Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhluk cerdas, dan lain sebagainya. Oleh karena makna merupakan bagian dari kehidupan manusia, maka mempersoalkannya adalah bentuk gugatan terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Kenapa kita harus mempersoalkan makna? Apakah ada sesuatu di balik makna? Dan bagaimana makna memengaruhi kehidupan manusia?
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay |
Eksistensi tidak sendirinya hadir dengan makna. Melalui lika-liku kehidupan, eksistensi mulai menyadari keterasingannya di pusaran realitas. Keterasingannya tersebut mencemaskan eksistensi akan hakikat dirinya, asal-muasal dirinya, dan untuk apa dirinya ada. Untuk menyembunyikan dan menutupi rasa cemas dari keterasingannya tersebut, manusia menggunakan berbagai cara, dan salah satunya melalui penggunaan makna.
Bagi eksistensialis, makna hanyalah salah satu alat untuk menjembatani kesadarannya agar 'terhubung' dengan realitas. Tidak seperti manusia umumnya—yang memandang makna sebagai bagian dari manusia itu sendiri—bagi eksistensialis, makna terpisah dari eksistensi manusia itu sendiri. Sebagaimana alat, eksistensialis mengoperasikan makna, bukan malah sebaliknya, dioperasikan oleh makna. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka makna tengah digugat!
Menggugat Makna
Makna, seringkali berperan sebagai pelaku yang menstimulasi pikiran, perasaan, dan tindakan manusia untuk membenarkan aksi ataupun reaksi manusia terhadap realitas di sekitarnya. Misalnya, apabila dibandingkan dengan orang berpakaian rapih, orang berpakaian lusuh umumnya mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda (orang lusuh < orang rapih). Adanya hierarki makna di antara keduanya seolah-olah menjadi pembenaran atas perlakuan yang berbeda. Padahal, keduanya sama-sama manusia yang terasingkan oleh realitas—yang kedatangannya sama-sama tidak membawa makna.
Selain itu, makna juga berperan dalam memproduksi ketidakadilan yang difasilitasi oleh ketidaksetaraan yang tidak dapat dihindarkan oleh pendistribusian acak dadu kehidupan. Misalnya, orang dengan wajah kurang simetris dan berkulit gelap, saat kesan pertama, cenderung sulit mendapatkan kehangatan emosional apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki wajah simetris dan berkulit cerah. Kenyataan ini disebabkan oleh hierarki makna yang ada pada keduanya. Hal ini pula membuat sebagian orang, dalam kasus yang tidak dapat dihindarkan, harus berusaha lebih keras dari yang lainnya.
Kenyataan-kenyataan yang dimaknai secara hierarki seperti inilah yang membuat Penulis geram dan harus dipersoalkan. Bagaimana tidak, Penulis sendiri terkadang menjadi korban dari ketidakadilan hierarki makna tersebut. Terkadang, Penulis dihakimi oleh pemaknaan yang bahkan tidak merepresentasikan diri Penulis. Meskipun begitu, harus diakui pula bahwa pemaknaan yang mendahului realitas terkadang juga menguntungkan. Hal ini pun membuktikan bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.
Realitas atau kenyataan itu sendiri dapat dianalogikan sebagai suatu hindangan, dimaknai bagaimanapun juga, rasanya tetap sama. Hanya saja, ketika kita memaknainya, maka cara kita melihat dan menafsirkan realitas suatu hidangan menjadi berubah dan bervariasi. Apa yang dikomunikasikan kepada orang lain tentang hidangan tersebut pun menjadi tidak apa adanya, kadang meninggikan, kadang merendahkan. Kekonyolan seperti inilah yang menjadi kenyataan bagi sifat makna itu sendiri.
Persembunyian eksistensi ini bukan tanpa alasan, melainkan terdapat tujuan mendasar untuk mempertahankan kemapanan dirinya agar tetap 'ada'. Dan situsi kelas adalah sarana yang paling merepresentasikan kemampuan eksistensi dalam mempertahankan kemapanan dirinya di pusaran realitas. Misalnya, orang-orang kelas atas, mereka memiliki akses melimpah ke berbagai macam sumber daya di masyarakat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya agar tetap 'ada'. Sebaliknya dengan orang-orang kelas bawah, akses mereka sangat terbatas, 'ada' mereka sangat rentan.
Situasi semua kelas terikat oleh situasi pasar yang mana motor penggeraknya bukan hanya kebutuhan primer—sandang, pangan, papan—semata, melainkan terdapat motor ideologi sebagai kumpulan makna yang mengoperasikan hidup manusia dengan cara-cara tertentu. Motor ideologi tersebut menciptakan pola keteraturan yang kemudian dapat dengan mudah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan kelas tertentu.
Misalnya, ideologi-ideologi yang mewacanakan berbagai dikotomi biner antara makna kehidupan modern/ canggih/ keren dan makna kehidupan primitif/ kuno/ katro. Ideologi-ideologi semacam itu menguatkan situasi kelas yang memegang kendali atas perubahan dan kemajuan dalam bidang teknologi dan industri—yang keterlembagaannya ditopang oleh kekuatan institusi sosial-politik. Tanpa hierarki makna yang dibangun oleh dikotomi biner itu, usaha mereka menjual teknologi dan industri sulit menuai hasil.
Saat ini, kita hidup dalam bayang-bayang ideologi tersebut, seolah-olah, jika eksistensi kita tidak menjelma sebagai ekspektasi ideologi kehidupan modern, maka eksistensi kita menjadi kurang bermakna apabila dibandingkan oleh mereka yang memenuhi ekspektasi ideologi kehidupan modern. Ini nyata, tidak percaya? Coba saja dipraktikan. Apabila meminjam istilah Durkheim, maka hal ini dapat dinyatakan sebagai fakta sosial non-material—dengan cirinya yang universal, eksternal, dan memaksa.
Realitas atau kenyataan itu sendiri dapat dianalogikan sebagai suatu hindangan, dimaknai bagaimanapun juga, rasanya tetap sama. Hanya saja, ketika kita memaknainya, maka cara kita melihat dan menafsirkan realitas suatu hidangan menjadi berubah dan bervariasi. Apa yang dikomunikasikan kepada orang lain tentang hidangan tersebut pun menjadi tidak apa adanya, kadang meninggikan, kadang merendahkan. Kekonyolan seperti inilah yang menjadi kenyataan bagi sifat makna itu sendiri.
Sesuatu di balik Makna
Meskipun demikian, makna tidak dapat bertahan dan melembaga dengan sendirinya, kecuali memang sengaja dilestarikan dan direproduksi secara kontinu untuk tujuan tertentu. Lalu, siapa yang sengaja mereproduksinya untuk tujuan tertentu? Jawabannya, semua manusia yang sadar bahwa situasi kelasnya terikat oleh makna. Mereka adalah eksistensi yang bersembunyi di balik topeng kepentingan kelas mereka.Persembunyian eksistensi ini bukan tanpa alasan, melainkan terdapat tujuan mendasar untuk mempertahankan kemapanan dirinya agar tetap 'ada'. Dan situsi kelas adalah sarana yang paling merepresentasikan kemampuan eksistensi dalam mempertahankan kemapanan dirinya di pusaran realitas. Misalnya, orang-orang kelas atas, mereka memiliki akses melimpah ke berbagai macam sumber daya di masyarakat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya agar tetap 'ada'. Sebaliknya dengan orang-orang kelas bawah, akses mereka sangat terbatas, 'ada' mereka sangat rentan.
Situasi semua kelas terikat oleh situasi pasar yang mana motor penggeraknya bukan hanya kebutuhan primer—sandang, pangan, papan—semata, melainkan terdapat motor ideologi sebagai kumpulan makna yang mengoperasikan hidup manusia dengan cara-cara tertentu. Motor ideologi tersebut menciptakan pola keteraturan yang kemudian dapat dengan mudah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan kelas tertentu.
Misalnya, ideologi-ideologi yang mewacanakan berbagai dikotomi biner antara makna kehidupan modern/ canggih/ keren dan makna kehidupan primitif/ kuno/ katro. Ideologi-ideologi semacam itu menguatkan situasi kelas yang memegang kendali atas perubahan dan kemajuan dalam bidang teknologi dan industri—yang keterlembagaannya ditopang oleh kekuatan institusi sosial-politik. Tanpa hierarki makna yang dibangun oleh dikotomi biner itu, usaha mereka menjual teknologi dan industri sulit menuai hasil.
Saat ini, kita hidup dalam bayang-bayang ideologi tersebut, seolah-olah, jika eksistensi kita tidak menjelma sebagai ekspektasi ideologi kehidupan modern, maka eksistensi kita menjadi kurang bermakna apabila dibandingkan oleh mereka yang memenuhi ekspektasi ideologi kehidupan modern. Ini nyata, tidak percaya? Coba saja dipraktikan. Apabila meminjam istilah Durkheim, maka hal ini dapat dinyatakan sebagai fakta sosial non-material—dengan cirinya yang universal, eksternal, dan memaksa.
Makna dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Manusia
Apabila ditinjau berdasarkan kedudukannya, makna dapat dibagi menjadi dua, yaitu makna struktural dan makna individual. Makna struktural adalah makna yang dibagikan, diakui, dikembangkan, dan dilembagakan secara kolektif di masyarakat. Misalnya, makna yang mengatur cara berpakaian manusia. Sedangkan makna individual adalah makna yang terbatas jika dibagikan dan terbentur oleh pengakuan orang lain. Makna individual diproduksi oleh keunikan pengalaman manusia secara personal—yang apabila kita membagikannya kepada orang lain, maka orang lain belum tentu dapat memahaminya, apa lagi mengakuinya. Misalnya, curahan hati orang perihal perasaan pribadinya terhadap orang yang disukainya.Kenyataannya, kita senantiasa hidup dalam bayang-bayang makna, baik makna struktural ataupun individual. Kenyataan yang diperoleh dari makna struktural adalah fungsinya yang memfasilitasi cara manusia dalam berasa, berpikir, dan bertindak. Sedangkan kenyataan dari makna individual adalah fungsinya yang memfasilitasi kebebasan berekspresi secara personal. Kedua kenyataan tersebut saling berdialektika dalam memengaruhi kehidupan manunsia. Dan menariknya, karena dialektika itu makna dapat diretas fungsinya sejauh tidak dipertemukan dengan realitas, alias dijadikan sebagai alat kebohongan! Masih ingat, 'kan? Bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.
Apa-apa yang dapat dipengaruhi oleh makna adalah apa-apa yang dapat dimanfaatkan dari makna. Kehidupan manusia senantiasa dipengaruhi makna dikarenakan manusia memahami manfaat yang ada pada makna. Meskipun begitu, penggunaan makna terkadang tidak sejalan dengan manfaat utamanya sebagai ukuran yang mewakili realitas. Misalnya, pada perbedaan makna profesi. Seharusnya, makna suatu profesi diutamakan dari tingkat penghasilannya, namun kenyataan di lapangan dapat terjadi sebaliknya. Misalnya, seorang pengemis jalanan dapat menghasilkan uang 6-8 juta dalam sebulan, sedangkan seorang pegawai kantoran hanya mendapatkan gaji tetap 4 juta dalam sebulan. Namun kenyataannya, profesi pengemis tetaplah bermakna lebih rendah dari pada profesi pegawai kantoran.
Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia? Makna atau nilai dari realitas (penghasilan)? Melihat dari perbandingan makna profesi sebelumnya, maka makna seolah-olah lebih diutamakan dari pada nilai realitas (penghasilan) itu sendiri. Jawabannya tentu saja bukan karena manusia itu bodoh. Saat keadaan tertentu, manusia lebih memprioritaskan makna dikarenakan makna itu sendiri memiliki nilai yang dipertimbangkan secara struktural ataupun individual. Rendahnya makna profesi pengemis meskipun memiliki penghasilan lebih tinggi dari pegawai kantoran disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan struktural, salah satunya adalah prestise atau gengsi suatu profesi.
Dari kenyataan-kenyataan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna memiliki dunianya sendiri yang nilainya tidak selalu terikat oleh realitas. Artinya, makna adalah lapisan terpisah dari realitas yang beroperasi untuk mewakili realitas namun juga menciptakan realitasnya sendiri—yang bahkan nilai realitas ciptaannya dapat digunakan untuk melawan nilai dari realitas aslinya. Kenapa terjadi demikian? Karena gugatan eksistensialis terhadap makna, agar realitas yang tiada makna dihidupi sebagai moral.