipertemukan dengan realitas, alias dijadikan sebagai alat kebohongan! Masih ingat, 'kan? Bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.
Apa-apa yang dapat dipengaruhi oleh makna adalah apa-apa yang dapat dimanfaatkan dari makna. Kehidupan manusia senantiasa dipengaruhi makna dikarenakan manusia memahami manfaat yang ada pada makna. Meskipun begitu, penggunaan makna terkadang tidak sejalan dengan manfaat utamanya sebagai ukuran yang mewakili realitas. Misalnya, pada perbedaan makna profesi. Seharusnya, makna suatu profesi diutamakan dari tingkat penghasilannya, namun kenyataan di lapangan dapat terjadi sebaliknya. Misalnya, seorang pengemis jalanan dapat menghasilkan uang 6-8 juta dalam sebulan, sedangkan seorang pegawai kantoran hanya mendapatkan gaji tetap 4 juta dalam sebulan. Namun kenyataannya, profesi pengemis tetaplah bermakna lebih rendah dari pada profesi pegawai kantoran.
Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia? Makna atau nilai dari realitas (penghasilan)? Melihat dari perbandingan makna profesi sebelumnya, maka makna seolah-olah lebih diutamakan dari pada nilai realitas (penghasilan) itu sendiri. Jawabannya tentu saja bukan karena manusia itu bodoh. Saat keadaan tertentu, manusia lebih memprioritaskan makna dikarenakan makna itu sendiri memiliki nilai yang dipertimbangkan secara struktural ataupun individual. Rendahnya makna profesi pengemis meskipun memiliki penghasilan lebih tinggi dari pegawai kantoran disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan struktural, salah satunya adalah prestise atau gengsi suatu profesi.
Dari kenyataan-kenyataan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna memiliki dunianya sendiri yang nilainya tidak selalu terikat oleh realitas. Artinya, makna adalah lapisan terpisah dari realitas yang beroperasi untuk mewakili realitas namun juga menciptakan realitasnya sendiri—yang bahkan nilai realitas ciptaannya dapat digunakan untuk melawan nilai dari realitas aslinya. Kenapa terjadi demikian? Karena gugatan eksistensialis terhadap makna, agar realitas yang tiada makna dihidupi sebagai moral.
Sebagaimana prinsip ekonomi, terjadinya pertukaran perilaku yang dilangsungkan melalui proses interaksi sosial diasumsikan melibatkan biay...
Asal Muasal Kekuasaan (Prinsip Kepentingan Minimum Homans)
Gambar oleh www_slon_pics dari Pixabay |
Prinsip Kepentingan Minimum dan Asal Muasal Kekuasaan
Status: Diferensiasi Pelayanan (cost & reward) dan Keadilan Distributif
Daftar Pustaka
Poloma, M. M. (1979). Contemporary Sociological Theory.
Teori pertukaran sosial didasarkan pada suatu asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Sebagaimana orang menyediakan ...
Teori Pertukaran Sosial (Perilaku) George C. Homans
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay |
Persamaan dan Perbedaan: Asumsi Terkait Manusia dan Masyarakat
Teori Pertukaran Homans
Dalam membangun teori pertukarannya, Homans menggunakan konsep psikologi perilaku Skinner dan konsep dasar ekonomi. Pada psikologi perilaku, temuan dari eksperimen Skinner terhadap binatang (burung merpati) digunakan Homans untuk mengamati perilaku sosial manusia terkait stimulasi positif atau negatif yang dihasilkan melalui proses interaksi manusia yang kemudian saling membentuk perilaku manusia tersebut. Reaksi perilaku manusia terhadap stimulasi yang dihasilkan melalui proses interaksi tersebut dilihat sebagai hasil yang berorientasi pada masa sekarang.
Pada konsep dasar ekonomi, Homans menggunakan konsep biaya (cost), imbalan (reward), dan keuntungan (profit) untuk menggambarkan perilaku manusia yang secara kontinu dihasilkan melalui pertimbangan-pertimbangan ketiga konsep tersebut dengan tujuan menghasilkan pilihan-pilihan alternatif dalam berperilaku. Dalam konsep dasar ekonomi, pertimbangan-pertimbangan manusia dalam berperilaku diorientasikan untuk hasil di masa depan.
Dengan begitu, konsep dasar ekonomi dapat menggambarkan hubungan-hubungan pertukaran, dan sosiologi, dapat menggambarkan struktur-struktur sosial yang melatari kejadian suatu pertukaran, tetapi yang memegang kunci penjelasan adalah psikologi perilaku. (Poloma, 1979)
Oleh karena itu, Homans percaya bahwa proses pertukaran dapat dijelaskan lewat pernyataan proposisional Skinnerian, yaitu sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu-agresi (Poloma, 1979). Berikut adalah penjelasan dari masing-masing proposi-proposisi tersebut.
Pertama, proposisi sukses. Proposisi ini menggambarkan terbentuknya perilaku manusia karena tindakan-tindakan yang dilakukan sukses mendapatkan ganjaran. Menurut Homans dalam (Poloma, 1979) "semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka semakin sering manusia akan melakukan tindakan tertentu itu." Pendek kata, proposisi ini dapat menjawab pertanyaan "kenapa manusia hanya melakukan tindakan-tindakan tertentu?"
Kedua, proposisi stimulus. Proposisi ini menggambarkan seperangkat stimulus tertentu yang dilibatkan dengan peristiwa terjadinya suatu tindakan. "Jika di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama," Homans dalam (Poloma, 1979). Secara sederhana, stimulus dapat dikatakan sebagai rangkaian kegiatan atau cara untuk mencapai proposisi sukses. Proposisi ini dapat menjawab pertanyaan "kenapa tindakan-tindakan tertentu sukses memperoleh ganjaran?"
Ketiga, proposisi nilai. Homans dalam (Poloma, 1979) menyatakan bahwa "semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorang melakukan tindakan itu." Proposisi ini menjelaskan ganjaran dan hukuman yang terdapat dalam suatu tindakan. Proposisi nilai merupakan inti dari proposisi yang bersifat eksplanasi (penjelas) yang merepresentasikan urgensitas/kepentingan suatu tindakan yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia menginginkan ganjaran dari kesuksesan tindakan tertentu?"
Keempat, proposisi deprivasi-satiasi. Dalam (Poloma, 1979) Homans menyatakan bahwa "semakin sering di rentang waktu yang dekat seseorang menerima suatu ganjaran, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu." Artinya, nilai kepuasan suatu ganjaran akan berkurang apabila diterima terus-menerus dalam waktu dekat. Misalnya, orang yang haus apabila mendapatkan ganjaran minum air maka akan memperoleh nilai kepuasan maksimum di awal, akan tetapi, minum air untuk kedua kalinya dalam waktu dekat akan mengurangi nilai kepusan, bahkan pada titik tertentu, ganjaran dapat berubah menjadi hukuman, misalnya kembung. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia menjadi tidak puas meskipun memperoleh ganjaran dari tindakan yang sama?"
Kelima, proposisi restu-agresi. Apabila tindakan yang diperbuat manusia tidak memperoleh ganjaran yang diinginkannya, maka manusia cenderung meluapkan kekecewaannya ke dalam tindakan marah atau sedih sebagai tanda ketidakpuasan terhadap ganjaran dari tindakannya tersebut. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia dapat bertindak marah dan sedih?"
Kesimpulan
Dengan melihat proposisi sebagai separangkat unit analisis, Homans percaya para ahli sosiologi dapat menjelaskan apa yang disebut kaum fungsionalis struktural sebagai "struktur sosial". Bagi Homans, perilaku sosial yang paling institusional dan non-institusional dengan demikian dapat dijelaskan melalui penerapan dan penyempurnaan kelima proposisi psikologis elementer itu. (Poloma, 1979)Salah satu perbedaan yang paling penting antara perilaku non-institusional dan perilaku institusional adalah bahwa yang institusional jauh lebih kompleks dengan banyak pertukaran yang bersifat tidak langsung daripada yang langsung. Homans mengemukakan bahwa institusi sosial tidak bertahan dengan dinamikanya sendiri yang terlepas dari proses sosial (pertukaran perilaku) yang mendasar. Dengan demikian, institusi sosial itu senantiasa tergantung pada dinamika perilaku sosial dasar, di mana individu berusaha memuaskan kebutuhannya sebagai manusia (bukan sebagai anggota suatu institusi sosial atau masyarakat). (Johnson, 1981)
Daftar Pustaka
Sebelum memutuskan bercerai dengan teori fungsional, pemikiran Homans dalam karyanya The Human Group memberikan sumbangan terhadap anali...
Kelompok Primer (The Human Group) George C. Homans
Gambar oleh StockSnap dari Pixabay |
Kelompok Primer Homans dan Teori Fungsional
Dalam pengertiannya, Homans menggambarkan kelompok sebagai "sejumlah orang yang berkomunikasi satu sama lain dalam frekuensi tinggi dalam jangka waktu tertentu, dan hanya terdiri dari beberapa orang saja sehingga masing-masing mampu berkomunikasi dengan semua orang lain tanpa lewat seseorang" (Homans, 1951).
Menurut Homans, ketiga elemen tersebut membentuk suatu keseluruhan yang terorganisir dan berhubungan secara timbal-balik, yang kemudian membentuk sistem sosial suatu kelompok. Perubahan pada salah satu elemen akan merangsang perubahan pada elemen lainnya. Jangkauan pengaruh yang dihasilkan dari hubungan timbal balik ketiga elemen tersebut menandakan batas suatu kelompok. Di luar selain itu, adalah pengaruh kepribadian dan personal yang dibawa oleh individu dari luar kelompok dan juga pengaruh konteks sosial-budaya yang secara umum menyelimuti kelompok tersebut.
Berangkat dari penjelasan tersebut, analisis Homans terhadap kelompok kecil melahirkan gambaran tentang sistem eksternal dan internal. Sistem eksternal adalah kegiatan, interaksi, dan perasaan yang bersifat formal—seperti peran individu yang termasuk di dalamnya hak dan kewajiban, dan juga peran peralatan serta teknologi—yang semuanya telah diatur sesuai tujuan kelompok. Sedangkan sistem internal, adalah kegiatan, interaksi, dan perasaan yang bersifat informal—seperti hubungan asmara dan persahabatan dalam suatu kelompok. Kedua sistem ini—eksternal dan internal—memiliki hubungan saling memengaruhi.
Meskipun Homans mengakui bantuan teori fungsional dan juga mendapatkan pujian atas sumbangannya The Human Group, Homans tetap merasa tidak puas. Menurutnya, teori fungsional telah gagal menjelaskan fenomena sosial karena terbatas pada pemahaman yang bersifat deskriptif. Bagi Homans, "setiap ilmu haruslah melakukan dua kewajiban: yaitu menemukan dan menjelaskan. Dengan yang pertama kita menilai apakah itu benar-benar merupakan suatu ilmu, sedang dengan yang kedua, kita harus mengetahui sejauh mana ia berhasil sebagai suatu ilmu (Homans, 1969)." Dengan demikian, teori fungsional hanya dipandang sebagai usaha dalam mendeskripsikan fenomena sosial namun gagal dalam memberikan penjelasan.