Tampilkan postingan dengan label Sosiologi. Tampilkan semua postingan

Abstrak        Paper ini membahas bagaimana teknologi interaktif berperan sebagai faktor utama yang menjelaskan pertumbuhan dan keunggulan L...

Abstrak 
    Paper ini membahas bagaimana teknologi interaktif berperan sebagai faktor utama yang menjelaskan pertumbuhan dan keunggulan LSM. Penulis paper ini, yaitu Jonathan dan David memposisikan teknologi interaktif bukan sebagai alat melainkan sebagai bagian dari proses evolusi bersama yang membentuk praktik organisasi. Saat review ditulis, paper ini sudah berusia 18 tahun. Meskipun demikian, pendekatan yang digunakan pada paper ini berhasil memberikan penjelasan yang cukup kuat dan relevan untuk menjelaskan transformasi LSM hingga saat ini, terutama jika dikawinkan dengan perkembangan revolusi industri 4.0—yang menawarkan teknologi Big Data dan Data Science yang sedang populer dewasa ini. 

Keyword: LSM, Teknologi Interaktif, Pengetahuan. 

Image by Rudy and Peter Skitterians from Pixabay 


1. Problem yang Dibahas 
    Jonathan dan David mengawali pembahasan langsung pada inti persoalan, yaitu ko-evolusi LSM yang dipicu oleh teknologi interaktif. Untuk dapat memahami bentuk organisasi baru ini, J&D mengajak pembaca untuk mempelajari bagaimana peran dan praktik LSM bertransformasi bersamaan dengan munculnya teknologi interaktif baru. Menurutnya, transformasi tersebut dipercepat oleh alat digital yang memungkinkan untuk mengakses informasi teks, audio, visual, dan data base dalam lingkungan interaktif yang luas dan masif. 

    Namun, menurut Jonathan dan David, tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut yang secara langsung dapat menjelaskan pertumbuhan LSM. Menurutnya, semua dari teknologi interaktif tersebut hanyalah konteks yang menyediakan peluang. Oleh karena itu, inti pertanyaan pada paper ini adalah mengapa LSM dapat mengambil keuntungan dari keadaan ini?

2. Solusi Paper 
    Paper ini berusaha menunjukkan bahwa jawabannya terletak pada perkawinan ko-evolusi LSM dengan teknologi interaktif. Jonathan dan David meletakan dasar asumsi bahwa teknologi tidak dilihat sebagai alat, melainkan dilihat sebagai bagian dari proses ko-evolusi yang membentuk praktik organisasi. Pandangannya tentang masyarakat adalah sebagai entitas yang terdiri dari manusia dan bukan manusia (benda, teknologi, pengetahuan, dsb). Menurutnya, pandangan ini dapat menjelaskan mengapa LSM mampu mengambil peran yang lebih kuat dan kontroversial sebagai co-konstituen transformasi global.

3. Penjelasan Solusi 
    Jonathan dan David mengawali penjelasan dengan mengungkapkan kemunculan ruang pengetahuan akibat teknologi interaktif baru tersebut. Menurutnya, pengaplikasian teknologi interaktif terjadi sangat luas pada internet. Internet memberikan pelayanan intim terhadap LSM, yang jika dikompres maka akan menghasilkan tiga kata kunci, yaitu tautan, pencarian, dan interaksi. Menurut J&D, pelayanan internet tersebut menghasilkan apa yang disebutnya sebagai ruang pengetahuan—yang di dalamnya menghubungkan struktur sosial dengan jaringan pengetahuan. Menurutnya, perkawinan struktur sosial dengan jaringan pengetahuan tersebut menghasilkan struktur sosial kognitif dan jaringan pengetahuan kognitif. Jonathan dan David berargumen bahwa LSM dapat mengambil manfaat dengan mengembangkan dan mempromosikan jaringan pengetahuan mereka melalui ruang pengetahuan tersebut. Dari argumennya tersebut, J&D berspekulasi bahwa kemunculan bentuk-bentuk baru organisasi sosial didasari oleh perkembangan ruang pengetahuan tersebut.

    Selanjutnya, Jonathan dan David secara implisit menyatakan bahwa internet menghasilkan tatanan ruang-waktu baru, yaitu komunikasi real-time yang luas dan masif—yang dapat terhubung ke seluruh belahan dunia. Menurutnya, hal tersebut berdampak pada transformasi organisasi yang tercerminkan pada tiga bentuk perubahan. Pertama, pergeseran isu sosial dari isu kesakralan kedaulatan menjadi isu penegakan norma-norma universal. Kedua, pergeseran struktur dari struktur terdesentralisasi ke struktur terdistribusi. Ketiga, berubahnya model perubahan sosial dari model difusi menjadi model penerjemah. 

    Berikutnya, Jonathan dan David menjelaskan bahwa LSM mengalami pergeseran dari penerapan kedaulatan autarki menjadi kedaulatan kolaborasi. Menurut J&D, pergeseran ini pertanda keterlibatan LSM dalam memanfaatkan tatanan ruang-waktu baru—yang dihasilkan dari internet (teknologi interaktif baru). J&D berargumen bahwa konsep jaringan pengetahuan sejalan dengan logika operasional LSM. Secara implisit J&D juga menyatakan bahwa tampak ideal apabila LSM memanfaatkan kemudahan komunikasi dan jaringan pengetahuan yang difasilitasi oleh teknologi interaktif tersebut.

    Menurut Jonathan dan David, pertumbuhan tinggi LSM tidak hanya terkait dengan adanya peningkatan eksternal (teknologi interaktif baru), melainkan juga disebabkan LSM itu sendiri bergerak ke kolaborasi ketika menyadari bahwa kesuksesan terjadi saat kolaborasi. J&D juga menekankan pentingnya hubungan informal yang dibangun oleh pemimpin LSM sebagai pengorganisasian kekuatan selain dari akar rumput. 

    Namun, J&D tampak kesulitan dalam menjelaskan bagaimana LSM mengatasi konflik internal yang muncul akibat penerapan kedaulatan kolaborasi. J&D justru terseret kepada penjelasan relativis yang menggantungkan jawaban pada kemampuan subjektif aktor LSM dalam menghadapi konflik tersebut. Sehingga sulit untuk memisahkan antara penyebab eksternal (teknologi interaktif) atau penyebab internal (aktor LSM) dalam menentukan penyebab utama pergeseran menuju kedaulatan kolaborasi. 

    Kelemahannya tersebut semakin terbuka ketika Jonathan dan David justru menyimpulkan pernyataan dari hasil-hasil yang telah tampak pada perubahan besar LSM. Menurutnya, LSM telah berhasil berubah dan berada di garis depan dalam menggeser isu sosial dari isu kesakralan kedaulatan ke isu norma-norma universal, hal ini diakibatkan perpindahan menuju kedaulatan kolaborasi. Namun, apakah hasil perubahan tersebut mengindikasikan adanya pemanfaatan pelayanan teknologi interaktif yang berhasil? Atau justru lebih mengindikasikan keberhasilan aktor LSM? Atau terdapat faktor lainnya yang lebih signifikan? Logika deduksi yang digunakan J&D tersebut bermasalah karena berpotensi menggeneralisir setiap transofrmasi yang dialami oleh LSM. Meskipun demikian harus diakui, bahwa fungsi utama LSM sebagai penerjemah isu sosial memiliki logika yang sejalan dengan pelayanan ruang pengetahuan yang disediakan oleh teknologi interaktif. 

    Pada pembahasan selanjutnya, Jonathan dan David menyatakan bahwa penggunaan teknologi interaktif oleh LSM dan pergeseran kedaulatan menuju kolaborasi menjadikan peran LSM dalam globalisasi menguat, terutama sebagai model perantara pengetahuan. Menurutnya, penguatan model ini masuk akal. Hal ini disebabkan masyarakat modern diatur oleh informasi terukur yang diperantarai oleh mereka yang memiliki informasi dan mereka yang membutuhkannya. Dengan begitu, menurut J&D, LSM menempati posisi strategis dalam menerjemahkan isu sosial untuk menghimpun massa. 

    Menurut Jonathan dan David, LSM itu sendiri dapat bertransformasi dari penekanan fungsinya sebagai perantara informasi menjadi penekanan pada fasilitator pengetahuan (pemberi solusi). Menurutnya, LSM yang bertujuan mencari solusi dari suatu isu akan menggunakan fitur pencarian untuk menautkan dan berinteraksi. Lebih jauh lagi, peran LSM sebagai fasilitator pengetahuan dapat membawa LSM ke dalam asosiasi kekuasaan deliberatif. J&D memperkuat pernyataannya dengan mengutip hasil studi Charles Sabel, bahwa bukan negara yang lebih unggul sebagai fasilitator pengetahuan, melainkan asosiasilah yang lebih unggul sebagai fasilitator pengetahuan—yang mana asosiasi ini memungkinkan keterlibatan peran LSM di dalamnya. Dengan begitu, ketika LSM bergabung dengan asosiasi kekuasaan deliberatif tersebut, maka LSM berpotensi memainkan peran yang lebih besar dalam pengembangan institusi regional dan global. 

    Pada bagian akhir penjelasan, Jonathan dan David memberikan kesimpulan yang tidak proporsional. Ketidak-proporsionalannya terlihat pada penekanan yang terlalu optimis terhadap peningkatan fungsi pengetahuan sebagai sumber daya yang menciptakan kekuatan abadi asosiasi. Padahal dewasa ini, signifikansi pengetahuan hampir selalu terikat pada situasi kelas. Artinya, secerdas apapun LSM sebagai pemberi solusi akan hampir selalu dirintangi oleh struktur kelas yang ada. Pengetahuan memiliki kekuatan dalam asosiasi dikarenakan menguntungkan kepentingan-kepentingan kelas tertentu. Optimisme J&D terhadap meningkatnya fungsi pengetahuan adalah upaya untuk melebih-lebihkan peran teknologi interaktif yang memfasilitasi penciptaan ruang pengetahuan yang kemudian dapat membawa LSM ke dalam asosiasi kekuasaan. Jonathan dan David juga memberikan poin baru yang tidak dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yaitu munculnya pernyataan bahwa teknologi interaktif dapat memberikan hambatan pada transformasi LSM. Penulis tidak menemukan penjelasan atas poin ini. 

4. Peluang Pengembangan Penelitian 
    Pada akhir tulisannya, Jonathan dan David memberikan saran pengembangan penelitian agar berfokus pada dampak perkembangan ruang pengetahuan yang difasilitasi oleh teknologi interaktif terhadap transformasi yang mungkin terjadi pada LSM. 

Referensi
Bach, J., & Stark , D. (2002). LINK, SEARCH, INTERACT: THE CO-EVOLUTION OF NGOs AND INTERACTIVE TECHNOLOGY. ISERP WORKING PAPER 02-03, 1-12.

Sebagaimana prinsip ekonomi, terjadinya pertukaran perilaku yang dilangsungkan melalui proses interaksi sosial diasumsikan melibatkan biay...

Sebagaimana prinsip ekonomi, terjadinya pertukaran perilaku yang dilangsungkan melalui proses interaksi sosial diasumsikan melibatkan biaya (cost) untuk mendapatkan ganjaran (reward) dari keberlangsungan hubungan pertukaran tersebut.
Prinsip kepentingan minimum Homans
Gambar oleh www_slon_pics dari Pixabay 
Sebelum itu, perlu diingat kembali bahwa ketidakpuasan (deprivation) dan kejenuhan (satiation) dalam suatu hubungan pertukaran sangat mungkin terjadi. Deprivasi terjadi apabila suatu ganjaran yang serupa diterima dalam jangka waktu berdekatan. Misalnya, seseorang yang berhasil menjadi murid terbaik (cost) diberi hadiah mobil oleh ayahnya (reward 1), kemudian tidak lama berselang diberi hadiah sepeda oleh gurunya (reward 2), ganjaran yang diberikan gurunya tersebut menjadi tidak terlalu memuaskan karena kepuasannya telah diluapkan pada pemberian mobil dari Ayah (reward 1). 

Sedangkan kejenuhan (satiation) adalah situasi di mana hadiah guru dan hadiah-hadiah yang diberikan orang lain setelahnya, menjadi tidak diinginkan lagi disebabkan efek berkurangnya kepuasan (deprivation) yang dihasilkan oleh jarak waktu pemberian reward yang saling berdekatan.

Berangkat dari penjelasan konsep deprivation dan satiation tersebut, dapat disimpulkan, bahwa besaran nilai suatu ganjaran ditentukan oleh intensitas kepuasan yang diperoleh dengan biaya dan waktu tertentu. Apabila seseorang memiliki biaya besar dan dapat memperoleh suatu ganjaran kapan saja dia inginkan, maka nilai kepentingan/urgensi suatu ganjaran menjadi berkurang. Hal ini lah yang kemudian melandasi munculnya prinsip kepentingan minimum.

Prinsip Kepentingan Minimum dan Asal Muasal Kekuasaan

Prinsip kepentingan minimum adalah kondisi di mana orang yang memiliki kepentingan paling sedikit terhadap ganjaranyang ditawarkan dalam suatu hubungan pertukaranpaling mampu menentukan situasi pertukaran. Prinsip ini menghasilkan kekuasaan di tangan salah satu pihak yang berpartisipasi, "Sebab dalam pertukaran (dengan situasi tersebut), seseorang memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memberi orang lain ganjaran ketimbang yang mampu diberikan orang itu kepadanya" Homans dalam (Poloma, 1979).

Misalnya, pada kasus pacaran tidak berimbang antara artis dan orang biasa. Apabila seorang artis terkenal menjalin hubungan pacaran dengan orang biasa, maka prinsip kepentingan minimum berlaku pada artis terkenal tersebut. Artis terkenal tersebut tidak bergantung pada ganjaran yang dihasilkan oleh hubungan pacarannya tersebut. Sang artis, bisa saja bergonta-ganti hubungan yang sangat mungkin pada hubungan selanjutnya mendapatkan ganjaran yang lebih dari yang sebelumnya. Sebaliknya, orang biasa akan berusaha mati-matian untuk mempertahankan hubungan pacarannya tersebut disebabkan ganjaran yang dihasilkannya, seperti ketenaran, misalnya.

Di sini lah asal muasal kekuasaan, di mana salah satu pihak (orang biasa) bergantung terhadap ganjaran yang disediakan oleh pihak lainnya (Artis) melalui hubungan pertukarannya (pacaran) tersebut. Maka dari itu, sang Artis memperoleh kekuasaan dari ketergantungan pihak lain (orang biasa) tersebut atas ganjaran yang dikendalikannya. Dengan demikian, sang Artis memperoleh kepatuhan dari pasangannya yang hanya orang biasa dan dapat dengan leluasa mengatur jalannya suatu hubungan tanpa khawatir kehilangan suatu ganjaran.

Status: Diferensiasi Pelayanan (cost & reward) dan Keadilan Distributif

Pada kenyataannya, individu-individu yang ada di masyarakat memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan pengorbanan/pelayanan (cost) terhadap suatu hubungan. Oleh karena perbedaan kontribusi pengorbanan dalam suatu hubungan, maka setiap individu memperoleh ganjaran (reward) yang berbeda-beda pula berdasarkan tingkat dan jenis kontribusinya.

Cara-cara terkait bagaimana suatu ganjaran didistribusikan juga ditentukan oleh bagaimana jenis pelayanan/pengorbanan (biaya) diberi nilai berdasarkan kontribusinya terhadap tujuan hubungan pertukaran. Selain itu, besar kecilnya pemberian ganjaran terhadap jenis pelayanan/pengorbanan juga ditentukan oleh perbandingan secara umum terhadap ganjaran dari jenis pelayanan/pengorbanan yang sama atau mirip di masyarakat. Mekanisme-mekanisme pemberian ganjaran terhadap jenis-jenis pelayanan ini lah melahirkan keadilan yang bersifat distributif.

Keadilan distributif kemudian mempengaruhi keputusan seseorang dalam membangun suatu hubungan pertukaranyang senantiasa mempertimbangkan tepatnya suatu distribusi biaya dan ganjaran tertentu. Dengan begitu, melalui keadilan distributif, mereka-mereka yang memiliki biaya (cost) lebih tinggi—dalam suatu hubungan pertukaranmenuntut perolehan ganjaran (reward) yang lebih tinggi pula.

Oleh karena itu, dalam suatu kelompok pertukaran, lahirnya status-status merupakan hasil dari keadilan distributif yang telah disepakati oleh anggota-anggota kelompok yang bersangkutan. Kesadaran bahwa beberapa anggota memiliki kontribusi lebih dari pada anggota lainnyaterhadap tujuan kelompokmengakibatkan lahirnya pembedaan status secara hierarki di antara anggota kelompok. Umumnya, anggota yang mampu memberikan biaya yang paling besar terhadap suatu kelompok memiliki status yang lebih tinggi dengan ganjaran yang tinggi pula, seperti status ketua, misalnya. Meskipun begitu, hukuman yang lebih tinggi juga menanti mereka (status tinggi) yang gagal memberikan pelayanan sebagaimana statusnya dalam suatu kelompok.

Daftar Pustaka

Johnson, D. P. (1981). Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives.
Poloma, M. M. (1979). Contemporary Sociological Theory.

Teori pertukaran sosial didasarkan pada suatu asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Sebagaimana orang menyediakan ...

Teori pertukaran sosial didasarkan pada suatu asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Sebagaimana orang menyediakan barang dan jasa dengan tujuan memperoleh imbalan berupa barang atau jasa yang diinginkan dari orang lain, maka interaksi sosial pun dipandang demikian. Sebagai gambaran awal dalam memahami pertukaran sosial, teori ini memulai analisisnya dengan menggambarkan kerangka hubungan sosial menggunakan prinsip dasar ekonomi, selanjutnya mendeskripsikan perilaku individu dalam konteks struktural, dan kemudian menjelaskan motif-motif perilaku individu menggunakan psikologi perilaku.
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay 
Teori yang dikembangkan oleh Homans berupaya untuk memperbaiki kekurangan teori fungsional yang memandang sebelah mata peran individu. Dengan memberikan tekanan individualistik pada teorinya, perilaku individu dipandang sebagai kunci yang menjelaskan fenomena sosial.

Persamaan dan Perbedaan: Asumsi Terkait Manusia dan Masyarakat

Ketidakpuasan Homans terhadap teori fungsional membuahi lahirnya teori pertukaran sosial. Hemat penulis, penting untuk mengetahui asumsi dasar Homans terkait manusia dan masyarakat serta persamaan dan perbedaannya terhadap teori fungsional. 

Dalam asumsinya tentang manusia, Homans memiliki banyak kesamaan dengan teori fungsional. Homans memandang manusia sebagai makhluk yang rasional—yang berorientasi tujuan—dan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan—struktur nilai, norma, aturan—yang berada di luar dirinya. Baik teori pertukaran maupun teori fungsional—keduanya—memandang manusia memiliki pilihan yang dibatasi secara struktural dan memberikan sedikit perhatian pada tindakan kreatif manusia. Sebagaimana yang dinyatakan Homans (1967), walaupun bertindak rasional, manusia tetap melakukannya di bawah "ilusi pilihan": "saya berbicara tentang ilmu sebab, saya sendiri percaya bahwa apa yang masing-masing kita lakukan benar-benar telah ditentukan sebelumnya".

Meskipun demikian, Homans menolak penjelasan fungsional tentang masyarakat. Menurutnya, eksistensi masyarakat tidak dapat dipisahkan dari eksistensi individu yang senantiasa dalam proses pertukaran sosial. Bagi Homans dalam Poloma (1979), "orang-orang, bukan masyarakat yang memiliki kebutuhan. Hal ini sangat jelas dan menerima pandangan lain hanya akan membawa kita jauh dari pembicaraan kebenaran tentang masalah-masalah manusia." Maka dari itu, apabila fungsionalisme struktural menekankan struktur sosial sebagai unit analisis dalam sosiologi, maka Homans menekankan proses interaksi yang menghasilkan perilaku individu sebagai unit analisisnya.

Teori Pertukaran Homans

Homans berusaha bergerak lebih jauh dari upaya deskripsi (The Human Group) menuju upaya eksplanasi yang dituangkan dalam bukunya yang terbit 10 tahun kemudian, yaitu Social Behavior: its elementary Forms. Dapat dikatakan bahwa pandangan Homans semakin mikro, menurunkan proposisi-proposisi kelompok—yaitu kegiatan, interaksi, dan perasaan dalam sistem eksternal dan internal—menjadi proposisi-proposisi individu—yaitu sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu-agresi. Secara eksplisit, Homans membatasi dirinya pada interaksi tatap-muka dimana pertukaran sosial bersifat langsung, bukan tidak langsung.

Dalam membangun teori pertukarannya, Homans menggunakan konsep psikologi perilaku Skinner dan konsep dasar ekonomi. Pada psikologi perilaku, temuan dari eksperimen Skinner terhadap binatang (burung merpati) digunakan Homans untuk mengamati perilaku sosial manusia terkait stimulasi positif atau negatif yang dihasilkan melalui proses interaksi manusia yang kemudian saling membentuk perilaku manusia tersebut. Reaksi perilaku manusia terhadap stimulasi yang dihasilkan melalui proses interaksi tersebut dilihat sebagai hasil yang berorientasi pada masa sekarang.

Pada konsep dasar ekonomi, Homans menggunakan konsep biaya (cost), imbalan (reward), dan keuntungan (profit) untuk menggambarkan perilaku manusia yang secara kontinu dihasilkan melalui pertimbangan-pertimbangan ketiga konsep tersebut dengan tujuan menghasilkan pilihan-pilihan alternatif dalam berperilaku. Dalam konsep dasar ekonomi, pertimbangan-pertimbangan manusia dalam berperilaku diorientasikan untuk hasil di masa depan.

Dengan begitu, konsep dasar ekonomi dapat menggambarkan hubungan-hubungan pertukaran, dan sosiologi, dapat menggambarkan struktur-struktur sosial yang melatari kejadian suatu pertukaran, tetapi yang memegang kunci penjelasan adalah psikologi perilaku. (Poloma, 1979)

Kemudian, dalam (Johnson, 1981) Homans menyatakan "seperangkat proposisi umum yang akan saya gunakan dalam buku ini, menggambarkan perilaku sosial sebagai suatu pertukaran kegiatan paling kurang antara dua orang, yang nampak atau yang tersembunyi, dan kurang lebih yang memberikan reward atau mengeluarkan cost." Selain itu, dalam merespon pemikiran fungsional, Homans dalam (Poloma, 1979) "bukan hanya status dan peran yang berasal dari fungsionalisme yang menyediakan mata rantai antara individu dan struktur sosialnya; melainkan oleh karena struktur atau lembaga-lembaga demikian itu terdiri dari individu-individu yang terlibat dalam proses pertukaran barang berwujud materi maupun non-materi."

Oleh karena itu, Homans percaya bahwa proses pertukaran dapat dijelaskan lewat pernyataan proposisional Skinnerian, yaitu sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu-agresi (Poloma, 1979). Berikut adalah penjelasan dari masing-masing proposi-proposisi tersebut.

Pertama, proposisi sukses. Proposisi ini menggambarkan terbentuknya perilaku manusia karena tindakan-tindakan yang dilakukan sukses mendapatkan ganjaran. Menurut Homans dalam (Poloma, 1979) "semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka semakin sering manusia akan melakukan tindakan tertentu itu." Pendek kata, proposisi ini dapat menjawab pertanyaan "kenapa manusia hanya melakukan tindakan-tindakan tertentu?"

Kedua, proposisi stimulus. Proposisi ini menggambarkan seperangkat stimulus tertentu yang dilibatkan dengan peristiwa terjadinya suatu tindakan. "Jika di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama," Homans dalam (Poloma, 1979). Secara sederhana, stimulus dapat dikatakan sebagai rangkaian kegiatan atau cara untuk mencapai proposisi sukses. Proposisi ini dapat menjawab pertanyaan "kenapa tindakan-tindakan tertentu sukses memperoleh ganjaran?"

Ketiga, proposisi nilai. Homans dalam (Poloma, 1979) menyatakan bahwa "semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorang melakukan tindakan itu." Proposisi ini menjelaskan ganjaran dan hukuman yang terdapat dalam suatu tindakan. Proposisi nilai merupakan inti dari proposisi yang bersifat eksplanasi (penjelas) yang merepresentasikan urgensitas/kepentingan suatu tindakan yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia menginginkan ganjaran dari kesuksesan tindakan tertentu?"

Keempat, proposisi deprivasi-satiasi. Dalam (Poloma, 1979) Homans menyatakan bahwa "semakin sering di rentang waktu yang dekat seseorang menerima suatu ganjaran, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu." Artinya, nilai kepuasan suatu ganjaran akan berkurang apabila diterima terus-menerus dalam waktu dekat. Misalnya, orang yang haus apabila mendapatkan ganjaran minum air maka akan memperoleh nilai kepuasan maksimum di awal, akan tetapi, minum air untuk kedua kalinya  dalam waktu dekat akan mengurangi nilai kepusan, bahkan pada titik tertentu, ganjaran dapat berubah menjadi hukuman, misalnya kembung. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia menjadi tidak puas meskipun memperoleh ganjaran dari tindakan yang sama?"

Kelima, proposisi restu-agresi. Apabila tindakan yang diperbuat manusia tidak memperoleh ganjaran yang diinginkannya, maka manusia cenderung meluapkan kekecewaannya ke dalam tindakan marah atau sedih sebagai tanda ketidakpuasan terhadap ganjaran dari tindakannya tersebut. Proposisi ini menjawab pertanyaan "kenapa manusia dapat bertindak marah dan sedih?"

Kesimpulan

Dengan melihat proposisi sebagai separangkat unit analisis, Homans percaya para ahli sosiologi dapat menjelaskan apa yang disebut kaum fungsionalis struktural sebagai "struktur sosial". Bagi Homans, perilaku sosial yang paling institusional dan non-institusional dengan demikian dapat dijelaskan melalui penerapan dan penyempurnaan kelima proposisi psikologis elementer itu. (Poloma, 1979)

Salah satu perbedaan yang paling penting antara perilaku non-institusional dan perilaku institusional adalah bahwa yang institusional jauh lebih kompleks dengan banyak pertukaran yang bersifat tidak langsung daripada yang langsung. Homans mengemukakan bahwa institusi sosial tidak bertahan dengan dinamikanya sendiri yang terlepas dari proses sosial (pertukaran perilaku) yang mendasar. Dengan demikian, institusi sosial itu senantiasa tergantung pada dinamika perilaku sosial dasar, di mana individu berusaha memuaskan kebutuhannya sebagai manusia (bukan sebagai anggota suatu institusi sosial atau masyarakat). (Johnson, 1981)

Daftar Pustaka

Johnson, D. P. (1981). Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives.
Poloma, M. M. (1979). Contemporary Sociological Theory.

Sebelum memutuskan bercerai dengan teori fungsional, pemikiran Homans dalam karyanya  The Human Group  memberikan sumbangan terhadap anali...

Sebelum memutuskan bercerai dengan teori fungsional, pemikiran Homans dalam karyanya The Human Group memberikan sumbangan terhadap analisis struktur, proses, dan fungsi sosial pada kelompok kecil (primer). Pada tulisan ini, penulis akan membahas secara ringkas bahasan The Human Group yang mana merupakan sumbangan Homans terhadap teori fungsional.
Kelompok primer (kecil) Homans
Gambar oleh StockSnap dari Pixabay

Kelompok Primer Homans dan Teori Fungsional

Kenapa kelompok kecil? Menurut Homans, sistem sosial kelompok kecil identik dengan hukum-hukum perkembangan, struktur, dan fungsi dalam kelompok besar, termasuk peradaban secara keseluruhan, misalnya. Selain itu, keuntungan meneliti kelompok kecil adalah karena kemudahannya untuk diamati ketimbang kelompok besar.

Dalam pengertiannya, Homans menggambarkan kelompok sebagai "sejumlah orang yang berkomunikasi satu sama lain dalam frekuensi tinggi dalam jangka waktu tertentu, dan hanya terdiri dari beberapa orang saja sehingga masing-masing mampu berkomunikasi dengan semua orang lain tanpa lewat seseorang" (Homans, 1951).

Dalam menjelaskan fenomena kelompok kecil, Homans menggunakan tiga konsep utama, yaitu kegiatan, interaksi, dan perasaan. Konsep kegiatan digambarkan sebagai perilaku aktual individu yang dapat dibandingkan menurut persamaan dan perbedaan—tingkatannya dan kegiatannya—terhadap individu lain. Konsep interaksi digambarkan sebagai segala sesuatu yang merangsang dan dirangsang oleh/untuk kegiatan individu lain—yang dapat dibedakan menurut frekuensi, stimulasi sebab-akibat, dan sarana/medium terjadinya interaksi. Sedangkan konsep perasaan, digambarkan sebagai tanda eksternal—seperti raut wajah marah dan tersenyum—yang menunjukan keadaan internal—seperti perasaan kekecewaan dan kepuasan.

Menurut Homans, ketiga elemen tersebut membentuk suatu keseluruhan yang terorganisir dan berhubungan secara timbal-balik, yang kemudian membentuk sistem sosial suatu kelompok. Perubahan pada salah satu elemen akan merangsang perubahan pada elemen lainnya. Jangkauan pengaruh yang dihasilkan dari hubungan timbal balik ketiga elemen tersebut menandakan batas suatu kelompok. Di luar selain itu, adalah pengaruh kepribadian dan personal yang dibawa oleh individu dari luar kelompok dan juga pengaruh konteks sosial-budaya yang secara umum menyelimuti kelompok tersebut.

Berangkat dari penjelasan tersebut, analisis Homans terhadap kelompok kecil melahirkan gambaran tentang sistem eksternal dan internal. Sistem eksternal adalah kegiatan, interaksi, dan perasaan yang bersifat formal—seperti peran individu yang termasuk di dalamnya hak dan kewajiban, dan juga peran peralatan serta teknologi—yang semuanya telah diatur sesuai tujuan kelompok. Sedangkan sistem internal, adalah kegiatan, interaksi, dan perasaan yang bersifat informal—seperti hubungan asmara dan persahabatan dalam suatu kelompok. Kedua sistem ini—eksternal dan internal—memiliki hubungan saling memengaruhi.

Meskipun Homans mengakui bantuan teori fungsional dan juga mendapatkan pujian atas sumbangannya The Human Group, Homans tetap merasa tidak puas. Menurutnya, teori fungsional telah gagal menjelaskan fenomena sosial karena terbatas pada pemahaman yang bersifat deskriptif. Bagi Homans, "setiap ilmu haruslah melakukan dua kewajiban: yaitu menemukan dan menjelaskan. Dengan yang pertama kita menilai apakah itu benar-benar merupakan suatu ilmu, sedang dengan yang kedua, kita harus mengetahui sejauh mana ia berhasil sebagai suatu ilmu (Homans, 1969)." Dengan demikian, teori fungsional hanya dipandang sebagai usaha dalam mendeskripsikan fenomena sosial namun gagal dalam memberikan penjelasan.

Daftar Pustaka

Johnson, D. P. (1981). Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives.
Poloma, M. M. (1979). Contemporary Sociological Theory.

Kenapa manusia berbuat tidak jujur? Dan kenapa manusia berbuat tidak patuh? Apa yang mendasari ketidakjujuran dan ketidakpatuhan tersebut?...

Kenapa manusia berbuat tidak jujur? Dan kenapa manusia berbuat tidak patuh? Apa yang mendasari ketidakjujuran dan ketidakpatuhan tersebut?
Gambar oleh congerdesign dari Pixabay 

Batasan Pengganjal Kebebasan Individu

Fungsi dan makna kejujuran mencuat kepermukaan setelah manusia menyadari bahwa kebohongan sangatlah berbahaya dan bersifat destruktif bagi suatu hubungan kemasyarakatan. Melalui pendekatan absolutis, kebohongan dapat diartikan sebagai penyimpangan yang bersifat intrinsik, artinya terlepas dari konteks sosial apapun, manusia (dari dalam dirinya sendiri) tidak akan rela untuk diperdaya oleh kebohongan. Manusia secara intrinsik memiliki kesadaran untuk mengenali adanya perbuatan-perbuatan yang bernilai mutlak salah dan benar, dan kebohongan adalah salah satunya. 

Melalui pendekatan normatif, kebohongan dapat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Di Indonesia yang dominan dengan nilai-nilai religiusitas, kebohongan tidak hanya perbuatan salah, melainkan juga perbuatan dosa. Dengan begitu, kebohongan merupakan bentuk penyimpangan terhadap keberadaan nilai-nilai dan norma yang dominan tersebut. 

Lain halnya dengan kebohongan, ketidakpatuhan merupakan bentuk penyimpangan yang hanya dapat dikategorikan secara normatif. Ketidakpatuhan mengacu pada pelanggaran terhadap batasan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Pada kasus Covid-19 di Indonesia, masyarakat masih banyak yang tidak patuh terhadap aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah. 

Batasan-batasan tersebut, yaitu keharusan untuk jujur dan keharusan untuk patuh, selain berfungsi untuk memfasilitasi dan mengamankan hubungan kemasyarakatan, namun di sisi lain juga menuntut biaya dari individu. Biaya yang harus dikorbankan dari individu adalah kebebasan subjektifnya dalam bertindak. Porsi tawar-menawar individu untuk biaya tersebut terkadang menjadi signifikan di masyarakat, terutama di era Covid-19. Bagi individu itu sendiri, biaya kejujuran dan kepatuhan menjadi sangat tinggi di era Covid-19. Hal ini disebabkan biaya kejujuran dan kepatuhan tersebut memiliki dampak negatif terhadap situasi kelas individu.

Negosiasi Kepentingan (Individu VS Masyarakat)

Apa yang mendasari lahirnya perbuatan ketidakjujuran dan ketidakpatuhan ini? Pada kasus ketidakjujuran dan ketidakpatuhan di era Covid-19, teori konflik merupakan teori yang relevan dalam menjelaskan permasalahan ini. Teori konflik menjelaskan bahwa lahirnya penyimpangan didasari oleh adanya perbedaan akses terhadap sumber daya (Suyato, 2005). Saat pandemi Covid-19, masyarakat dibatasi aktivitasnya dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Biaya dari pembatasan tersebut adalah dibatasinya kepentingan-kepentingan individu terhadap beberapa akses sumber daya. 

Biaya PSBB ini menjadi sangat signifikan bagi individu yang akses sumber daya ekonominya berpotensi terputus. Bagi individu yang hidup-matinya bergantung dengan akses-akses tersebut, maka biaya kepatuhan terhadap PSBB menjadi tidak masuk akal. PSBB itu sendiri memang memberikan pelayanan yang sangat bermanfaat bagi individu, terutama untuk mencegah terjadinya penularan wabah Covid-19. Namun, bagaimanapun juga individu tidak serta-merta patuh terhadap PSBB itu sendiri, melainkan terdapat proses negosiasi yang alot, khususnya terjadi pada mereka-mereka yang hidupnya sangat berdampak dari PSBB ini.

Selain pembatasan akses, terdapat pembedaan akses yang cukup terjal dirasakan oleh pasien Covid-19, tidak terkecuali yang OPD dan PDP. Sesuai prosedur, mereka harus menaati aturan isolasi, baik dilakukan secara mandiri atau di rumah sakit. Ditemukannya beberapa kasus ketidakjujuran dan ketidakpatuhan pasien Covid-19 ini juga didasari oleh kepentingan-kepentingan mereka terhadap akses sumber daya, terutama ekonomi. Pembatasan dan pembedaan akses sumber daya saat era pandemi Covid-19 inilah yang mendorong lahirnya tindakan-tindakan yang melawan aturan, khususnya terhadap PSBB dan isolasi mandiri pasien Covid-19.

Rasionalisasi Ketidakjujuran dan Ketidakpatuhan Era Covid-19

Kenyataannya, ketidakjujuran dan ketidakpatuhan seseorang bukanlah tindakan yang semata-mata lahir secara subjektif dari ruang hampa. Terdapat nilai atau sistem norma yang kemudian memengaruhi preferensi tindakan individu. Stigma masyarakat terhadap pasien Covid-19 dan minimnya pengetahuan yang sampai di masyarakat terkait wabah Covid-19 juga berkontribusi terhadap bagaimana seseorang itu merumuskan tindakannya.

Khusus pada pasien Covid-19, stigma masyarakat merupakan pengganjal besar yang menghalangi pasien Covid-19 untuk mewujudkan kepentingan subjektifnya melalui suatu tindakan. Stigma memproduksi perlakuan diskriminatif yang berpotensi memutus akses sarana-sarana yang menjembatani kepentingan pasien Covid-19. Pada aspek ekonomi, sarana-sarana seperti pekerjaan akan terputus aksesnya dari masyarakat. Pada aspek ruang, masyarakat bahkan takut untuk berhubungan dengan lokasi-lokasi yang pernah disinggahi pasien Covid-19. 

Pada bagan tersebut, untuk memenuhi kebutuhannya akan sumber daya, aktor terlebih dahulu menerjemahkan nilai/sistem norma yang ada di masyarakat dan kemudian dipadukan dengan preferensi aktor tersebut hingga menghasilkan suatu tindakan. Preferensi aktor terkait dengan modal (sumber daya) yang telah dimiliki aktor tersebut, baik itu pengalaman, keahlian, uang, dan sebagainya. Namun, pada kasus pasien Covid-19 mereka akan mengalami hal sebagai berikut:

Apabila pasien Covid-19 jujur dan mematuhi isolasi, maka mereka harus siap menerima pemutusan akses masyarakat terhadap sarana-sarana yang menjembatani kepentingan mereka dalam memperoleh sumber daya, terutama terhadap askes sumber daya ekonomi. Dengan begitu, ketidakjujuran dan ketidakpatuhan merupakan sarana rasional yang signifikan di era Covid-19, terutama untuk mewujudkan kepentingan aktor terhadap akses sumber daya ekonomi.

Kesimpulan

Pelajaran dari kasus ketidakjujuran dan ketidakpatuhan di atas adalah individu bagaimanapun juga memiliki kebebasan untuk memaknai secara subjektif tindakannya. Individu tidak serta-merta tunduk terhadap kekuatan eksternal, yaitu aturan pemerintah untuk patuh dan juga nilai-nilai masyarakat untuk jujur. Dalam keadaan terdesak, aktor rasional dapat memperjuangkan secara paksa kepentingannya, walaupun harus dengan melanggar nilai, norma dan aturan yang ada. 

Untuk mengatasi ketidakjujuran dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap PSBB dan pasien Covid-19  terhadap isolasi mandiri, selain dengan aturan, pemerintah juga harus memberikan solusi untuk mengamankan kepentingan-kepentingan mereka. Aturan yang dibuat pemerintah juga harus dibarengi dengan pemberian sanksi yang tegas. Hal ini bertujuan agar individu lebih banyak mempertimbangkan ganjaran-ganjaran negatif ketimbang ganjaran positif dari perbuatan ketidakjujuran dan ketidakpatuhan tersebut.

Daftar Pustaka

Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2009). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Ketiga). Yogyakarta: Kreasi Wacana. 
Suyato. (2005). PERILAKU MENYIMPANG DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS. Civic, 2(2), 1–7. Retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/civics/article/view/4378/3807 
Makhfiyana, I., & Mudzakkir, M. (2013). RASIONALITAS PLAGIARISME DI KALANGAN MAHASISWA. Paradigma., 1(3), 1–8. Retrieved from 
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/3998/6521

Penindasan bukanlah fenomena yang muncul begitu saja di masyarakat. Penindasan lahir sebagai konsekuensi ketidakmerataan distribusi sumber...

Penindasan bukanlah fenomena yang muncul begitu saja di masyarakat. Penindasan lahir sebagai konsekuensi ketidakmerataan distribusi sumber daya di masyarakat. Ketidakmerataan distribusi sumber daya tersebut mengakibatkan individu saling bergantung dengan individu lainnya — menciptakan hubungan keterikatan yang didasari oleh ketergantungan pertukaran sumber daya. Ketidakberdayaan individu-individu untuk mengelola sumber daya secara mandiri — pada gilirannya akan memaksa lahirnya sarana pengorganisasian (institusi) di masyarakat yang berfungsi memfasilitasi semua pertukaran sumber daya tersebut.
Pengetahuan dan Penindasan
Gambar oleh FelixMittermeier dari Pixabay

Ketidakberdayaan dan Kekuasaan

Kenyataannya, manusia tidak dapat melayani kebutuhan dirinya secara mandiri. Manusia membutuhkan pelayanan-pelayanan yang berasal dari luar dirinya — mulai dari yang konkret, seperti bahan makanan, listrik, dsb — hingga yang abstrak, yaitu moral, pengetahuan, dsb. Kebutuhan akan pelayanan tersebut mendasari terciptanya ketergantungan individu dengan pelayanan yang disediakan oleh 'individu lain' di luar dirinya. Sebagai gantinya, 'individu lain' juga menuntut pelayanan balik dari kita — dalam bentuk materi ataupun non-materi sebagai biaya atas pelayanannya tersebut.

Ketergantungan individu oleh pelayanan 'individu lain' menyebabkan individu kehilangan kekuasaannya dan harus berbagi kekuasaan dengan 'individu lain'. Individu-individu tersebut, mau tidak mau, harus membuat kesepakatan bersama untuk mengatur pertukaran pelayanan yang senantiasa melibatkan mereka. Kesepakatan bersama inilah yang kemudian digunakan individu sebagai sarana dalam memfasilitasi kepentingannya terhadap pertukaran sumber daya.

Tentu kita tidak boleh terpaku bahwa kesepakatan/ konsesus bersama itu hanyalah untuk transaksi ekonomi. Lebih luas dari itu, konsesus bersama itu juga dihadirkan untuk mengatur transaksi sosial, seperti dalam hubungan relasional hingga distribusi sumber daya kekuasaan. Distribusi sumber daya kekuasaan inilah yang menjadi kunci pembahasan untuk mengungkap bagaimana penindasan modern justru lahir dari pengetahuan yang diproduksi di masyarakat.

Pernahkah anda bertanya dari mana sumber kekuasaan itu? Dan kenapa kita menaatinya? Kekuasaan sebagaimana barang langka, ia diakui dan ditaati karena mampu memberikan pelayanan yang bermanfaat terhadap banyak individu. Pelayanan yang diberikan kekuasaan adalah mengamankan setiap pertukaran pelayanan yang berlangsung di masyarakat. Bentuk pengamanan tersebut adalah pemberian hukuman bagi individu-individu yang melanggar konsesus di masyarakat. Konsesus yang diakui bersama inilah merupakan sumber kekuasaan di masyarakat — dan pada gilirannya kekuasaaan juga berfungsi untuk melestarikan konsesus itu sendiri.

Pengetahuan dan Stimulus Tindakan

Kekuasaan yang ada dalam maksud penulis tidak sebatas otoritas legal yang dilembagakan melalui institusi negara. Melainkan, kekuasaan adalah semua stimulus yang dapat memengaruhi orientasi tindakan seseorang. Stimulus itu tidak hanya diproduksi secara sosial, melainkan juga diproduksi secara personal. Namun, pada tulisan ini penulis membatasi pembahasan pada stimulus yang diproduksi secara sosial, yaitu pengetahuan.

Pengetahuan merupakan stimulus tindakan yang kebanyakan tidak disadari oleh individu. Individu menghiraukan pengetahuan karena dianggapnya pengetahuan itu adalah alat yang netral, yang bisa digunakan dan diletakkan kapan saja. Alih-alih pengetahuan itu digunakan sebagai senjata dalam merumuskan tindakan individu, justru pengetahuan itu meng-objektifikasi tindakan individu. Apa maksudnya? Pengetahuan secara tidak sengaja telah mengkotak-kotakan tindakan individu, hingga semakin lama, dapat dengan mudah diprediksi dan dimanipulasi.

Sejalan dengan fungsinya, pengetahuan memanglah dapat memberikan pelayanan yang menguntungkan atau rasional. Karena pelayanannya tersebut, pengetahuan memperoleh kedudukan yang mapan, yang diakui, dan kemudian diabsolutkan sebagai cara mutlak dalam bertindak. Kemapanannya tersebut, bahkan, menjadi suatu rezim yang digunakan untuk menghukumi setiap tindakan individu ke dalam penilaian hierarkis — seperti benar-salah, pintar-bodoh, baik-buruk, dsb. 

Penghukuman oleh rezim pengetahuan tersebut alih-alih berupaya menyelamatkan manusia dari kebutaan pikiran, justru membutakan pikiran manusia agar senantiasa patuh dan menggadaikan kebebasan tindakkannya. Melalui rezim pengetahuan, tindakan manusia kini sedang tersentralisasi atau terseragamkan. Penyeragaman ini tidak hanya berdampak pada orientasi tindakan individu, melainkan juga berdampak pada keseragaman epistemologis masyarakat.

Pengetahuan Dan Kekuasaan

Memang, penulis tidak memungkiri manfaat dari pengetahuan dan rezim pengetahuan itu sendiri. Penulis pun tidak menyalahkan mereka yang patuh, karena memang, pada dasarnya hal itu rasional dan menguntungkan individu. Namun, sebagaimana telah dijelaskan bahwa pengetahuan tidaklah netral. Pengetahuan diproduksi dalam tatanan sosial, melalui institusi pendidikan formal dan non-formal. Institusi pendidikan dioperasikan oleh agen-agen yang masing-masing memiliki kepentingan di dalamnya. 

Kepentingan agen ini, paling tidak untuk mengamankan pelayanan yang mereka peroleh, seperti gaji dan kedudukannya dalam institusi tersebut. Namun terlalu naif jika kita mendefinisikan kepentingan agen sebatas tanggung jawab formalnya. Agen dalam institusi pendidikan pastinya sadar bahwa terdapat signifikansi yang begitu besar atas sumber daya yang sedang dikendalikannya. Pengetahuan memiliki signifikansi langsung terhadap orientasi tindakan individu — dan kita harus terus mencurigai bahwa signifikansinya tersebut telah dimanipulasi untuk memberikan pelayanan tersembunyi terhadap kepentingan kelas-kelas tertentu.

Kecurigaan ini tentunya didasari oleh terdapatnya potensi untuk mengeksploitasi signifikansi pengetahuan terhadap orientasi tindakan individu untuk kepentingan tertentu. Dengan begitu, pengetahuan yang seharusnya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, namun, di sisi lain juga berpotensi memenjarakan manusia dalam belenggu kepentingan kelas atas.

Pengetahuan Dan Penindasan Modern

Penindasan modern, alih-alih menggunakan cara tradisional seperti kekerasan, paksaan, dan tekanan untuk menghasilkan kepatuhan, penindasan modern justru menggunakan pengetahuan-pengetahuan yang tersebar untuk menghasilkan kepatuhan di masyarakat. Pengetahuan tidaklah netral, melainkan sarat akan kepentingan-kepentingan, terutama terkait kepentingan kelas. Karena signifikansinya yang begitu kuat terhadap orientasi tindakan individu, pengetahuan justru menjadi sarana yang efektif untuk menghasilkan kepatuhan masyarakat.

Tanpa kita sadari, pengetahuan yang kita gunakan sehari-hari justru telah mencabik-cabik kebebasan kita dalam bertindak. Jikalau kebebasan itu digadaikan untuk mewujudkan kepentingannya sendiri, tentu tidak masalah. Namun, bagaimana jika kebebasan yang telah kita gadaikan itu justru ditunggangi oleh kepentingan pihak lain? Dan cakupan penggadaian kebebasan tersebut tidak hanya pada satu atau dua individu, melainkan mencakup masyarakat! Bagaimana jika pengetahuan yang dimiliki masyarakat ternyata diproduksi dengan motif-motif tersembunyi? Ini sangat berbahaya!

Hanya karena pelayanan yang diberikan pengetahuan sama-sama memberikan keuntungan, bukan berarti hal itu menjadi pembenaran untuk melakukan eksploitasi terselubung atas fenomena pertukaran pelayanan tersebut. Individu harus menyadari sepenuhnya konsekuensi kepatuhannya terhadap pengetahuan tersebut — mulai dari manfaatnya, hingga implikasinya terhadap situasi pasar. Jika kesadaran individu justru dijauhkan dari situasi pasar, maka penindasan modern sedang terjadi! Kenaifan anda dalam memandang pengetahuan adalah komoditasnya.

Kita semua pasti pernah kagum terhadap seseorang, entah itu karena kekayaannya, parasnya, keahliannya, atau jabatannya. Namun, pernahkah k...

Kita semua pasti pernah kagum terhadap seseorang, entah itu karena kekayaannya, parasnya, keahliannya, atau jabatannya. Namun, pernahkah kita bertanya dari mana sumber kekaguman tersebut? Sebagaimana barang yang konkret, kekaguman yang abstrak pun tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan ada unsur-unsur pembentuknya. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas bagaimana kekaguman itu diproduksi dan direproduksi di dalam masyarakat dan di luar masyarakat.
Prestise dan Karismatik
Gambar oleh S. Hermann & F. Richter dari Pixabay

Kelangkaan dan Kapasitas

Kelangkaan merupakan unsur pertama pembentuk kekaguman/ kehormatan/ prestise di masyarakat. Situasi kelangkaan dapat terjadi apabila suatu barang atau jasa/pelayanan diperebutkan oleh banyak orang sehingga ia menjadi sulit didapat, dan kelangkaan juga dapat terjadi apabila barang atau jasa itu memang sudah terbatas keberadaannya di alam. Objek kelangkaan tidak memiliki prestise dengan sendirinya, melainkan harus terikat dengan kapasitas pelayanan yang dapat diberikan oleh objek kelangkaan tersebut. 

Objek kelangkaan yang memiliki kapasitas pelayanan juga tidak serta-merta menghasilkan prestise di masyarakat. Kelangkaan dan kapasitas pelayanan itu harus memiliki signifikansi terhadap kebutuhan pasar. Apa itu kebutuhan pasar? Yakni kebutuhan yang dihasilkan oleh sejumlah besar permintaan masyarakat terhadap suatu barang dan jasa. Semakin besar permintaan akan kebutuhan barang dan jasa, maka akan semakin signifikan pengaruh keberadaan barang dan jasa tersebut di masyarakat. 

Perkawinan antara kelangkaan dan kapasitas pelayanan tersebut meghasilkan pendistribusian kepemilikan yang tidak merata. Masyarakat membutuhkan dan memperebutkan pelayanan jasa atau barang yang langka, maka penyedia layanan tersebut memiliki pilihan atas bagaimana ia mendistribusikan pelayanannya itu ke masyarakat. Penyedia layanan bisa saja mendistribusikan pelayanan dengan mempertukarkannya terhadap pelayanan ekonomi (uang & modal), atau pelayanan sosial (teman & pasangan), atau pelayanan politik (kedudukan & kekuasaan), dan bisa saja ke bentuk pelayanan-pelayanan lainnya yang tersedia di masyarakat.

Karena penyedia layanan memiliki pelayanan yang langka dan dibutuhkan masyarakat, maka masyarakat mau tidak mau mengikuti pilihan aturan main penyedia layanan langka tersebut. Kepatuhan terhadap aturan main yang ditentukan oleh satu pihak itulah yang disebut dengan hubungan pertukaran tidak seimbang. Pertukaran tidak seimbang ini menghasilkan kekuasaan—yang diproduksi dan dipertahankan oleh ketergantungan akan kebutuhan pelayanan.

Uang Sebagai Alat Pelayanan Transformatif

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kekuasaan muncul dari kebutuhan akan pelayanan yang langka dan hanya dimiliki atau dikendalikan oleh segelintir orang. Namun, distribusi pelayanan tersebut menjadi tidak efektif dan efisien apabila tidak adanya institusi yang melembagakan alat pelayanan unniversal. Universalitas alat pelayanan dibutuhkan untuk menjembatani segala bentuk pelayanan-pelayanan yang tersedia di masyarakat. Oleh karena itu masyarakat kemudian menetapkan alat pelayanan universal yang kita kenal dengan nama uang.

Uang merupakan wujud pelayanan fleksibel yang disepakati masyarakat. Uang memiliki kemampuan untuk mengkuantitatifkan segala bentuk pelayanan yang tersedia di masyarakat—dari yang paling mudah ditemui hingga yang paling langka. Dengan begitu, uang melambangkan kekuasaan atas kemampuannya untuk memperoleh pelayanan-pelayanan yang tersedia di masyarakat. Walaupun beigitu, uang tidak selalu menjanjikan terjadinya pertukaran langsung. Terkadang uang harus dikonversikan beberapa kali agar dapat dipertukarkan dengan pelayanan yang diinginkan—biasanya pelayanan ini bersifat abstrak seperti moral, cinta, dsb.

Kekuasaan pada uang semakin signifikan pada konteks kebudayaan material, yakni kebudayaan yang memfasilitasi kehidupan manunsia dengan materi sebagai mesin penggeraknya. Kita hanya tertarik dengan nilai sejauh itu menguntungkan secara ekonomi, dan jika tidak menguntungkan, maka kita cenderung memilih sikap pragmatis. Dengan demikian, kekuasaan pada uang dapat melampaui kekuasaan pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sehingga tidak mengherankan apabila uang dapat membeli kebaikan, keramahan, hingga loyalitas.

Kehormatan Sosial (Prestise)

Kehormatan sosial atau prestise adalah bentuk-bentuk penghargaan yang diproduksi di masyarakat. Prestise lahir apabila seseorang dapat menampilkan lambang-lambang kekuasaan, baik yang universal yaitu uang secara terang-terangan, atau yang segmental seperti pakaian, kendaraan, dan rutinitas manusia itu sendiri. Prestise bukanlah atribut tunggal dengan pembedaan biner yang ditentukan oleh satu faktor dengan dikotomi ada atau tidak ada. Melainkan prestise adalah atribut plural dengan spektrum luas yang ditentukan dengan berbagai faktor dari spektrum rendah hingga tinggi.

Meskipun demikian, penulis memahami bahwa faktor ekonomi dominan di masyarakat dan digunakan sebagai standar prestise pada umumnya. Dengan begitu, tidak berlebihan apabila menyebut ekonomi sebagai basis utama yang memproduksi prestise di masyarakat. Dengan uang kita memperoleh kesempatan untuk membeli pelayanan-pelayanan yang langka dan terbatas di masyarakat. Semakin langka dan eksklusif suatu pelayanan maka semakin besar pula uang yang harus dipertukarkan. Baik disadari atau tidak uang merepresentasikan kekuasaan seseorang dalam memperoleh pelayanan-pelayanan yang tersedia di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian prestise terhadap kekayaan memiliki dasar-dasar yang kuat dan rasional.

Uang tentunya bukan satu-satunya cara untuk memperoleh prestise di masyarakat. Selain uang, terdapat atribut-atribut sosial lainnya yang memiliki prestise namun tidak disandarkan atas ekonomi. Misalnya, status keagamaan dan moralitas seseorang. Ustad dihargai dimasyarakat karena ilmu agamanya, bukan karena kekayaannya. Begitupula kebaikan dan keramahan seseorang yang memiliki prestise walaupun hanya berlaku secara relasional. Tentunya, prestise tersebut diproduksi karena masyarakat memandang keberadaan atribut sosial itu memberikan pelayanan yang langka dan dibutuhkan. Seandainya semua orang menjadi baik dan ramah, atau banyak orang bisa menjadi ustad, maka prestise di masyarakat akan berkurang bahkan tidak ada.

Kehormatan Personal (Kharisma)

Lain halnya dengan prestise yang diproduksi di dalam tatanan masyarakat. Kehormatan personal atau kharisma diproduksi oleh personalitas individual. Walaupun begitu, kemunculan kharisma juga ditentukan oleh signifikansinya terhadap kebutuhan masyarakat. Kharisma menyangkut karakteristik istimewa yang dialami dan dimiliki oleh individu dan dengan keistimewaannya itu ia memperoleh penghormatan di masyarakat. 

Karaktersitik istimewa ini diperoleh melalui jalur-jalur individual dan hanya orang-orang tertentu yang sanggup memperolehnya. Keistimewaan ini tidak dapat dipertukarkan dengan jenis pelayanan apapun yang tersedia di masyarakat. Oleh karena keistimewaannya hanya melekat pada individu-individu khusus, tokoh kharismatik lebih dipandang melalui personalitasnya ketimbang prestise yang dimilikinya. 

Misalnya, ditengah kekacauan masyarakat yang dipenuhi ketidakadilan dan penderitaan, maka kharisma hadir melalui individu yang memiliki kemampuan istimewa untuk menyelesaikan semua kekacauan, ketidakadilan, dan penindasan di masyarakat. Kemampuan itu tentunya tidak diproduksi secara struktural, melainkan diproduksi melalui personalitas individu tersebut. Kalau ia diproduksi secara struktural, tentunya tidak hanya satu individu yang memiliki keistimewaan tersebut, namun akan banyak individu lainnya yang memiliki keistimewaan yang sama. 

Seandainya prestise yang melekat pada individu kharismatik itu hilang, seperti kekayaan dan status sosialnya, sekalipun ia menjadi sangat lemah dan miskin, individu kharismatik tersebut tetap terpandang. Keistimewaan individu kharismatik tersebut mungkin akan luntur dan tidak lagi signifikan dengan kebutuhan masyarakat, akan tetapi, karena masyarakat mengerti bahwa keistimewaan itu dihadirkan oleh personalitasnya, maka penghargaan kharisma itu cenderung abadi.

Umumnya kita mengetahui bahwa terdapat dua jenis kelamin, yaitu perempuan dan laki-laki. Namun, pada beberapa kasus kelahiran terdapat fen...

Umumnya kita mengetahui bahwa terdapat dua jenis kelamin, yaitu perempuan dan laki-laki. Namun, pada beberapa kasus kelahiran terdapat fenomena ambiguitas jenis kelamin, sehingga sulit dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah interseks. Karena keunikannya, interseks dijadikan sebagai salah satu subjek pembahasan yang cukup menarik dalam menyoalkan gender — yang kita tahu umumnya hanya terdapat dua gender, yaitu perempuan dan laki-laki — yang kemudian memunculkan pertanyaan, gender seperti apa yang cocok dilekatkan kepada interseks?
Gender, seks, dan interseks
Gambar oleh John Hain dari Pixabay 

Perbedaan Seks dan Gender

Untuk menjawab pertanyaan sebelumya, terlebih dahulu kita harus memahami apa perbedaan seks dan gender. Sederhanannya, gender adalah penugasan sosial yang dilekatkan kepada seks/jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Sedangkan seks itu sendiri adalah karakteristik biologis yang didasari pada perbedaan kromosom, struktur seksual eksternal dan internal, produksi hormon, dan perbedaan fisiologis lainnya yang menyangkut fungsi reproduksi manusia. Kemudian, perbedaan-perbedaan yang tampak secara fisik disebut dengan istilah dimorfisme seksual. 

Menurut para ahli, Kessler dan McKenna dalam (Wharton, 2005) gender dipandang sebagai aspek psikologis, sosial, dan budaya dari kejantanan dan keperempuanan. Gender mewakili karakteristik yang diambil oleh pria dan wanita ketika mereka menghadapi kehidupan sosial dan budaya melalui sosialisasi (Wharton, 2005). Menurut (Lindsey, 2016) seks membuat kita sebagai pria atau wanita; gender membuat kita maskulin atau feminin. Seks adalah status yang diberikan saat seseorang dilahirkan dengan itu, tetapi gender adalah status yang dicapai karena harus dipelajari (Lindsey, 2016). 

Tiga ciri definisi gender menurut (Wharton, 2005): 
  1. 1) Gender sebagai proses yang terus berlangsung, dan bukan sebagai ketetapan mutlak/ final. Gender terus diproduksi dan direproduksi di masyarakat.
  2. 2) Gender bukan hanya terjadi pada karakteristik individu, tetapi juga terjadi di semua tingkatan struktur sosial. Pemahaman ini memungkinkan kita untuk mengeksplorasi bagaimana proses sosial, seperti interaksi dan institusi sosial, bekerja mewujudkan dan mereproduksi gender.
  3. 3) Gender mengacu pada pentingnya dalam mengatur hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempuan
Pandangan yang lebih mendalam mengenai gender dituangkan melalui tiga pendekatan, yaitu individualisinteraksionis, dan institusional. Ketiga pendekatan tersebut berusaha menjelaskan fenomena gender dengan penekanan yang berbeda. Individualis menekankan pemahaman gender sebagai atribut individu, interaksionis menekankan gender sebagai atribut relasional-kontekstual, sedangkan institusional menekankan gender sebagai atribut masyarakat atau struktur sosial.

Sosiologi Menjawab Gender Interseksual

Interseksual sebagaimana telah dijelaskan merupakan ambiguisitas jenis kelamin. Menurut Wharton (2005) ketika teknologi medis telah menjadi lebih canggih, interseksualitas didefinisikan sebagai kondisi yang memerlukan intervensi medis. Menurut Kessler dalam Wharton (2005) interseksualitas didefinisikan sebagai cacat lahir yang dapat diperbaiki. Dengan begitu, teknologi medis berperan untuk menyediakan alat kelamin normal yang cocok pada bayi interseks.

Perbincangan interseksual memunculkan perdebatan serius mengenai keberadaan aksioma-aksioma yang jarang bahkan hampir tidak pernah dipertanyakan. Misalnya, aksioma yang menyatakan bahwa hanya terdapat dua jenis gender, dan alat kelamin adalah simbol utama dari gender. Kedua aksioma tersebut dipertanyakan kembali kebenarannya, khususnya terkait bagaimana interseksual dapat dikategorisasikan ke dalam gender-gender tersebut.

Persoalan interseksualitas tersebut menghadirkan spektrum pemahaman yang saling berseberangan mengenai gender itu sendiri. Menurut Lorber dalam (Wharton, 2005) di satu ujung spektrum adalah mereka yang percaya bahwa gender tidak didasarkan pada realitas biologis atau genetis apa pun. Pandangan ini berpendapat bahwa gender mendasari munculnya perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Alih-alih biologis atau genetik, proses sosial menurut pandangan ini adalah kunci utama untuk memahami gender itu sendiri.

Di sisi lain dari debat ini menurut Rossi & Udry dalam (Wharton, 2005) adalah para sosiolog yang menekankan cara-cara di mana biologi menetapkan batas pada apa pengaruh masyarakat dapat dicapai. Perspektif ini disebut sebagai biososial — pandangan yang memperlakukan seks sebagai realitas objektif — yang menghasilkan perbedaan nyata antara laki-laki dan perempuan yang berakar pada fisiologi, anatomi, dan genetika manusia (Wharton, 2005). Seperti kebanyakan sosiolog, Wharton (2005) percaya bahwa dunia biologis dan sosial saling bergantung dan saling berpengaruh.

Kedua spektrum tersebut menawarkan cara yang berbeda dalam memahami gender — yang menurut penulis dapat digunakan untuk memahami posisi gender interseksualitas. Pada spektrum pertama, pemahaman terhadap gender menghasilkan bagaimana jenis kelamin dibedakan dan dipraktikan secara sosial. Hasilnya, interseksualitas dapat dikategorisasikan sebagai gender lain (selain perempuan/laki-laki) yang keberadaan identitasnya hanya menuntut konsesus sosial. 

Pada spektrum yang kedua, pemahaman terhadap gender dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin. Hasilnya, interseksualitas tidak dapat mengkategorisasikan keberadaan identitasnya kepada selain laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, gender interseksualitas menjadi tidak mungkin hadir di masyarakat. Dari kedua spektrum tersebut dapat disimpulkan, bahwa gender interseks hanya mungkin muncul apabila pemahaman terhadap gender tidak dibatasi oleh pembedaan biner jenis kelamin. 

Kesimpulan

Pada poin penutup ini, penulis menarik kesimpulan secara luas, bahwa  gender, apapun bentuk pemahamannya, tidak terlalu signifikan pada konteks masyarakat kapitalis yang melembagakan prestise pada kekayaan — yang mana merupakan basis dari pada kelas-kelas sosial. Apabila kamu adalah kalangan kelas atas, orang-orang mungkin dapat sama sekali tidak peduli dengan gender mu, sebaliknya, apabila kamu bukan dari kalangan kelas atas, maka orang-orang menjadi begitu sensitif terhadap gender bahkan terhadap cara bicara mu.

Daftar Pustaka

Lindsey, L. L. (2016). Gender Roles: A Sociological Perspective (Sixth Edit). Routledge.
Wharton, A. S. (2005). The Sociology of Gender: An Introduction to Theory and Research. Blackwell Publishing.

Tidak seperti pendekatan individualis yang melihat gender sebagai milik individu atau interaksionis yang melihat gender sebagai status yan...

Tidak seperti pendekatan individualis yang melihat gender sebagai milik individu atau interaksionis yang melihat gender sebagai status yang lahir dalam pola interaksi pada konteks sosial tertentu, maka institusionalis memandang gender sebagai budaya yang memang dilembagakan oleh institusi untuk tujuan-tujuan tertentu.
Pendekatan Institusional Gender
Gambar oleh Arek Socha dari Pixabay 

Institusi Gender

Perspektif kelembagaan menjelaskan bagaimana gender tertanam dalam struktur sosial dan merupakan bagian dari realitas yang diterima begitu saja dalam masyarakat kontemporer. Sosiolog mendefinisikan sebuah institusi sebagai "pola yang terorganisir, mapan" atau bahkan lebih sederhana, "aturan main" (Jepperson 1991: 143). Setiap lembaga sosial diorganisasikan sesuai dengan apa yang oleh Friedland dan Alford disebut sebagai "logika pusat - seperangkat praktik material dan konstruksi simbolik" (1991: 248). Logika ini mencakup struktur, pola, rutinitas, dan sistem kepercayaan yang terinternalisasi melalui pemaknaan. 

Gender dalam pendekatan institusional berfokus pada organisasi, struktur, dan praktik lembaga-lembaga sosial, dan menekankan bagaimana aspek-aspek tatanan sosial tersebut mengakar kuat dan relatif diterima — kemudian memproduksi dan mereproduksi perbedaan dan ketidaksetaraan gender. Dengan begitu gender hadir dalam proses, praktik, gambaran ideologi, melalui distribusi kekuasaan institusional di berbagai sektor kehidupan sosial.

Aspek Institusi Gender

Terdapat beberapa aspek penting institusi terkait gender. Pertama, institusi merupakan sumber utama kepercayaan budaya tentang dunia sosial, termasuk keyakinan tentang gender. Kedua, institusi cenderung mengabadikan diri, tidak memiliki tujuan sadar untuk menciptakan atau mereproduksi perbedaan dan ketidaksetaraan gender.

Ketiga, institusi menghasilkan pandangan yang dibagikan secara sosial tentang keberadaan dan tujuan mereka. Artinya, orang-orang menerima begitu saja pandangan institusi karena mereka beranggapan bahwa institusi memiliki fungsi dan tujuan yang jelas. Keempat, institusi menjauhkan perhatian gender dari individu dan pola interaksi ke studi struktur sosial dan budaya. Dengan begitu,  gender tidak dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki oleh individu, melainkan dipahami sebagai aspek organisasi sosial. 

Institusi Gender Dalam Keseharian

Dalam keseharian kita mungkin sering menemui beberapa aktivitas, pekerjaan, atau jurusan yang kita identifikasikan dengan gender tertentu. Misalnya, olahraga, karena terdapat beberapa aktivitas olahraga yang identik dengan penggunaan daya fisik yang intens maka seringkali hanya gender laki-laki yang dominan melakukan aktivitas olahraga tersebut — misalnya tinju dan sepak bola. Di sisi lain terdapat aktivitas olahraga yang identik dengan kelembutan dan estetika gerakan — sehingga seringkali hanya gender perempuan yang dominan pada aktivitas olahraga tersebut — misalnya tari & balet.

Beberapa institusi seperti sekolah, budaya, dan media massa berperan dalam melembagakan pandangan-pandangan gender terkait aktivitas olahraga tersebut. Adapun salah satu perannya ialah terkait dengan bagaimana konsep tubuh ideal laki-laki dan perempuan — sehingga, sedikit-banyak merintangi kebebasan laki-laki atau perempuan dalam memilih bentuk aktivitas olahraga yang tersedia di masyarakat.

Terdapat dua cara untuk mengidentifikasi keberadaan budaya gender dalam praktik kehidupan bermasyarakat. Pertama, jika ditemukannya praktik, kebijakan, atau prosedur yang membedakan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Kedua, apabila ternyata suatu praktik, kebijakan, atau prosedur tidak menentukan perlakuan yang berbeda, akan tetapi memiliki dampak yang berbeda pada perempuan dan laki-laki.

Kesimpulan

Pendekatan institusional gender berfokus terhadap aspek struktur sosial dan budaya. Oleh karena itu, perspektif kelembagaan mengarahkan fokus pada praktik dan kebijakan organisasi, dan pada dimensi material dan simbolis dari lembaga sosial berskala besar, seperti pendidikan, pekerjaan, atau keluarga.

Daftar Pustaka

Wharton, A. S. (2005). The Sociology of Gender: An Introduction to Theory and Research. Blackwell Publishing.

Pada umumnya manusia pernah mengalami perasaan cinta. Dalam mejiwai perasaan cintanya, manusia kerap kali mengabaikan konteks sosial yang ...

Pada umumnya manusia pernah mengalami perasaan cinta. Dalam mejiwai perasaan cintanya, manusia kerap kali mengabaikan konteks sosial yang melatari kehadirannya. Cinta membuat siapa saja yang mengalaminya menjadi abai dan lengah terhadap cara kerja cinta itu sendiri. Cinta menuntut pelayanan dari orang yang dicintai namun juga menuntun orang yang mencintai kepada pengorbanan sumber daya — dalam bentuk material ataupun non-material.
Cinta dan kontestasi prestise
Gambar oleh congerdesign dari Pixabay 
Baik disadari ataupun tidak, cinta bukanlah suatu fenomena rasa yang berdiri secara mandiri dan terlepas dari intervensi apapun. Sebaliknya, cinta dipenuhi oleh intervensi sosial dan biologis yang secara langsung berkontribusi menghadirkan rasa cinta itu sendiri. Tentunya, penulis tidak memiliki cukup kapasitas untuk membahas bagimana peran biologis terhadap cinta, sebagai gantinya, penulis akan mengupas secara mendalam bagaimana faktor sosial memainkan peran yang sangat penting terhadap hadirnya rasa cinta — yang mungkin pembaca sedang alami saat ini.

Prestise dan Kekuasaan

Secara umum (KBBI) prestise diartikan sebagai wibawa yang berkenaan dengan prestasi atau kemampuan seseorang. Wibawa itu sendiri (KBBI) merupakan pembawaan untuk dapat menguasai, mempengaruhi, dan dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Singkatnya, wibawa memiliki keterkaitan dengan kekuasaan.

Menurut penulis, prestise lebih dari apa yang telah dijelaskan di atas. Prestise tidak hanya menunjuk kepada wibawa yang memiliki kuasa, lebih dari itu, prestise menunjuk kepada nilai-nilai hierarkis yang tengah dikontestasikan di masyarakat. Bagaimana cara kita mengetahui keberadaan nilai-nilai hierarkis itu? Jawabannya ada pada uang dan tenaga yang kita korbankan — kemana mengalirnya kedua hal itu?

Sederhananya, kekuasaan pada prestise lahir akibat adanya kontestasi nilai yang membutuhkan biaya untuk memperolehnya. Prestise yang diperoleh individu merepresentasikan kemampuannya dalam membiayai (baik dengan uang atau tenaga) kontestasi nilai-nilai hierarkis tersebut. Nilai-nilai hierarkis tidak hanya menunjuk pada kompetensi dan status seseorang, melainkan juga menunjuk pada semua hal yang dikontestasikan di masyarakat — termasuk kecantikan/ketampanan dan juga kesalehan seseorang. 

Kenyataannya tidak semua orang memiliki kemampuan untuk membiayai kontestasi nilai yang tengah berlangsung di masyarakat. Mereka yang mengeluarkan biaya besar terhadap kontestasi nilai, maka akan memperoleh kemampuan dalam memberikan pelayanan eksklusif. Misalnya, seseorang dengan kompetensi pilot mampu memberikan pelayanan eksklusif (terbatas) untuk menerbangkan pesawat, tentunya untuk memperoleh kompetensi tersebut memerlukan biaya yang besar. Kemampuan memberikan pelayanan yang langka dan memerlukan biaya besar inilah yang melahirkan kekuasaan prestise di masyarakat.

Simbolisasi Prestise Masyarakat

Perempuan/laki-laki umumnya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar dapat tampil menarik di masyarakat  baik dari segi kompetensi atau penampilan fisik. Penampilan fisik merupakan identitas yang paling sulit disembunyikan. Karenanya, penampilan fisik sedikit-banyak menjadi cerminan awal yang merepresentasikan kehidupan sosial kita. Penampilan fisik yaitu paras, postur tubuh, atribut pakaian, bahkan gaya berjalan atau bicara merupakan simbol-simbol yang menyimpan nilai-nilai hierarkis di dalamnya.

Jika kita mengira hanya atribut pakaianlah simbol yang paling potensial dalam merepresentasikan nilai hierarkis di masyarakat, maka kita sedikit-banyak telah melakukan kekeliruan. Pada prinsipnya, nilai hierarkis menyangkut pelayanan-pelayanan eksklusif yang sangat terbatas kebaradaannya — dan sangat mungkin pelayanan eksklusif tersebut adalah paras yang dimiliki manusia. Namun, paras manusia tidak selalu menunjukkan perbedaan atau ciri yang khas, paras manusia sedikit-banyak memiliki kesamaan dengan manusia lainnya — dan kesamaan tersebut secara tidak langsung menghasilkan pembagian prestise secara cuma-cuma di mayarakat.

Perang, perbudakan, dan kolonialisasi yang identik dengan dominasi ras/etnik tertentu telah menghancurkan prestise pada ras/etnis lain yang telah didominasi tersebut. Kolonialisasi tidak hanya memiskinkan sumber daya alam dan manusia di negeri jajahan, melainkan juga memiskinkan prestise masyarakat yang dijajah tersebut. Mereka yang menang dapat menguasai banyak sumber daya yang dengannya mampu mengendalikan atau memonopoli pelayanan — dari situ mereka memperoleh prestise, dan bahkan, karena saking berkuasanya — prestise itu tersimbolisasi pada penampilan mereka, yaitu pakaian, postur tubuh, hingga paras mereka.

Namun pada gilirannya, simbolisasi paras tersebut terinternalisasikan di masyarakat yang kemudian diidentifikasikan sebagai simbol kecantikan/ketampan, alih-alih sebagai simbol kekuasaan prestise sosial-historis itu sendiri. Pada akhirnya simbolisasi kecantikan/ketampanan tersebut memiliki prestisenya tersendiri yang direproduksi oleh media kapitalis melalui artis/aktris — yang baik disadari ataupun tidak — mereka hanya menunggangi prestise yang telah diwariskan melalui kolonialisasi tersebut.

Cinta dan Orientasi Prestise

Baik diakui ataupun tidak, cinta memiliki orientasinya sendiri yang entah bagaimana caranya telah menuntun manusia kepada prestise-prestise tersebut. Pada umumnya kita mencintai perempuan/laki-laki yang berparas cantik/tampan yang sebagaimana telah kita ketahui memiliki prestise di masyarakat — jika kita memperolehnya (pasangan cantik/tampan) maka orangtua, teman ataupun orang lain akan kagum dengan perolehan tersebut.

Namun tidak hanya simbolisasi cantik/tampan saja yang memiliki prestise, melainkan terdapat prestise-prestise lainnya yang secara senyap juga diburu oleh rasa cinta yang kita alami. Masih terdapat kelas sosial, status, dan atribut-atribut sosial lain yang keberadaannya eksklusif dan terbatas dimiliki pada orang-orang tertentu saja. Cinta mengenal prestise-prestise tersebut namun mengekspresikan keinginannya (dalam memperoleh prestise) melalui bentuk penawaran yang sangat emosional.

Penawaran emosional cinta termanifestasikan ke dalam bentuk-bentuk pelayanan yang sangat eksklusif dan sangat personal. Misalnya pelayanan loyalitas sehidup-semati, pelayanan psikologis dan biologis, dan juga pelayanan spiritualis. Namun, sebagaimana yang telah diterangkan bahwa orientasi pelayanannya tersebut hanya ditujukan kepada mereka yang memiliki prestise di masyarakat. 

Dalam mewujudkan orientasinya, cinta terlebih dahulu harus memiliki biaya pengorbanan — yaitu prestise pemilik cinta, baik dalam bentuk material ataupun non-material. Pada gilirannya, prestise pemilik cinta harus ditampakkan bahkan dikorbankan untuk menyeimbangkan hubungan prestise yang secara tidak langsung sedang dinegosiasikan melalui interaksi sosial terhadap orang yang dicinta. Jika kedua individu merasa memiliki hubungan prestise yang seimbang, maka melalui hubungan tersebut cinta dapat diterima.

Cinta dan Kontestasi Prestise

Sebagaimana yang telah dijelaskan, baik disadari atau tidak, cinta membimbing kita kepada perolehan prestise yang ada di masyarakat. Namun bagian yang menarik dari cinta baru di mulai. Berdasarkan keterangan yang ada, kita mendapati bahwa cinta tidaklah buta, ia memiliki kemampuan mendeteksi prestise yang tersebar di masyarakat. Dengan begitu (1) cinta (targetnya) dioperasikan oleh kekuatan-kekuatan di luar individu pemilik cinta itu sendiri.

Bagian menarik lainnya, (2) orang yang kemudian berhasil saling mencinta cenderung tidak sadar dan mengabaikan prestise-prestise sosial lainnya — jika suatu sarana (prestise sosial) telah berhasil menjembatani hubungan cinta, maka nilai sarana tersebut akan berkurang. Hal ini dikarenakan (3) cinta itu memiliki prestise inheren yaitu segi emosional cinta itu sendiri — yang termanifestasikan ke dalam bentuk pelayanan-pelayanan yang sangat eksklusif dan sangat personal, misalnya, pelayanan loyalitas sehidup-semati. Hanya prestise cinta yang mampu memberikan pelayanan tersebut.

Walaupun demikian, nilai prestise pada cinta tidaklah sama bagi setiap orang — bergantung pada konteks sosial di mana individu mengalaminya. Tidak semua orang menginginkan pelayanan loyalitas sehidup-semati, terutama bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk memperoleh prestise yang lebih mewah dari prestise cinta tersebut. Cinta, sama dengan atribut sosial yang mengandung prestise lainnya, hanya saja perasaan cinta dikonseptualisasikan sebagai hubungan manusia yang paling istimewa — bahkan pada masyarakat tertentu cinta merupakan suatu hal yang sakral.

Pada akhirnya cinta itu sendiri adalah prestise. Prestise yang memberikan pelayanan yang sangat eksklusif dan sangat personal kepada individu. Karena pelayanan eksklusif yang diberikannya tersebut, orang-orang termotivasi untuk mewujudkan cintanya. Sebagaimana dengan prestise lainnya, untuk mendapatkan cinta membutuhkan biaya pengorbanan. Namun, cinta adalah mungkin satu-satunya prestise yang biaya pengorbanannya adalah semua prestise sosial yang dimiliki individu. Sehingga membuat sebagian orang kesulitan untuk memperjuangkannya.

Berdasarkan semua keterangan sebelumnya, maka penulis berkesimpulan bahwa hadirnya cinta memiliki hubungan yang sangat intim dengan kontestasi prestise yang sedang dialami individu dalam konteks masyarakat yang bersangkutan.