Tampilkan postingan dengan label Random Thought. Tampilkan semua postingan

Umumnya, kemiskinan dipandang sebagai kegagalan individu dalam berkontestasi di arena sosial. Pandangan tersebut mudah diterima di masyara...

Umumnya, kemiskinan dipandang sebagai kegagalan individu dalam berkontestasi di arena sosial. Pandangan tersebut mudah diterima di masyarakat tatkala dikaitkannya kondisi kemiskinan dengan kondisi rendahnya tingkat pendidikan, kemalasan, dan kebodohan si individu miskin tersebut. Melalui pandangan seperti itu, orang miskin sering kali disalahkan atas kondisi yang menimpa dirinya. Padahal..
Gambar oleh Peter H dari Pixabay 
.. kebanyakan dari kondisi kemiskinan diwarisi oleh generasi-generasi sebelumnya, yaitu orangtua-orangtua mereka. Individu yang tidak berdaya menerima warisan kondisi tersebut, mau tidak mau, hanya mendapatkan akses sumber daya yang apa adanya sebagai bekal bawaan mereka untuk bertempur di arena sosial. Sedangkan individu-individu lain yang berasal dari kalangan berada, mereka sedari awal telah mendapatkan akses lebih untuk bertempur di arena sosial. Mereka memiliki persiapan matang untuk terjun ke medan pertempuran.

Kenyataan memang demikian, tidak dapat dipungkiri dan tidak perlu disesali. Namun di balik itu semua, ada sifat-sifat yang menstimulasikan keadaan demikian yang dapat diubah, yaitu keserakahan. Tidak sepatutnya manusia tetap mewarisi sifat-sifat yang sejatinya tidak menambah apa-apa bagi hidup mereka. Tidak hanya orang kaya, meskipun kebanyakan memang orang kaya, orang miskin juga dapat menjadi serakah. Hanya saja, orang miskin tidak memiliki sarana dan momentum untuk menyalurkannya. Ini sifat umum yang dimiliki mayoritas manusia, terlepas dari asal-muasal kelas sosialnya. Sifat ini, dalam pandangan penulis, bertanggungjawab mereproduksi kemiskinan di masyarakat.

Seharusnya, keserekahan adalah subjek utama yang dibahas perihal masalah-masalah kemiskinan. Tidak seperti kemiskinan, keserekahan adalah kehendak sadar arogansi manusia yang dinyatakan ke dalam tindakan yang mengakumulasikan kapital. Oleh karena keserakahan adalah kehendak sadar manusia, maka sudah sewajarnya yang dipersoalkan adalah keserakahan itu sendiri, bukannya malah kemiskinan yang bahkan tidak dikehendaki oleh siapa pun.

Keserakahan adalah kehendak, sedangkan kemiskinan bukan kehendak. Namun, konstruksi sosial masyarakat masih menganggap kemiskinan sebagai pilihan gagal yang dikehendaki secara individual. Oleh karena itu, lahirlah pandangan umum masyarakat yang membenarkan penghakiman terhadap individu yang terjerat kemiskinan. Lebih dari itu, kebijakan dan hukum yang diproduksi oleh struktur sosial masyarakat juga menjadikan kemiskinan sebagai subjek utama yang harus diberikan stimulasi, alih-alih membatasi keserakahan manusia itu sendiri sebagai kehendak yang mendorong lahirnya kemiskinan.

Ketika moralitas tidak lagi membayang-bayangi manusia maka yang lahir adalah adegan tindas-menindas.

Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhl...

Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhluk cerdas, dan lain sebagainya. Oleh karena makna merupakan bagian dari kehidupan manusia, maka mempersoalkannya adalah bentuk gugatan terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Kenapa kita harus mempersoalkan makna? Apakah ada sesuatu di balik makna? Dan bagaimana makna memengaruhi kehidupan manusia?
Menggugat Makna
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay 
Eksistensi tidak sendirinya hadir dengan makna. Melalui lika-liku kehidupan, eksistensi mulai menyadari keterasingannya di pusaran realitas. Keterasingannya tersebut mencemaskan eksistensi akan hakikat dirinya, asal-muasal dirinya, dan untuk apa dirinya ada. Untuk menyembunyikan dan menutupi rasa cemas dari keterasingannya tersebut, manusia menggunakan berbagai cara, dan salah satunya melalui penggunaan makna.

Bagi eksistensialis, makna hanyalah salah satu alat untuk menjembatani kesadarannya agar 'terhubung' dengan realitas. Tidak seperti manusia umumnya—yang memandang makna sebagai bagian dari manusia itu sendiri—bagi eksistensialis, makna terpisah dari eksistensi manusia itu sendiri. Sebagaimana alat, eksistensialis mengoperasikan makna, bukan malah sebaliknya, dioperasikan oleh makna. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka makna tengah digugat!

Menggugat Makna

Makna, seringkali berperan sebagai pelaku yang menstimulasi pikiran, perasaan, dan tindakan manusia untuk membenarkan aksi ataupun reaksi manusia terhadap realitas di sekitarnya. Misalnya, apabila dibandingkan dengan orang berpakaian rapih, orang berpakaian lusuh umumnya mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda (orang lusuh < orang rapih). Adanya hierarki makna di antara keduanya seolah-olah menjadi pembenaran atas perlakuan yang berbeda. Padahal, keduanya sama-sama manusia yang terasingkan oleh realitas—yang kedatangannya sama-sama tidak membawa makna.

Selain itu, makna juga berperan dalam memproduksi ketidakadilan yang difasilitasi oleh ketidaksetaraan yang tidak dapat dihindarkan oleh pendistribusian acak dadu kehidupan. Misalnya, orang dengan wajah kurang simetris dan berkulit gelap, saat kesan pertama, cenderung sulit mendapatkan kehangatan emosional apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki wajah simetris dan berkulit cerah. Kenyataan ini disebabkan oleh hierarki makna yang ada pada keduanya. Hal ini pula membuat sebagian orang, dalam kasus yang tidak dapat dihindarkan, harus berusaha lebih keras dari yang lainnya. 

Kenyataan-kenyataan yang dimaknai secara hierarki seperti inilah yang membuat Penulis geram dan harus dipersoalkan. Bagaimana tidak, Penulis sendiri terkadang menjadi korban dari ketidakadilan hierarki makna tersebut. Terkadang, Penulis dihakimi oleh pemaknaan yang bahkan tidak merepresentasikan diri Penulis. Meskipun begitu, harus diakui pula bahwa pemaknaan yang mendahului realitas terkadang juga menguntungkan. Hal ini pun membuktikan bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.

Realitas atau kenyataan itu sendiri dapat dianalogikan sebagai suatu hindangan, dimaknai bagaimanapun juga, rasanya tetap sama. Hanya saja, ketika kita memaknainya, maka cara kita melihat dan menafsirkan realitas suatu hidangan menjadi berubah dan bervariasi. Apa yang dikomunikasikan kepada orang lain tentang hidangan tersebut pun menjadi tidak apa adanya, kadang meninggikan, kadang merendahkan. Kekonyolan seperti inilah yang menjadi kenyataan bagi sifat makna itu sendiri.

Sesuatu di balik Makna

Meskipun demikian, makna tidak dapat bertahan dan melembaga dengan sendirinya, kecuali memang sengaja dilestarikan dan direproduksi secara kontinu untuk tujuan tertentu. Lalu, siapa yang sengaja mereproduksinya untuk tujuan tertentu? Jawabannya, semua manusia yang sadar bahwa situasi kelasnya terikat oleh makna. Mereka adalah eksistensi yang bersembunyi di balik topeng kepentingan kelas mereka.

Persembunyian eksistensi ini bukan tanpa alasan, melainkan terdapat tujuan mendasar untuk mempertahankan kemapanan dirinya agar tetap 'ada'. Dan situsi kelas adalah sarana yang paling merepresentasikan kemampuan eksistensi dalam mempertahankan kemapanan dirinya di pusaran realitas. Misalnya, orang-orang kelas atas, mereka memiliki akses melimpah ke berbagai macam sumber daya di masyarakat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya agar tetap 'ada'. Sebaliknya dengan orang-orang kelas bawah, akses mereka sangat terbatas, 'ada' mereka sangat rentan.

Situasi semua kelas terikat oleh situasi pasar yang mana motor penggeraknya bukan hanya kebutuhan primer—sandang, pangan, papan—semata, melainkan terdapat motor ideologi sebagai kumpulan makna yang mengoperasikan hidup manusia dengan cara-cara tertentu. Motor ideologi tersebut menciptakan pola keteraturan yang kemudian dapat dengan mudah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan kelas tertentu.

Misalnya, ideologi-ideologi yang mewacanakan berbagai dikotomi biner antara makna kehidupan modern/ canggih/ keren dan makna kehidupan primitif/ kuno/ katro. Ideologi-ideologi semacam itu menguatkan situasi kelas yang memegang kendali atas perubahan dan kemajuan dalam bidang teknologi dan industri—yang keterlembagaannya ditopang oleh kekuatan institusi sosial-politik. Tanpa hierarki makna yang dibangun oleh dikotomi biner itu, usaha mereka menjual teknologi dan industri sulit menuai hasil.

Saat ini, kita hidup dalam bayang-bayang ideologi tersebut, seolah-olah, jika eksistensi kita tidak menjelma sebagai ekspektasi ideologi kehidupan modern, maka eksistensi kita menjadi kurang bermakna apabila dibandingkan oleh mereka yang memenuhi ekspektasi ideologi kehidupan modern. Ini nyata, tidak percaya? Coba saja dipraktikan. Apabila meminjam istilah Durkheim, maka hal ini dapat dinyatakan sebagai fakta sosial non-material—dengan cirinya yang universal, eksternal, dan memaksa.

Makna dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Manusia

Apabila ditinjau berdasarkan kedudukannya, makna dapat dibagi menjadi dua, yaitu makna struktural dan makna individual. Makna struktural adalah makna yang dibagikan, diakui, dikembangkan, dan dilembagakan secara kolektif di masyarakat. Misalnya, makna yang mengatur cara berpakaian manusia. Sedangkan makna individual adalah makna yang terbatas jika dibagikan dan terbentur oleh pengakuan orang lain. Makna individual diproduksi oleh keunikan pengalaman manusia secara personal—yang apabila kita membagikannya kepada orang lain, maka orang lain belum tentu dapat memahaminya, apa lagi mengakuinya. Misalnya, curahan hati orang perihal perasaan pribadinya terhadap orang yang disukainya.

Kenyataannya, kita senantiasa hidup dalam bayang-bayang makna, baik makna struktural ataupun individual. Kenyataan yang diperoleh dari makna struktural adalah fungsinya yang memfasilitasi cara manusia dalam berasa, berpikir, dan bertindak. Sedangkan kenyataan dari makna individual adalah fungsinya yang memfasilitasi kebebasan berekspresi secara personal. Kedua kenyataan tersebut saling berdialektika dalam memengaruhi kehidupan manunsia. Dan menariknya, karena dialektika itu makna dapat diretas fungsinya sejauh tidak dipertemukan dengan realitas, alias dijadikan sebagai alat kebohongan! Masih ingat, 'kan? Bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.

Apa-apa yang dapat dipengaruhi oleh makna adalah apa-apa yang dapat dimanfaatkan dari makna. Kehidupan manusia senantiasa dipengaruhi makna dikarenakan manusia memahami manfaat yang ada pada makna. Meskipun begitu, penggunaan makna terkadang tidak sejalan dengan manfaat utamanya sebagai ukuran yang mewakili realitas. Misalnya, pada perbedaan makna profesi. Seharusnya, makna suatu profesi diutamakan dari tingkat penghasilannya, namun kenyataan di lapangan dapat terjadi sebaliknya. Misalnya, seorang pengemis jalanan dapat menghasilkan uang 6-8 juta dalam sebulan, sedangkan seorang pegawai kantoran hanya mendapatkan gaji tetap 4 juta dalam sebulan. Namun kenyataannya, profesi pengemis tetaplah bermakna lebih rendah dari pada profesi pegawai kantoran.

Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia? Makna atau nilai dari realitas (penghasilan)? Melihat dari perbandingan makna profesi sebelumnya, maka makna seolah-olah lebih diutamakan dari pada nilai realitas (penghasilan) itu sendiri. Jawabannya tentu saja bukan karena manusia itu bodoh. Saat keadaan tertentu, manusia lebih memprioritaskan makna dikarenakan makna itu sendiri memiliki nilai yang dipertimbangkan secara struktural ataupun individual. Rendahnya makna profesi pengemis meskipun memiliki penghasilan lebih tinggi dari pegawai kantoran disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan struktural, salah satunya adalah prestise atau gengsi suatu profesi.

Dari kenyataan-kenyataan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna memiliki dunianya sendiri yang nilainya tidak selalu terikat oleh realitas. Artinya, makna adalah lapisan terpisah dari realitas yang beroperasi untuk mewakili realitas namun juga menciptakan realitasnya sendiri—yang bahkan nilai realitas ciptaannya dapat digunakan untuk melawan nilai dari realitas aslinya. Kenapa terjadi demikian? Karena gugatan eksistensialis terhadap makna, agar realitas yang tiada makna dihidupi sebagai moral.

Secara sederhana, berpikir dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terjadi di dalam otak yang dimaksudkan (serangkaian aktivita...

Secara sederhana, berpikir dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terjadi di dalam otak yang dimaksudkan (serangkaian aktivitas tersebut) untuk memecahkan suatu masalah. Lalu, apa yang terjadi jika tidak tersisa lagi permasalahan yang harus dipecahkan? Apakah manusia akan berhenti berpikir?
Kenapa Kita Berpikir
Gambar oleh Comfreak dari Pixabay 
Pada dasarnya, berpikir adalah instrumen/alat pemecah masalah. Sebagai alat, tentunya, aktivitas berpikir serta pemikiran itu sendiri tidak inheren dengan kesadaran jiwa manusia—terdapat jarak yang memisahkan keduanya. Meskipun demikian, berpikir adalah tangan kanan terloyal yang dimiliki oleh kesadaran jiwa manusia. Dengan begitu, berpikir adalah instrumen yang paling mungkin dan pasti merepresentasikan—sedikit-banyak—eksistensi manusia. Tidak mengherankan jika diktum "aku berpikir maka aku ada" begitu populer hingga dewasa ini, 

Kenapa berpikir begitu istimewa daripada merasa? Dalam pandangan penulis, terdapat perbedaan mendasar antara berpikir dan merasa. Berpikir adalah aktivitas kesadaran jiwa yang melahirkan pemikiran, sedangkan merasa bukanlah aktivitas sadar, melainkan, aktivitas yang distimulasikan oleh alam bawah sadar—kemudian mengaktifkan reaksi kimia yang berhubungan dengan kemunculan emosi/perasaan manusia. Perbedaan ini menunjukan bahwa berpikir adalah aktivitas yang istimewa bagi eksistensi manusia, sedangkan merasa, tidak.

Kenapa Kita Berpikir

Tujuan manusia berpikir adalah agar manusia itu berhenti berpikir. Misalnya, apabila kita memikirkan masalah x dan dapat menyelesaikannya, maka kita akan berhenti memikirkan masalah x. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu masyarakat, fungsi mekanisme penyelesaian masalah oleh aktivitas berpikir digantikan dengan aktivitas sistem. Misalnya, institusi pendidikan seperti sekolah, menyelesaikan permasalahan orangtua terkait mendidik anak. Lainnya, institusi ekonomi seperti pasar, menyelesaikan permasalahan masyarakat terkait konsumsi. 

Lebih daripada itu, terdapat struktur sosial yang dianggap mapan dalam memfasilitasi mekanisme penyelesaian permasalahan manusia secara umum. Segala sesuatu—nilai, norma, aturan, kebiasaan—yang diterima begitu saja tanpa dipermasalahkan oleh pikiran adalah bukti telah tergantikannya aktivitas berpikir manusia oleh sistem yang ada. Dalam menjalani rutinitas, hampir semuanya, manusia mengandalkan sistem yang ada tanpa berpikir dan mempertanyakannya kembali. Sehingga, hampir semua manusia bertindak secara otomatis menggunakan mode auto-pilot.

Kapan sistem dipertanyakan dengan aktivitas berpikir? Berpikir dan mempertanyakan sistem muncul apabila sistem yang dianggap mapan, dalam kenyataannya, tidak dapat menyelesaikan persoalan manusia—sebagian atau keseluruhan. Misalnya, kenapa kita makan dengan tangan kanan? Sebagian orang yang tidak bisa menggunakan tangan kanan akan berpikir dan mempertanyakan sistem norma yang sudah mapan tersebut. Kenapa kita bersekolah? Sebagian orang yang kesulitan untuk bersekolah atau mendapatkan hasil yang tidak memuaskan dari sekolah, tentunya, akan berpikir dan mempertanyakan kembali alasan bersekolah tersebut.

Pada kenyataannya, sistem buatan manusia tidak pernah sanggup menyelesaikan semua permasalahan manusia—baik terhadap sekelompok manusia atau semua manusia. Alasan pertama yang sangat mendasar adalah kelemahan manusia dalam menerjemahkan permasalahan secara jernih dan akurat. Sehingga, solusi yang dihasilkan oleh kegiatan berpikir manusia cenderung rapuh. Kedua, manusia adalah makhluk eksistensial yang senantiasa bertujuan untuk kemapanan eksistensinya. Sehingga, solusi yang dihasilkan selalu ditujukan untuk dirinya yang utama. Ketiga, manusia adalah makhluk relasional yang kebermaknaan dirinya senantiasa dipertaruhkan oleh kekuatan relasinya. Sehingga, solusi yang dihasilkan sangat sulit bebas nilai.

Dari kenyataan itu semua, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sistem yang dibuat oleh manusia mustahil dapat bekerja secara adil. Oleh karena ketidakadilan sistem itu, manusia senantiasa berpikir untuk memperbaikinya, memperbaikinya, dan terus memperbaikinya. Sehingga, apakah manusia akan berhenti berpikir? Jawabannya, manusia tidak dapat berhenti berpikir.

Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasari — semua a...

Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasarisemua atau sebagian—perasaannya, pemikirannya, dan juga tindakannya agar memiliki makna. Secara garis besar, terdapat dua gairah eksistensial yang setidaknya penulis dapat bedakan berdasarkan pengamatan dan pengalaman personal, yaitu gairah relasional dan gairah kebebasan.
Gairah Makhluk Eksistensial
Gambar oleh Tom und Nicki Löschner dari Pixabay 

Gairah Relasional: Ciri Makhluk Sosial

Sebagaimana namanya, terciptanya gairah ini didasari oleh relasi-relasi yang dimiliki oleh suatu eksistensi. Relasi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hubungan sesama manusia, melainkan juga hubungan terhadap hewan, benda, atau bahkan pada setiap aktivitas manusia, baik yang digemari secara personal, seperti hobi, atau yang dituntut secara sosial, seperti bersekolah. Meskipun demikian, unsur-unsur dari pembentukan semua relasi tersebut tetap bermula pada hubungan antar sesama manusia.

Relasi terhadap sesama manusia adalah sumber gairah pertama eksistensial. Sejak lahir, manusia telah diberikan nama oleh orangtuanya. Nama adalah pemaknaan yang pertama kali dilekatkan oleh orangtua terhadap manusia, dengan harapan, kelak manusia tersebut memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemaknaan pada nama yang dilekatkannya. Melalui cara itu, harapan-harapan ideal—yang bersumber dari kecemasan dan semangat eksistensial orangtua—ditransmisikan melalui nama. Tindakan demikian semata-mata bertujuan agar manusia mewarisi kecemasan dan semangat eksistensial orangtuanya tersebut.

Relasi kuat terhadap orangtua membuat makna hidup manusia selalu terikat dengan eksistensi mereka. Misalnya, hampir semua manusia memaknai tujuan hidupnya untuk membahagiakan orangtua mereka. Apabila orangtua manusia tiada, manusia merasa telah kehilangan sebagian besar makna hidupnya, terutama dialami bagi mereka yang belum memenuhi tuntutan relasional untuk membahagiakan orangtua. Eksistensi manusia dapat menjadi bergairah namun juga dapat menjadi lesu, hanya karena relasinya dengan orangtua. Menurut penulis, kasus seperti ini adalah contoh terbaik yang menjelaskan gairah relasional eksistensialis manusia.

Sebagaimana uraian sebelumnya, eksistensi yang diaktifkan oleh gairah relasional tersebut memiliki kelemahan, yaitu terlalu bergantung pada hubungan yang dimiliki manusia terhadap sesuatu di luar dirinya. Ketergantungan ini menjadi malapetaka apabila manusia gagal dalam memenuhi harapan-harapan dari hubungan relasionalnya.

Misalnya, apabila kamu tidak dapat memenuhi harapan-harapan dari relasi sosial masyarakat secara umum—seperti tuntutan untuk berpendidikan minimal SMA—dan jika kamu hanya berpendidikan sampai SD, maka makna eksistensimu di masyarakat menjadi berkurang, bahkan pada kasus ekstrem, kamu dianggap tidak ada. Orang-orang disekitarmu pun tidak memaknaimu sebagai sesuatu yang penting. Kenapa demikian? Pertama, tujuan dasar eksistensi adalah untuk tetap ada (hidup). Kedua, karena tujuan tersebut, segala sesuatu yang berkontribusi terhadap pemenuhan tujuan dasar eksistensi menjadi bermakna. Apabila kita amati pada kasus pendidikan, bermodalkan hanya ijazah SD sulit untuk berkontribusi secara mapan terhadap tujuan eksistensi tersebut. Sehingga, secara umum, mereka yang hanya berpendidikan SD menjadi kurang bermakna dibandingkan dengan yang telah berpendidikan SMA.

Pendek kata, bergairah atau tidaknya eksistensi manusia lebih disebabkan oleh pemaknaan yang terdapat dalam hubungan relasionalnya. Manusia yang bergantung pada gairah relasional hanya merasa hidup apabila mendapat pengakuan dan makna dari orang lain (hubungan relasionalnya). Namun, bagaimana dengan mereka yang eksistensinya tidak diakui makna keberadaannya? Mereka yang kalah dan tidak mampu memenuhi tuntutan dan harapan relasionalnya? Jawabannya ada diakhir tulisan ini.

Gairah Kebebasan: Ciri Makhluk Individual

Apabila gairah relasional menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, maka gairah kebebasan sebaliknya, yaitu menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk individual. Dalam hal ini, manusia merasa terbebani dengan relasi-relasi yang dimilikinya, terutama bagi manusia yang sangat tertekan oleh tuntutan-tuntutan relasionalnya tersebut. Bagi manusia yang sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya, sangat mungkin, tidak akan tertarik untuk membebaskan diri dari ikatan relasionalnya. Sebaliknya, manusia yang tidak sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya sangat mungkin untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan—tuntutan dan pemaknaan—relasional tersebut.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semua manusia yang eksistensinya didominasi oleh gairah kebebasan adalah mereka yang tertekan oleh ikatan relasionalnya. Eksistensi yang digairahkan oleh kebebasan bisa saja bersumber dari hasrat keinginan manusia itu sendiri. Atau, bisa saja bersumber dari kemampuan manusia dalam merefleksikan pengalaman hidup mereka. Walaupun sulit memastikan apa dan dari mana sumbernya, gairah kebebasan memiliki kesamaan ciri mendasar, yaitu kesadaran akan adanya jarak antara eksistensinya dengan makna.

Kesadaran akan adanya jarak antara dirinya dengan makna memiliki konsekuensi logis bahwa manusia tidak lagi merasa terikat dengan makna relasionalnya. Dengan jarak, manusia mampu menjadikan makna sebagai instrumen yang memfasilitasi kepentingan individualnya. Manusia memegang makna sebagaimana alat, dapat digenggam juga dilepas apabila dibutuhkan atau tidak lagi dibutuhkan. Namun, konsekuensi logis daripada itu semua adalah bangkitnya kesadaran manusia bahwa kebermaknaan eksistensinya semu.

Berbeda dengan manusia yang tidak diakui makna eksistensinya, manusia dengan gairah kebebasan bisa saja sangat diakui makna eksistensinya dan bertingkah laku sama seperti manusia dengan gairah relasional. Namun, manusia dengan gairah kebebasan tetap dapat dibedakan. Manusia dengan tipe gairah ini memiliki rute hidupnya sendiri—yang tidak dapat diterjemahkan dengan pemahaman apapun. Contoh terbaik dari kasus ini adalah manusia yang tidak terbawa suasana lingkungannya. Manusia ini memiliki corak tersendiri yang membedakannya dari kerumunan.

Pendek kata, eksistensi yg tetap bergairah atau semakin bergairah tanpa terikat oleh pemaknaan orang lain, hidup dalam suatu kebebasan sekaligus kehampaan. Di satu sisi, eksistensinya dapat bebas dari ikatan makna relasional. Namun di sisi lain, eksisistensinya hampa.

Matinya Gairah Eksistensial

Eksistensi manusia, jika kecemasannya tidak lagi diakui maknanya, dapat berakhir pada situasi ketidakbermaknaan dan kekosongan eksistensial. Kecemasan adalah bahasa eksistensi jiwa. Jika bahasa itu diabaikan keberadaan maknanya, maka tidak ada lagi yang bisa diucapkan oleh jiwa selain kekosongan. Pada situasi ini, gairah eksistensial sangat mungkin menemui kematiannya, yaitu ketidakbermaknaan eksistensial. Manusia yang mengalami hal ini sangat mungkin menjadi frustrasi dan depresi.

Oleh karena itu, penting untuk kita belajar memerhatikan dan menghargai kecemasan orang lain—tanpa melihat hubungan sosialnya, baik itu latar kelas, status, pendidikan, ideologi, dsb. Barangkali perhatianmu adalah penyelamat jiwanya.

Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubun...

Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubungan sosial, seperti orangtua, pasangan, kerabat ataupun sahabat. Apakah untuk melayani diri sendiri? Yaitu raga, seperti kepuasan biologis dan psikologis. Apakah untuk melayani jiwa kita sendiri? Seperti menemukan ketenangan dan kelapangan jiwa. Jika sudah menemukan jawabannya, melalui ekspresi tersebut, apa yang sebenarnya harus kita cari dari momentum kehidupan yang singkat ini?
Gambar oleh Elias Sch. dari Pixabay 
Umumnya manusia akan menjawab "ekspresi kami melayani ketiganya, yaitu sosial, raga, dan jiwa". Namun, benarkah mereka memahami arti dari ketiganya? Dari yang kuketahui, umumnya ekspresi manusia hanya merepresentasikan kebutuhan sosial dan raganya saja. Alih-alih kebutuhan jiwa itu yang utama, kehidupan manusia justru seringkali menghadapi ketegangan hubungan, kekhawatiran masa depan, dan ketakutan akan kematian. Lalu, dimana ekspresi yang melayani kebutuhan jiwa itu?

Dewasa ini, umumnya jiwa manusia telah layu, yang bermekaran hanyalah kehidupan raga dan sosialnya saja. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara sederhana, baik melalui refleksi ataupun pengamatan. Melalui refleksi, kita cukup menolehkan wajah pada cermin lalu bertanya kepada diri sendiri, "apakah kamu siap bercerai dengan ragamu?". Sedangkan melalui pengamatan, kita cukup menolehkan wajah pada kehidupan masyarakat yang semakin modern tapi justru semakin jauh dari tujuan moral bermasyarakat, yaitu menghilangkan penderitaan yang masih juga dialami oleh sebagian manusia.

Kebanyakan ekspresi manusia di era modern saat ini hanyalah representasi kebutuhan raga dan sosialnya saja. Misalnya saja percakapan sesama manusia, yang seringkali hanya gambaran dari adanya kesamaan kepentingan dan kelas sosial. Alih-alih menghasilkan kelapangan jiwa, percakapan sesama manusia justru menghasilkan ketegangan dan kecemasan jiwa melalui persaingan kepentingan.

Pendek kata, dapat menemukan ekspresi murni dari jiwa manusia di era modern saat ini adalah suatu hal yang langka dan istimewa. Lalu, jika kamu sudah benar-benar menemukannya, apa yang seharusnya dicari dari momentum kehidupan yang singkat ini?

Di kesunyian malam, badai rindu telah menghinggapi diri ini. Perasaan yang entah dari mana datangnya, apabila ditelusuri, tidak kunjung di...

Di kesunyian malam, badai rindu telah menghinggapi diri ini. Perasaan yang entah dari mana datangnya, apabila ditelusuri, tidak kunjung ditemukan akarnnya dari kenyataan.

Gambar oleh Andrea Stöckel-Kowall dari Pixabay 
Mungkin saja itu adalah pengalaman jiwa. Jika kita berasumsi bahwa jiwa bukanlah materi, maka sudah sepatutnya tidak terpenjara dalam dimensi ruang & waktu. Mungkin, pengalaman jiwa sudah terbentuk lama bahkan sebelum dimasukan ke dalam raga. Sebagian adalah pengalaman masa lalu yang diwariskan oleh nenek moyang. Sebagian lagi adalah pengalaman yang telah dan sedang kita alami selama hidup. Dan mungkin sebagian lainnya adalah pengalaman yang bersumber dari masa depan kita.

Apakah kalian pernah sepertiku? Memimpikan seseorang yang tidak dikenal dan ketika bangun membawa perasaan yang istimewa. Perasaan yang tidak pernah diperoleh melalui pengalaman empiris selama hidup. Akan tetapi, perasaan itu ada dan nyata! Barangkali perasaan itu adalah pengalaman masa depanku dengan orang lain. Seseorang yang mungkin suatu saat hubungannya denganku menghasilkan perasaan yang istimewa ini.

Perasaan istimewa yang mungkin berasal dari masa depan itu sangat membekas di jiwa. Karena saking membekasnya, mungkin, perasaan itu secara tidak sengaja ikut diterjemahkan oleh alam bawah sadarku. Alam bawah sadarku mengira itu adalah kenyataan empiris yang pernahku alami. Padahal, aku tidak pernah mengalaminya di kehidupan nyata.

Walau waktu telah berlalu 5 tahun lamanya, perasaan istimewa itu masih membekas di jiwaku. Semoga saja perasaan itu benar adanya, bukan sebuah delusi, ataupun halusinasi semata. Sejak awal tulisan ini dibuat, diriku hanya berpijak di atas pengandaian, bahwa pengalaman jiwa mungkin saja melampaui pengalaman empiris. 

Apa yang membuatku meyakini pengandaian itu adalah fenomena fobia yang dialami oleh hampir semua manusia dan beberapa oleh sebagian kecil manusia. Selain itu, apakah kalian pernah mengalami deja vu? Saat mengalami peristiwa baru, seolah-olah peristiwa itu pernah dilami sebelumnya, namun pada kenyataanya, kita baru mengalaminya. Rasa penasaranku walaupun masih dalam proses pencarian, untuk sementara membuatku meyakini bahwa pengalaman jiwa mungkin saja melampaui pengalaman empiris.

Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan ole...

Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan oleh kedua bentuk dikotomis peristiwa tersebut, yang penulis wakilkan dengan istilah komedi dan tragedi.
Gambar pohon komedi dan tragedi
Gambar oleh Franck Barske dari Pixabay 
Komedi dan tragedi memiliki hubungan yang sangat dekat, yaitu sebagai saudara kandung. Ibunya adalah pengalaman manusia yang mengoperasikan kehidupan, sedangkan bapaknya adalah mekanisme alam yang mengoperasikan realitas. Kalau ibu melakukan kesalahan kepada bapak maka lahirlah komedi. Kalau bapak melakukan kesalahan kepada ibu maka lahirlah tragedi. Kehidupan rumah tangga yang dipenuhi dengan pertengkaran antara subjektivitas sang ibu dan objektivitas sang bapak.

Sebagai permisalan ekstrem tragedi, maka kematian adalah yang paling mewakili bentuk mekanisme alam yang mustahil ditolak. Kematian menjadi tragedi karena sang bapak dengan objektivitasnya merenggut subjektivitas sang ibu secara paksa. Kehidupan yang diopersaikan oleh pengalaman manusia dihentikan oleh realitas yang dioperasikan mekanisme alam.

Namun, tidak semua kematian dijiwai sebagai tragedi. Tidak semua ibu posesif terhadap kehidupan manusia. Ada pula ibu yang memahami bahwa kedudukan subjektivitasnya dideterminasi oleh objektivitas sang bapak. Pemahamannya tersebut membawa pengalaman manusia pada level kesadaran tertinggi sebagai makhluk fana yang sedang sekarat menuju kematian. Dengan begitu, kematian hanya diartikan sebagai dialog perpisahan antara ibu dan bapak, antara pengalaman manusia dengan realitas alam.

Sedangkan komedi, maka kebodohan adalah yang paling mewakili bentuk pengalaman manusia yang secara potensial dapat ditolak. Kebodohan menjadi komedi karena sang ibu dengan subjektivitasnya dapat salah dalam memahami objektivitas sang bapak. Kesalahpahaman yang dihasilkan oleh pengalaman manusia senantiasa dimunculkan oleh benturan antara subjektivitas dengan objektivitas.

Namun, tidak seperti tragedi kematian. Komedi kebodohan tidak dialami oleh semua manusia. Faktanya, kesalahpahaman hanya terjadi di dalam pikiran individu. Oleh karena itu, kebodohan bersifat individual. Karena bersifat individual, komedi kebodohan hanya dialami oleh individu-individu yang melakukan kesalahpahaman terhadap kekakuan realitas alam. Dengan begitu, kebodohan menjadi komedi ketika individu-individu lain menyaksikan adegan kesalahpahaman manusia terhadap kekakuan realitas.

Pendek kata, kematian menyalahi keinginan manusia untuk tetap hidup, sehingga disebut sebagai tragedi. Sedangkan kebodohan menyalahi kekakuan mekanisme alam, sehingga disebut sebagai komedi. Tragedi adalah realitas yang tidak dapat dihindarkan, sedangkan komedi adalah pengalaman yang dapat dihindarkan. Oleh karena itu, objek dari tragedi adalah manusia secara keseluruhan, sedangkan objek dari komedi adalah manusia secara individual.

Lalu, bagaimana dengan cinta? Hemat penulis, cinta adalah titik temu keduanya. Perkawinan antara komedi dan tragedi. Sebagai komedi, cinta menyalahi kesendirian eksistensi manusia. Sebagai tragedi, cinta menyalahi kebersamaan esensial individu. Tidak heran, jika kebahagiaan cinta selalu dibayang-bayangi penderitaan.

Apakah aku harus memenuhi ekspektasimu? Atau aku tetap harus menjadi diriku? Apakah orisinalitas diri lebih utama ketimbang diriku yang ha...

Apakah aku harus memenuhi ekspektasimu? Atau aku tetap harus menjadi diriku? Apakah orisinalitas diri lebih utama ketimbang diriku yang harus disesuaikan dengan ekspektasimu? Menjadi diri sendiri tapi kehilangan mu atau menjadi orang lain tapi mendapatkanmu?
Paradoks Cinta: Dualisme Ekspektasi
Gambar oleh S. Hermann & F. Richter dari Pixabay 

Dualisme Ekspektasi

Menurutku, upaya untuk memenuhi ekspektasimu sama saja upaya untuk mencemari kemurnian diriku sendiri. Memang, terdapat kepuasan apabila kita dapat memenuhi ekspektasi pasangan kita. Namun, jika kita telah terbiasa dengan itu, bukankah sama saja kita telah menghilangkan diri kita yang sebenarnya? Begitu pula yang terjadi pada pasangan kita. Diri kita dan diri pasangan kita justru saling diterjemahkan sesuai ego pasangannya, bukan oleh keautentikan egonya masing-masing sebagai makhluk merdeka.

Persoalannya, apakah hubungan cinta yang seperti itu akan bertahan lama? Sebarapa lama diri kita mampu memenuhi ekspektasi pasangan kita? Bukankah kita sering mendengar desas-desus mengenai karakter asli pasangan yang baru terungkap ketika pernikahan telah berjalan? Lalu, bagaimana seharusnya cinta diterjemahkan dan dipraktikan?

Lagi-lagi kita terjebak dalam suatu paradoks. Cinta tidak dapat menerjemahkan dirinya sendiri (untuk menamai dirinya saja tidak bisa), dengan begitu cinta membutuhkan subjek penerjemah. Subjek penerjemah tersebut tidak lain adalah diri kita. Sebagai manusia, kita memiliki ego yang mewujud pada ekspektasi pasangan yang ideal. Ekspektasi itulah yang mungkin saja menjadi barang buruan ego kita, bukan cinta.

Subjek penerjemah memiliki kemungkinan untuk salah ketika membedakan mana cinta dan mana ego. Dan seringkali, hal ini terjadi pada kedua pasangan sekaligus. Alhasil, alih-alih mereka saling mencintai dengan tulus, mereka justru saling tertekan karena tuntutan untuk memenuhi ego ekspektasi pasangannya masing-masing.

Mengurai Paradoks

Ada dua kemungkinan apabila kita mengalami perasaan cinta terhadap seseorang. Pertama, kita mencintai ego kita sendiri dengan 'mencintai' orang lain sebagai alat pemuas ego. Kedua, kita mencintai orang lain dengan ego kita sebagai alat pemuas cinta. Sederhananya, yang pertama adalah cinta sebagai alat untuk memuaskan ego, sedangkan yang kedua adalah ego sebagai alat untuk memuaskan cinta.

Pada kemungkinan pertama, seseorang mencintai orang lain karena orang itu sesuai ekspektasinya. Orang tersebut memiliki keinginan untuk mendapatkan apa yang diekspektasikannya tersebut. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan 'cinta' sebagai alat pembenaran egonya. Padahal, dia hanya mencintai egonya sendiriyang secara kebetulan egonya itu dipuaskan oleh seseorang. Setelah egonya didapat, barulah benih-benih cinta dipaksakan untuk tumbuh dan dipertahankan. Cinta itupun tumbuh atas dasar ego.

Pada kemungkinan pertama ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa dikendalikan oleh ego masing-masing pasangannya. 'Cinta' justru digunakan sebagai alat kekuasaan yang dioperasikan oleh masing-masing ego pasangan tersebut. Misalnya, "kalau kamu tidak melakukan hal ini, artinya kamu tidak mencintai ku", "kalau kamu mencintai aku maka kamu harus nurutin kemauanku". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling menggunakan 'cinta' sebagai alat pemuas egonya masing-masing. 'Cinta' digunakan untuk mengendalikan tubuh, pikiran, bahkan perasaan pasangannya. Pendek kata, inilah cinta yang memenjarakan orisinalitas manusia.

Pada kemungkinan kedua, seseorang mencintai orang lain bukan karena orang itu sesuai ekspektasinya. Terdapat daya tarik lain (cinta itu sendiri) yang keberadaannya justru mendekonstruksi ego ekspektasi manusia tentang pasangan ideal. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan egonya sebagai alat pembenaran cintanya. Setelah cintanya didapat, barulah benih-benih ego ditumbuhkan kembali. Ego yang sebelumnya dikorbankan untuk mendapatkan cinta akan kembali tumbuh, namun tumbuh atas dasar cinta.

Pada kemungkinan kedua ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa mengalir bebas mengikuti derasnya arus cinta keduanya. Cinta berperan sebagai pelaku yang mengendalikan ego kedua pasangan tersebut. Misalnya, "kalau hal ini membuat mu semakin mencintai ku, maka akan kulakukan", "kalau nurutin kemauanku membuat cintamu redup maka jangan turutin yaa". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling mengorbankan egonya masing-masing atas dasar hubungan cinta, bahkan karena hal itu pula cinta mereka terawat. Cinta telah bersemayam sebagai tujuan bukan alat. Pendek kata, inilah cinta yang membebaskan orisinalitas manusia.

Pada kemungkinan pertama, yaitu cinta sebagai alat pemuas ego, ekspektasi terhadap cinta memenuhi kondisi paradoks dualisme. Cinta hanya hidup di dalam angan, mimpi, dan harapan-harapan dari masing-masing ego pasangan tersebut. Cinta tidak benar-benar hidup sebagai suatu hubungan ataupun tujuan, melainkan hanyalah khayalan belaka. Pada kemungkinan kedua, yaitu ego sebagai alat pemuas cinta, ekspektasi terhadap cinta menjadi cair dan tidak menemui bentuk yang baku. Cinta mengendalikan ego manusia untuk memenuhi ekspektasi dari cinta itu sendiri, yaitu pengorbanan masing-masing ego pasangan. Dengan begitu, ekspektasi terhadap cinta bukan bersumber dari ego pasangan, melainkan dari tujuan hubungan cinta itu sendiri.

Kesimpulan

Kedua kemungkinan tersebut pada kenyataannya sulit ditemukan secara sempurna di lapangan. Faktanya, cinta bukanlah satu-satunya tujuan hidup manusia, terdapat tujuan-tujuan lainnya yang bahkan dapat lebih penting dari cinta. Hubungan manusia juga tidak sebatas dengan satu orang yang kita cintai, melainkan juga ada hubungan lainnya yang sangat mungkin lebih krusial dari hubungan cinta itu sendiri. Karenanya, pengalaman kita dalam mencintai seseorang tidak dapat dipisahkan dari rumitnya konteks yang melatari kehadiran cinta tersebut.

Paradoks dualisme ekspektasi cinta hanya bisa diuraikan di atas tulisan, bukan di lapangan. Benturan ekspresi sosial dan ekspresi jiwa tidak dapat dipisahkan secara tegas batasannya. Sangat mungkin yang kita anggap sebagai ekspresi jiwa (cinta & kasih sayang) adalah ekspresi sosial (tuntutan berkeluarga & hidup berpasangan) atau bisa saja hanya ekspresi biologis semata (kebutuhan seksual). Lagi-lagi, persoalan cinta bukanlah persoalan yang mudah dibicarakan dan dipraktikan.

Namun, penulis meyakini bahwa cinta yang tulus hingga dapat melumpuhkan ego pasangan itu ada. Cinta yang seperti itulah yang berhasil melepaskan diri manusia dari paradoks dualisme ekspektasi. Cinta bukanlah milik ego pasangan, tapi ego itu sendirilah yang dimiliki oleh cinta. Dengan begitu, ekspektasi cinta hanyalah satu, bukan dari ego masing-masing, melainkan dari tujuan cinta itu sendiri.

Bagaimana jadinya cinta jika kehadirannya sama sekali tidak diharapkan. Bagaimana jadinya cinta jika yang dicintai justru mengharapkan cin...

Bagaimana jadinya cinta jika kehadirannya sama sekali tidak diharapkan. Bagaimana jadinya cinta jika yang dicintai justru mengharapkan cinta itu binasa. Rasa cinta datang begitu saja dan sulit untuk dihindarkan—tidak jarang, pemiliknya menganggap ini anugrah. Namun di sisi penerima, alih-alih anugrah, cinta itu justru dianggap bencana bagi penerima yang tidak mengharapkan kehadirannya.

Gambar oleh Ylanite Koppens dari Pixabay 

Dualisme Perspektif

Mungkin saja, aku bukanlah orang yang kamu harapkan cintanya. Jika itu benar, aku hanya bisa pasrahkan mimpi dan harapan cinta ku pada doa. Di sinilah paradoks perspektif bekerja. Di sisi ku, doa yang ku panjatkan adalah mimpi indah bagi ku. Di sisi mu, doa yang ku panjatkan adalah mimpi buruk bagi mu. Aku sangat ingin memiliki mu, namun di sisi lain, kamu sangat tidak ingin dimiliki oleh ku. Bagi ku, itu adalah doa. Bagi mu, itu adalah kutukan.

Paradoks seperti ini menjerat manusia yang cintanya bertepuk sebelah tangan, atau kehadiran cintanya sama sekali tidak diharapkan. Cinta sebagai sesuatu yang diharapkan tetapi juga dapat tidak diharapkan. Paradoks tersebut membuktikan bahwa cinta tidak dapat dipisahkan dari perspektif manusia. Dengan begitu, bagaimana cinta itu dimaknai sangat tergantung dengan persepsi yang dihasilkan oleh pecinta dan yang dicinta. Pada persepsi yang saling berlawanan,  paradoks dualisme perspektif sulit dihindarkan.

Melenyapkan Paradoks

Ada dua cara untuk keluar dari paradoks ini. Pertama, memisahkan atau paling tidak meminimalkan ego dalam memaknai cinta. Dengan begitu, cinta dapat dimaknai dengan leluasa tanpa terikat oleh ego manusia, terutama ego untuk menguasai dan memilki. Cara ini mengharuskan manusia untuk mendukung orang yang dicintainya sesuai harapan dari orang yang dicintainya tersebut, bukan malah sebaliknya. Dengan demikian, tujuan cinta dapat tersalurkan sebagai pelayan kebaikan bagi penerimanya.

Kedua, menihilkan makna cinta itu sendiri. Cara ini dapat dipraktikan apabila kehadiran cinta sama sekali tidak diharapkan atau ditolak. Cara ini mengharuskan manusia membebaskan cinta dari segala macam pemaknaan. Dengan begitu, cinta dapat dimaknai sesuai keadaan yang diharapkan dari orang yang dicintai. Jika yang dicintai mengharapkan cinta mu itu binasa, maka cinta mu harus diartikan demikian, yaitu binasa. Atau, jika yang dicintai sedang membutuhkan sesuatu, maka cinta mu itu harus mewujud sebagai pemenuh kebutuhannya. Ini adalah cara mencintai dalam senyap—yang dicintai tidak perlu menyadari bahwa ia tengah dicintai. Meskipun dalam senyap, tujuan cinta dapat terealisasikan sebagai pelayan kebaikan bagi hidupnya.

Kesimpulan

Dualisme perspektif harus dihindarkan, dan tidak boleh menghasilkan paradoks perspektif. Karena tujuan cinta itu sendiri sejatinya satu, yaitu melayani orang yang dicintai dengan kebaikan. Jika terjadi dualisme perspektif, maka telah terjadi pengkhianatan terhadap tujuan dari cinta itu sendiri. Sudah seharusnya kita berbahagia melihat orang yang kita cintai bahagia. Jika cinta mu justru menciptakan kondisi sebaliknya, maka dualisme cinta telah terjadi dan kedua cara di atas dapat digunakan untuk membuktikan betapa sungguh-sungguhnya engkau dalam mencintai.

Sejak awal, kita tidak membawa apa-apa. Kedatangan kita di dunia terjadi begitu saja tanpa adanya makna ataupun tujuan. Tiba-tiba saja, ki...

Sejak awal, kita tidak membawa apa-apa. Kedatangan kita di dunia terjadi begitu saja tanpa adanya makna ataupun tujuan. Tiba-tiba saja, kita telah terpenjara di dalam suatu wujud—yang entah sejak kapan, kita mulai tersadar bahwa kita 'ada' di 'dalam sana'. Akan lebih mudah dibayangkan, apabila kita menganalogikan wujud sebagai kendaraan yang sedang kita tunggangi. Dan wujud yang sama-sama kita tunggangi saat ini adalah homo sapiens.
Gambar oleh Stefan Keller dari Pixabay 
Upaya menelusuri jawaban mengenai tujuan dan makna hidup dengan sendirinya membuktikan bahwa keberadaan kita tidak memiliki tujuan ataupun makna. Kalau kita memiliki tujuan dan makna maka buat apa kita masih mencarinya? Begitu pula pada wujud yang sedang kita tunggangi saat ini. Apakah wujud ini adalah milik kita? Jika iya, kenapa kita masih mencari pengetahuan untuk memahami wujud kita sendiri. Kalau memang wujud ini adalah milik kita, sudah sepatutnya kita dapat menerangkan semuanya dengan jelas—dari awal, proses, hingga akhir.

Kenyataannya, mungkin, kita tidak memiliki apapun selain keberadaan kita sendiri. Meskipun begitu, keberadaan kita tidak sendirian dalam manjalani hidup ini. Naluri hewan telah tertanam pada wujud ini, dan merupakan bekal dasar yang krusial bagi hidup manusia. Namun, naluri hewan hanya memberikan bimbingan sebatas mekanisme dasar bertahan hidup. Selebihnya, melalui pengembangan kemampuan kognisi dan afeksi—yang juga difasilitasi oleh wujud—, manusia harus menemukan langkah-langkah dalam menjalani hidup ini. Langkah-langkah ini, baik disadari atau tidak, akan sangat menentukan manusia dalam memandang dan bereaksi terhadap kehidupan.

Keberadaan dan Sentuhan Sosial

Keberadaan kita membutuhkan lebih dari sekedar naluri. Karena faktanya, keberadaan kita 'ada' di antara keberadaan-keberadaan lainnya. Artinya, keberadaan kita senantiasa bersentuhan dengan keberadaan manusia lainnya—yang kemudian membutuhkan bahasa untuk mengkomunikasikan sentuhan-sentuhan itu. Persentuhan ini yang menjadi titik awal terciptanya makna simbolis. Makna ini diproduksi melalui konsesus bersama—yang terjadi dengan sendirinya karena adanya dorongan kuat dari keberadaan untuk memfasilitasi kepentingannya. Kepentingan-kepentingan seperti apa yang diinginkan oleh keberadaan? Jawabannya adalah kepentingan-kepentingan untuk tetap 'ada'.

Keberadaan dan Identitas Rasional

Manusia akan menautkan keberadaannya dengan mengidentifikasikan makna yang tersedia di lingkungannya, lalu mengadopsinya. Hal ini dapat terjadi apabila keberadaan telah menemui langkah-langkah yang dianggap paling mampu memfasilitasi kepentingannya untuk tetap 'ada'. Langkah-langkah itu, maknanya disimbolisasikan ke dalam identitas, baik identitas fisik (materi) ataupun metafisik (ide). Makna identitas menjadi sangat penting dan terkristalisasi terutama dalam konteks masyarakat modern—yang pemaknaan diproduksi & direproduksi secara stabil melalui institusi-institusi yang mengusung rasionalitas formal.

Rasionalitas formal itu sendiri adalah langkah-langkah yang mengedepankan kalkulasi, prediktibilitas, dan kontrol untuk mengejar efektivitas dan efisiensi—yang semata-mata tujuan akhirnya adalah peningkatan produktivitas. Langkah-langkah ini diasumsikan dapat meminimalkan pengeluaran dan mengoptimalkan pemasukan. Dengan begitu, keuntungan lebih besar dapat diperoleh dari selisih pemasukan yang dikurangi dengan pengeluaran. Karenanya, rasionalitas formal berperan penting dalam mentransformasikan langkah-langkah manusia dari identitas kehidupan yang tradisional (kurang rasional) menuju identitas kehidupan yang modern (lebih rasional).

Langkah-langkah yang diusung rasionalitas formal dapat diterapkan secara individual, organisasional, ataupun institusional. Secara individual, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan diri kita secara mandiri melalui pemanfaatan potensi sumber daya individual, dan mengarahkannya pada kesempatan atau momentum yang mengoptimalkan keuntungan individual tersebut. Secara organisasional, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan sumber daya kelompok melalui kerja sama antar individu untuk mengoptimumkan keuntungan dari kepentingan kelompok. Sedangkan secara institusional, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan sumber daya masyarakat atau sekelompok masyarakat melalui aturan atau nilai-nilai yang terlembaga untuk menguntungkan kepentingan kolektif masyarakat.

Keberadaan dan Kecenderungan Naluriah

Dalam memperjuangkan keberadaannya untuk tetap 'ada', naluri manusia dengan sendirinya beroperasi dan memiliki kecenderungan untuk mencari langkah-langkah yang dianggap paling mampu memfasilitasi kepentingannya. Saat ini, di era modern yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses, agama sepertinya tidak lagi memiliki peranan yang sentral dalam memfasilitasi kepentingan aktual manusia. Sekularisasi yang sedang terjadi cukup membuktikan bahwa manusia tidak begitu puas dengan langkah-langkah yang difasilitasi oleh pemaknaan atau nilai-nilai agama. *Secara pribadi penulis kecewa dengan ketidakpuasan manusia ini.

Saat tulisan ini dibuat, klimaks dari pencarian langkah-langkah yang paling menguntungkan manusia adalah rasionalitas formal. Rasionalitas formal ini lah yang kemudian memproduksi & mereproduksi identitas-identitas rasional—yang pada gilirannya akan menyembunyikan orisinalitas keberadaan manusia dan menjadi tempat pelarian bagi manusia yang sedari awal tidak memiliki makna dan tujuan.

Keberadaan dan Arus Masyarakat

Keberadaan manusia sedari awal memang tidak memiliki makna dan tujuan. Oleh karena itu, manusia pasti akan mencarinya di luar sana. Namun, pencarian makna dan tujuan di era modernitas menjadi malapetaka yang berakhir pada hilangnya orisinalitas manusia. Manusia tidak lagi dikenali sebagai makhluk otentik yang khas dan unik. Melainkan, manusia hanyalah 'benda' yang diproduksi dan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan (institusi) di luar dirinya. Melalui institusi pendidikan, manusia terseragamkan ke dalam arus wacana ilmiah. Melalui institusi kekuasaan, manusia terdisiplinkan ke dalam arus normalitas kehidupan. Melalui rasionalitas formal, manusia terobjektivasi ke dalam arus algoritma produktivitas.

Manusia mulai kehilangan kekuatan untuk mengekspresikan keberadaannya secara bebas dan mandiri. Kekuatan individual manusia dilumpuhkan oleh kekuatan kolektif masyarakat. Saat ini, keberadaan manusia sedang bersembunyi di balik identitas-identitas rasional kolektif itu. Hanya karena mengadopsi identitas-identitas tersebut, manusia mengira dirinya 'ada'. Padahal yang 'ada' adalah masyarakat, bukan keberadaan diri nya itu sendiri. Dan pada gilirannya, pencarian makna dan tujuan manusia malah hanyut ke dalam arus identitas-identitas rasional yang diproduksi secara kolektif di masyarakat.

Keberadaan dan Akhir dari Keberadaan

Kenyataannya, keberadaan manusia saat ini hanyalah replika dari cetak biru masyarakat. Kita tidak lagi 'ada' sebagai ekspresi yang berdiri secara bebas dan mandiri. Kita hanya 'ada' sebagai ekspresi robot yang diprogram dengan algoritma produktivitas. Kita hanya dipandang eksis apabila algoritma produktivitas dapat difungsikan untuk menginstall identitas-identitas rasional kolektif masyarakat. Tanpa identitas-identitas itu, kita merasa kehilangan daya dan kekuatan sebagai manusia. Kita merasa kehilangan makna dan juga tujuan. Kita merasa tidak dihargai dan dilupakan. Ekspresi manusia—makna, tujuan, cita-cita, harapan, dan tindakan—tidak lagi bersumber dari kehendak individual manusia melainkan bersumber dari kehendak kolektif masyarakat.

Akhirnya, kita mengartikan manusia sebagai makhluk yang sama seperti 'benda'—yang diproduksi dan direproduksi di pabrik-pabrik sosial. Saat ini, kita tengah menyaksikan tragedinya, bahwa kematian banyak manusia hanyalah perhitungan statistik. Saat ini, kita tengah mengalaminya, kalau tanpa gelar pendidikan kita hanyalah sampah yang tidak bernilai. Saat ini, kita berada di tengah pusarannya, jika tidak mengadopsi identitas-identitas rasional kolektif itu, kita tidak dianggap 'ada' di masyarakat. Bahkan orangtuamu sendiri akan mengutuk dirimu apabila kamu gagal mengadopsi identitas-identitas tersebut, terutama identitas pendidikan dan pekerjaan.

Pendek kata, ini adalah gambaran dari akhir keberadaan manusia sebagai makhluk yang unik dan autentik. Akhir kata, selamat tinggal manusia yang autentik dan selamat datang manusia yang dipalsukan.

Merasa adalah pengalaman paling mengesankan. Tidak hanya membekas di jiwa, tapi juga terawat secara apik dalam ingatan. Kalaupun sampai te...

Merasa adalah pengalaman paling mengesankan. Tidak hanya membekas di jiwa, tapi juga terawat secara apik dalam ingatan. Kalaupun sampai terlupa, rasa itu tidak begitu saja lenyap. Paling-paling ingatan itu hanya mengaburkan latar yang menghadirkan suasana rasa itu, tapi rasa itu sendiri tidaklah lenyap. Rasa itu berubah, iya berubah. Tapi, perubahan itu hanya terjadi pada objek yang kita rasa. Sedangkan rasa itu sendiri tidak berubah, kita masih merasa dengan rasa yang sama. 

Rasa dan kekuatan internal
Gambar oleh GLady dari Pixabay 
Namun, rasa tidak selamanya memberikan sumbangan positif terhadap jiwa, terkadang sebaliknya, rasa itu menuntun jiwa-jiwa yang naif menuju jurang kehancuran. Rasa dapat dikatakan misterius, selain kehadirannya tidak dapat diprediksi, rasa itu sendiri terkadang tidak memiliki tujuan — kesadaran kitalah yang menentukan tujuan-tujuan dari rasa itu. Selain menghidupi jiwa, rasa juga memengaruhi orientasi tindakan kita, baik kita menyadarinya ataupun tidak.

Terkadang jiwa kita tersakiti oleh rasa. Karena bagaimanapun juga rasa menuntut untuk diekspresikan dan menuntut penerimaan. Namun, tidak semua ekspresi itu diterima, bahkan ditolak, bahkan dapat lebih buruk dari itu, yaitu ditiadakan. Jika penolakan rasa hanya berdampak pada pengabaian identitas, maka peniadaan rasa berdampak pada pengabaian personalitas. 

Bukankah orang-orang omong kosong itu sering mengatakan bahwa rasa itu dialamatkan pada personalitas, dan melampaui identitas? Nyatanya, hanya karena identitas tidak sesuai dengan ekspektasi kesadaran, alih-alih menyelusup ke dalam personalitas, rasa itu justru tertolak tanpa terlebih dulu mempertemukan personalitas. Mungkin, identitasnya terlalu buruk, hina, hingga tidak ada celah untuk penerimaan rasa. Itulah nyatanya! 

Rasa itu tidak dapat disalahkan, lagi-lagi, kita harus menyalahkan kesadaran pemilik rasa itu. Perasa itu harusnya paham, bahwa rasa itu unversal, dialami oleh siapa saja tanpa memandang kelas-kelas sosial. Namun, perasa harus menyadari, bahwa dalam memproyeksikan rasa ke dunia sosial haruslah mengikuti hukum-hukum sosial yang berlaku. Rasa yang hanya hidup dalam realitas subjektif harus diterjemahkan sesuai kemampuan objektif perasa.

Rasa memberikan dorongan internal yang entah bagaimana dapat memotivasi tindakan manusia. Rasa tidak hanya menghembuskan harapan pada jiwa maunsia, namun juga memberikan kekuatan pada jiwa-jiwa manusia itu. Jiwa yang tadinya dilayukan oleh kelemahan identitas menjadi bermekaran oleh kekuatan rasa. Karena rasa, kemiskinan tidak selalu dialami jiwa sebagai kesedihan dan penderitaan, sebaliknya, karena rasa, kekayaan justru tetap dapat membuat jiwa mengalami penderitaan dan kesedihan. 

Sebagaimana yang telah diutarakan, rasa memiliki determinasi yang cukup kuat atas kebahagiaan dan kesedihan jiwa seseorang. Kekuatannya itu melampaui batas identitas-identitas manusia, melampaui kemiskinan atau kekayaan, dan melampaui segala bentuk rupa manusia. Sayangnya, kekuatannya itu terkadang disalah artikan oleh perasa sebagai pembenaran tindakan atas setiap rasa yang dimilikinya. Kekuatan rasa justru mewujud sebagai mimpi buruk, bagi yang mengalami rasa itu sendiri dan bagi yang ditujukan oleh rasa tersebut.

Manusia menyadari bahwa ia tidak sepenuhnya bebas dalam mengkehendaki apa yang ia rasa. Apabila rasa itu terbalas sesuai dengan harapann...

Manusia menyadari bahwa ia tidak sepenuhnya bebas dalam mengkehendaki apa yang ia rasa. Apabila rasa itu terbalas sesuai dengan harapannya, maka ia diagung-agungkan sebagai sesuatu yang tulus dari sang pemilik rasa. Jika tidak terbalas, rasa itu dikutuk dengan rasa sakit, penderitaan, dan bahkan dikucilkan oleh pemilik rasa itu sendiri. Setidaknya, dua sisi pengalaman itu pernah menghampiri kita di kehidupan ini.
Ketidakberdayaan Rasa
Image by Ben Kerckx from Pixabay 
Reaksi atas dua pengalaman yang berlainan sisi tersebut mengungkap sebagian esensi rasa. Sedikitnya, penulis mendapati 2 poin utama.

Pertama, rasa itu berjarak dengan pemiliknya. Berjarak bukan berarti ia berasal dari luar, melainkan ia tetap berasal dari dalam diri manusia tetapi di luar jangkauan kehendak pemilik. Ia dimiliki namun sulit dikendalikan oleh sang pemilik. Ia hadir tapi seringkali tidak dikehendaki pemilik. Oleh karena itu, manusia seringkali dibuat bingung dengan perasaan yang dimilikinya. Tidak jarang, perasaan justru menghendaki kita untuk mencintai seseorang yang hampir tidak mungkin bisa kita miliki.

Kedua, jika mengacu pada dua sisi pengalaman yang bertolak belakang tersebut, maka rasa yang tulus tidak  kita temukan. Jika kita jujur pada diri kita sendiri, maka kita akan sadar bahwa kita tidak pernah menentukan kepada siapa rasa ini berlabuh dan sebesar apa rasa yang kita inginkan untuk dimiliki. Ketulusan merupakan klaim yang penuh dengan omong kosong. Kenyataannya, kita selalu dihantui oleh ketidakberdayaan kita dalam mengelola rasa.
"Ketulusan rasa pada akhirnya harus berakhir pada fakta ketidakberdayaan pemilik rasa."