Upaya menelusuri jawaban mengenai tujuan dan makna hidup dengan sendirinya membuktikan bahwa keberadaan kita tidak memiliki tujuan ataupun makna. Kalau kita memiliki tujuan dan makna maka buat apa kita masih mencarinya? Begitu pula pada wujud yang sedang kita tunggangi saat ini. Apakah wujud ini adalah milik kita? Jika iya, kenapa kita masih mencari pengetahuan untuk memahami wujud kita sendiri. Kalau memang wujud ini adalah milik kita, sudah sepatutnya kita dapat menerangkan semuanya dengan jelas—dari awal, proses, hingga akhir.
Kenyataannya, mungkin, kita tidak memiliki apapun selain keberadaan kita sendiri. Meskipun begitu, keberadaan kita tidak sendirian dalam manjalani hidup ini. Naluri hewan telah tertanam pada wujud ini, dan merupakan bekal dasar yang krusial bagi hidup manusia. Namun, naluri hewan hanya memberikan bimbingan sebatas mekanisme dasar bertahan hidup. Selebihnya, melalui pengembangan kemampuan kognisi dan afeksi—yang juga difasilitasi oleh wujud—, manusia harus menemukan langkah-langkah dalam menjalani hidup ini. Langkah-langkah ini, baik disadari atau tidak, akan sangat menentukan manusia dalam memandang dan bereaksi terhadap kehidupan.
Keberadaan dan Sentuhan Sosial
Keberadaan kita membutuhkan lebih dari sekedar naluri. Karena faktanya, keberadaan kita 'ada' di antara keberadaan-keberadaan lainnya. Artinya, keberadaan kita senantiasa bersentuhan dengan keberadaan manusia lainnya—yang kemudian membutuhkan bahasa untuk mengkomunikasikan sentuhan-sentuhan itu. Persentuhan ini yang menjadi titik awal terciptanya makna simbolis. Makna ini diproduksi melalui konsesus bersama—yang terjadi dengan sendirinya karena adanya dorongan kuat dari keberadaan untuk memfasilitasi kepentingannya. Kepentingan-kepentingan seperti apa yang diinginkan oleh keberadaan? Jawabannya adalah kepentingan-kepentingan untuk tetap 'ada'.
Keberadaan dan Identitas Rasional
Manusia akan menautkan keberadaannya dengan mengidentifikasikan makna yang tersedia di lingkungannya, lalu mengadopsinya. Hal ini dapat terjadi apabila keberadaan telah menemui langkah-langkah yang dianggap paling mampu memfasilitasi kepentingannya untuk tetap 'ada'. Langkah-langkah itu, maknanya disimbolisasikan ke dalam identitas, baik identitas fisik (materi) ataupun metafisik (ide). Makna identitas menjadi sangat penting dan terkristalisasi terutama dalam konteks masyarakat modern—yang pemaknaan diproduksi & direproduksi secara stabil melalui institusi-institusi yang mengusung rasionalitas formal.
Rasionalitas formal itu sendiri adalah langkah-langkah yang mengedepankan kalkulasi, prediktibilitas, dan kontrol untuk mengejar efektivitas dan efisiensi—yang semata-mata tujuan akhirnya adalah peningkatan produktivitas. Langkah-langkah ini diasumsikan dapat meminimalkan pengeluaran dan mengoptimalkan pemasukan. Dengan begitu, keuntungan lebih besar dapat diperoleh dari selisih pemasukan yang dikurangi dengan pengeluaran. Karenanya, rasionalitas formal berperan penting dalam mentransformasikan langkah-langkah manusia dari identitas kehidupan yang tradisional (kurang rasional) menuju identitas kehidupan yang modern (lebih rasional).
Langkah-langkah yang diusung rasionalitas formal dapat diterapkan secara individual, organisasional, ataupun institusional. Secara individual, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan diri kita secara mandiri melalui pemanfaatan potensi sumber daya individual, dan mengarahkannya pada kesempatan atau momentum yang mengoptimalkan keuntungan individual tersebut. Secara organisasional, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan sumber daya kelompok melalui kerja sama antar individu untuk mengoptimumkan keuntungan dari kepentingan kelompok. Sedangkan secara institusional, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan sumber daya masyarakat atau sekelompok masyarakat melalui aturan atau nilai-nilai yang terlembaga untuk menguntungkan kepentingan kolektif masyarakat.
Keberadaan dan Kecenderungan Naluriah
Dalam memperjuangkan keberadaannya untuk tetap 'ada', naluri manusia dengan sendirinya beroperasi dan memiliki kecenderungan untuk mencari langkah-langkah yang dianggap paling mampu memfasilitasi kepentingannya. Saat ini, di era modern yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses, agama sepertinya tidak lagi memiliki peranan yang sentral dalam memfasilitasi kepentingan aktual manusia. Sekularisasi yang sedang terjadi cukup membuktikan bahwa manusia tidak begitu puas dengan langkah-langkah yang difasilitasi oleh pemaknaan atau nilai-nilai agama. *Secara pribadi penulis kecewa dengan ketidakpuasan manusia ini.
Saat tulisan ini dibuat, klimaks dari pencarian langkah-langkah yang paling menguntungkan manusia adalah rasionalitas formal. Rasionalitas formal ini lah yang kemudian memproduksi & mereproduksi identitas-identitas rasional—yang pada gilirannya akan menyembunyikan orisinalitas keberadaan manusia dan menjadi tempat pelarian bagi manusia yang sedari awal tidak memiliki makna dan tujuan.
Keberadaan dan Arus Masyarakat
Keberadaan manusia sedari awal memang tidak memiliki makna dan tujuan. Oleh karena itu, manusia pasti akan mencarinya di luar sana. Namun, pencarian makna dan tujuan di era modernitas menjadi malapetaka yang berakhir pada hilangnya orisinalitas manusia. Manusia tidak lagi dikenali sebagai makhluk otentik yang khas dan unik. Melainkan, manusia hanyalah 'benda' yang diproduksi dan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan (institusi) di luar dirinya. Melalui institusi pendidikan, manusia terseragamkan ke dalam arus wacana ilmiah. Melalui institusi kekuasaan, manusia terdisiplinkan ke dalam arus normalitas kehidupan. Melalui rasionalitas formal, manusia terobjektivasi ke dalam arus algoritma produktivitas.
Manusia mulai kehilangan kekuatan untuk mengekspresikan keberadaannya secara bebas dan mandiri. Kekuatan individual manusia dilumpuhkan oleh kekuatan kolektif masyarakat. Saat ini, keberadaan manusia sedang bersembunyi di balik identitas-identitas rasional kolektif itu. Hanya karena mengadopsi identitas-identitas tersebut, manusia mengira dirinya 'ada'. Padahal yang 'ada' adalah masyarakat, bukan keberadaan diri nya itu sendiri. Dan pada gilirannya, pencarian makna dan tujuan manusia malah hanyut ke dalam arus identitas-identitas rasional yang diproduksi secara kolektif di masyarakat.
Keberadaan dan Akhir dari Keberadaan
Kenyataannya, keberadaan manusia saat ini hanyalah replika dari cetak biru masyarakat. Kita tidak lagi 'ada' sebagai ekspresi yang berdiri secara bebas dan mandiri. Kita hanya 'ada' sebagai ekspresi robot yang diprogram dengan algoritma produktivitas. Kita hanya dipandang eksis apabila algoritma produktivitas dapat difungsikan untuk menginstall identitas-identitas rasional kolektif masyarakat. Tanpa identitas-identitas itu, kita merasa kehilangan daya dan kekuatan sebagai manusia. Kita merasa kehilangan makna dan juga tujuan. Kita merasa tidak dihargai dan dilupakan. Ekspresi manusia—makna, tujuan, cita-cita, harapan, dan tindakan—tidak lagi bersumber dari kehendak individual manusia melainkan bersumber dari kehendak kolektif masyarakat.
Akhirnya, kita mengartikan manusia sebagai makhluk yang sama seperti 'benda'—yang diproduksi dan direproduksi di pabrik-pabrik sosial. Saat ini, kita tengah menyaksikan tragedinya, bahwa kematian banyak manusia hanyalah perhitungan statistik. Saat ini, kita tengah mengalaminya, kalau tanpa gelar pendidikan kita hanyalah sampah yang tidak bernilai. Saat ini, kita berada di tengah pusarannya, jika tidak mengadopsi identitas-identitas rasional kolektif itu, kita tidak dianggap 'ada' di masyarakat. Bahkan orangtuamu sendiri akan mengutuk dirimu apabila kamu gagal mengadopsi identitas-identitas tersebut, terutama identitas pendidikan dan pekerjaan.
Pendek kata, ini adalah gambaran dari akhir keberadaan manusia sebagai makhluk yang unik dan autentik. Akhir kata, selamat tinggal manusia yang autentik dan selamat datang manusia yang dipalsukan.