Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhl...

Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhluk cerdas, dan lain sebagainya. Oleh karena makna merupakan bagian dari kehidupan manusia, maka mempersoalkannya adalah bentuk gugatan terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Kenapa kita harus mempersoalkan makna? Apakah ada sesuatu di balik makna? Dan bagaimana makna memengaruhi kehidupan manusia?
Menggugat Makna
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay 
Eksistensi tidak sendirinya hadir dengan makna. Melalui lika-liku kehidupan, eksistensi mulai menyadari keterasingannya di pusaran realitas. Keterasingannya tersebut mencemaskan eksistensi akan hakikat dirinya, asal-muasal dirinya, dan untuk apa dirinya ada. Untuk menyembunyikan dan menutupi rasa cemas dari keterasingannya tersebut, manusia menggunakan berbagai cara, dan salah satunya melalui penggunaan makna.

Bagi eksistensialis, makna hanyalah salah satu alat untuk menjembatani kesadarannya agar 'terhubung' dengan realitas. Tidak seperti manusia umumnya—yang memandang makna sebagai bagian dari manusia itu sendiri—bagi eksistensialis, makna terpisah dari eksistensi manusia itu sendiri. Sebagaimana alat, eksistensialis mengoperasikan makna, bukan malah sebaliknya, dioperasikan oleh makna. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka makna tengah digugat!

Menggugat Makna

Makna, seringkali berperan sebagai pelaku yang menstimulasi pikiran, perasaan, dan tindakan manusia untuk membenarkan aksi ataupun reaksi manusia terhadap realitas di sekitarnya. Misalnya, apabila dibandingkan dengan orang berpakaian rapih, orang berpakaian lusuh umumnya mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda (orang lusuh < orang rapih). Adanya hierarki makna di antara keduanya seolah-olah menjadi pembenaran atas perlakuan yang berbeda. Padahal, keduanya sama-sama manusia yang terasingkan oleh realitas—yang kedatangannya sama-sama tidak membawa makna.

Selain itu, makna juga berperan dalam memproduksi ketidakadilan yang difasilitasi oleh ketidaksetaraan yang tidak dapat dihindarkan oleh pendistribusian acak dadu kehidupan. Misalnya, orang dengan wajah kurang simetris dan berkulit gelap, saat kesan pertama, cenderung sulit mendapatkan kehangatan emosional apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki wajah simetris dan berkulit cerah. Kenyataan ini disebabkan oleh hierarki makna yang ada pada keduanya. Hal ini pula membuat sebagian orang, dalam kasus yang tidak dapat dihindarkan, harus berusaha lebih keras dari yang lainnya. 

Kenyataan-kenyataan yang dimaknai secara hierarki seperti inilah yang membuat Penulis geram dan harus dipersoalkan. Bagaimana tidak, Penulis sendiri terkadang menjadi korban dari ketidakadilan hierarki makna tersebut. Terkadang, Penulis dihakimi oleh pemaknaan yang bahkan tidak merepresentasikan diri Penulis. Meskipun begitu, harus diakui pula bahwa pemaknaan yang mendahului realitas terkadang juga menguntungkan. Hal ini pun membuktikan bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.

Realitas atau kenyataan itu sendiri dapat dianalogikan sebagai suatu hindangan, dimaknai bagaimanapun juga, rasanya tetap sama. Hanya saja, ketika kita memaknainya, maka cara kita melihat dan menafsirkan realitas suatu hidangan menjadi berubah dan bervariasi. Apa yang dikomunikasikan kepada orang lain tentang hidangan tersebut pun menjadi tidak apa adanya, kadang meninggikan, kadang merendahkan. Kekonyolan seperti inilah yang menjadi kenyataan bagi sifat makna itu sendiri.

Sesuatu di balik Makna

Meskipun demikian, makna tidak dapat bertahan dan melembaga dengan sendirinya, kecuali memang sengaja dilestarikan dan direproduksi secara kontinu untuk tujuan tertentu. Lalu, siapa yang sengaja mereproduksinya untuk tujuan tertentu? Jawabannya, semua manusia yang sadar bahwa situasi kelasnya terikat oleh makna. Mereka adalah eksistensi yang bersembunyi di balik topeng kepentingan kelas mereka.

Persembunyian eksistensi ini bukan tanpa alasan, melainkan terdapat tujuan mendasar untuk mempertahankan kemapanan dirinya agar tetap 'ada'. Dan situsi kelas adalah sarana yang paling merepresentasikan kemampuan eksistensi dalam mempertahankan kemapanan dirinya di pusaran realitas. Misalnya, orang-orang kelas atas, mereka memiliki akses melimpah ke berbagai macam sumber daya di masyarakat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya agar tetap 'ada'. Sebaliknya dengan orang-orang kelas bawah, akses mereka sangat terbatas, 'ada' mereka sangat rentan.

Situasi semua kelas terikat oleh situasi pasar yang mana motor penggeraknya bukan hanya kebutuhan primer—sandang, pangan, papan—semata, melainkan terdapat motor ideologi sebagai kumpulan makna yang mengoperasikan hidup manusia dengan cara-cara tertentu. Motor ideologi tersebut menciptakan pola keteraturan yang kemudian dapat dengan mudah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan kelas tertentu.

Misalnya, ideologi-ideologi yang mewacanakan berbagai dikotomi biner antara makna kehidupan modern/ canggih/ keren dan makna kehidupan primitif/ kuno/ katro. Ideologi-ideologi semacam itu menguatkan situasi kelas yang memegang kendali atas perubahan dan kemajuan dalam bidang teknologi dan industri—yang keterlembagaannya ditopang oleh kekuatan institusi sosial-politik. Tanpa hierarki makna yang dibangun oleh dikotomi biner itu, usaha mereka menjual teknologi dan industri sulit menuai hasil.

Saat ini, kita hidup dalam bayang-bayang ideologi tersebut, seolah-olah, jika eksistensi kita tidak menjelma sebagai ekspektasi ideologi kehidupan modern, maka eksistensi kita menjadi kurang bermakna apabila dibandingkan oleh mereka yang memenuhi ekspektasi ideologi kehidupan modern. Ini nyata, tidak percaya? Coba saja dipraktikan. Apabila meminjam istilah Durkheim, maka hal ini dapat dinyatakan sebagai fakta sosial non-material—dengan cirinya yang universal, eksternal, dan memaksa.

Makna dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Manusia

Apabila ditinjau berdasarkan kedudukannya, makna dapat dibagi menjadi dua, yaitu makna struktural dan makna individual. Makna struktural adalah makna yang dibagikan, diakui, dikembangkan, dan dilembagakan secara kolektif di masyarakat. Misalnya, makna yang mengatur cara berpakaian manusia. Sedangkan makna individual adalah makna yang terbatas jika dibagikan dan terbentur oleh pengakuan orang lain. Makna individual diproduksi oleh keunikan pengalaman manusia secara personal—yang apabila kita membagikannya kepada orang lain, maka orang lain belum tentu dapat memahaminya, apa lagi mengakuinya. Misalnya, curahan hati orang perihal perasaan pribadinya terhadap orang yang disukainya.

Kenyataannya, kita senantiasa hidup dalam bayang-bayang makna, baik makna struktural ataupun individual. Kenyataan yang diperoleh dari makna struktural adalah fungsinya yang memfasilitasi cara manusia dalam berasa, berpikir, dan bertindak. Sedangkan kenyataan dari makna individual adalah fungsinya yang memfasilitasi kebebasan berekspresi secara personal. Kedua kenyataan tersebut saling berdialektika dalam memengaruhi kehidupan manunsia. Dan menariknya, karena dialektika itu makna dapat diretas fungsinya sejauh tidak dipertemukan dengan realitas, alias dijadikan sebagai alat kebohongan! Masih ingat, 'kan? Bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.

Apa-apa yang dapat dipengaruhi oleh makna adalah apa-apa yang dapat dimanfaatkan dari makna. Kehidupan manusia senantiasa dipengaruhi makna dikarenakan manusia memahami manfaat yang ada pada makna. Meskipun begitu, penggunaan makna terkadang tidak sejalan dengan manfaat utamanya sebagai ukuran yang mewakili realitas. Misalnya, pada perbedaan makna profesi. Seharusnya, makna suatu profesi diutamakan dari tingkat penghasilannya, namun kenyataan di lapangan dapat terjadi sebaliknya. Misalnya, seorang pengemis jalanan dapat menghasilkan uang 6-8 juta dalam sebulan, sedangkan seorang pegawai kantoran hanya mendapatkan gaji tetap 4 juta dalam sebulan. Namun kenyataannya, profesi pengemis tetaplah bermakna lebih rendah dari pada profesi pegawai kantoran.

Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia? Makna atau nilai dari realitas (penghasilan)? Melihat dari perbandingan makna profesi sebelumnya, maka makna seolah-olah lebih diutamakan dari pada nilai realitas (penghasilan) itu sendiri. Jawabannya tentu saja bukan karena manusia itu bodoh. Saat keadaan tertentu, manusia lebih memprioritaskan makna dikarenakan makna itu sendiri memiliki nilai yang dipertimbangkan secara struktural ataupun individual. Rendahnya makna profesi pengemis meskipun memiliki penghasilan lebih tinggi dari pegawai kantoran disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan struktural, salah satunya adalah prestise atau gengsi suatu profesi.

Dari kenyataan-kenyataan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna memiliki dunianya sendiri yang nilainya tidak selalu terikat oleh realitas. Artinya, makna adalah lapisan terpisah dari realitas yang beroperasi untuk mewakili realitas namun juga menciptakan realitasnya sendiri—yang bahkan nilai realitas ciptaannya dapat digunakan untuk melawan nilai dari realitas aslinya. Kenapa terjadi demikian? Karena gugatan eksistensialis terhadap makna, agar realitas yang tiada makna dihidupi sebagai moral.

Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasari — semua a...

Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasarisemua atau sebagian—perasaannya, pemikirannya, dan juga tindakannya agar memiliki makna. Secara garis besar, terdapat dua gairah eksistensial yang setidaknya penulis dapat bedakan berdasarkan pengamatan dan pengalaman personal, yaitu gairah relasional dan gairah kebebasan.
Gairah Makhluk Eksistensial
Gambar oleh Tom und Nicki Löschner dari Pixabay 

Gairah Relasional: Ciri Makhluk Sosial

Sebagaimana namanya, terciptanya gairah ini didasari oleh relasi-relasi yang dimiliki oleh suatu eksistensi. Relasi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hubungan sesama manusia, melainkan juga hubungan terhadap hewan, benda, atau bahkan pada setiap aktivitas manusia, baik yang digemari secara personal, seperti hobi, atau yang dituntut secara sosial, seperti bersekolah. Meskipun demikian, unsur-unsur dari pembentukan semua relasi tersebut tetap bermula pada hubungan antar sesama manusia.

Relasi terhadap sesama manusia adalah sumber gairah pertama eksistensial. Sejak lahir, manusia telah diberikan nama oleh orangtuanya. Nama adalah pemaknaan yang pertama kali dilekatkan oleh orangtua terhadap manusia, dengan harapan, kelak manusia tersebut memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemaknaan pada nama yang dilekatkannya. Melalui cara itu, harapan-harapan ideal—yang bersumber dari kecemasan dan semangat eksistensial orangtua—ditransmisikan melalui nama. Tindakan demikian semata-mata bertujuan agar manusia mewarisi kecemasan dan semangat eksistensial orangtuanya tersebut.

Relasi kuat terhadap orangtua membuat makna hidup manusia selalu terikat dengan eksistensi mereka. Misalnya, hampir semua manusia memaknai tujuan hidupnya untuk membahagiakan orangtua mereka. Apabila orangtua manusia tiada, manusia merasa telah kehilangan sebagian besar makna hidupnya, terutama dialami bagi mereka yang belum memenuhi tuntutan relasional untuk membahagiakan orangtua. Eksistensi manusia dapat menjadi bergairah namun juga dapat menjadi lesu, hanya karena relasinya dengan orangtua. Menurut penulis, kasus seperti ini adalah contoh terbaik yang menjelaskan gairah relasional eksistensialis manusia.

Sebagaimana uraian sebelumnya, eksistensi yang diaktifkan oleh gairah relasional tersebut memiliki kelemahan, yaitu terlalu bergantung pada hubungan yang dimiliki manusia terhadap sesuatu di luar dirinya. Ketergantungan ini menjadi malapetaka apabila manusia gagal dalam memenuhi harapan-harapan dari hubungan relasionalnya.

Misalnya, apabila kamu tidak dapat memenuhi harapan-harapan dari relasi sosial masyarakat secara umum—seperti tuntutan untuk berpendidikan minimal SMA—dan jika kamu hanya berpendidikan sampai SD, maka makna eksistensimu di masyarakat menjadi berkurang, bahkan pada kasus ekstrem, kamu dianggap tidak ada. Orang-orang disekitarmu pun tidak memaknaimu sebagai sesuatu yang penting. Kenapa demikian? Pertama, tujuan dasar eksistensi adalah untuk tetap ada (hidup). Kedua, karena tujuan tersebut, segala sesuatu yang berkontribusi terhadap pemenuhan tujuan dasar eksistensi menjadi bermakna. Apabila kita amati pada kasus pendidikan, bermodalkan hanya ijazah SD sulit untuk berkontribusi secara mapan terhadap tujuan eksistensi tersebut. Sehingga, secara umum, mereka yang hanya berpendidikan SD menjadi kurang bermakna dibandingkan dengan yang telah berpendidikan SMA.

Pendek kata, bergairah atau tidaknya eksistensi manusia lebih disebabkan oleh pemaknaan yang terdapat dalam hubungan relasionalnya. Manusia yang bergantung pada gairah relasional hanya merasa hidup apabila mendapat pengakuan dan makna dari orang lain (hubungan relasionalnya). Namun, bagaimana dengan mereka yang eksistensinya tidak diakui makna keberadaannya? Mereka yang kalah dan tidak mampu memenuhi tuntutan dan harapan relasionalnya? Jawabannya ada diakhir tulisan ini.

Gairah Kebebasan: Ciri Makhluk Individual

Apabila gairah relasional menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, maka gairah kebebasan sebaliknya, yaitu menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk individual. Dalam hal ini, manusia merasa terbebani dengan relasi-relasi yang dimilikinya, terutama bagi manusia yang sangat tertekan oleh tuntutan-tuntutan relasionalnya tersebut. Bagi manusia yang sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya, sangat mungkin, tidak akan tertarik untuk membebaskan diri dari ikatan relasionalnya. Sebaliknya, manusia yang tidak sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya sangat mungkin untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan—tuntutan dan pemaknaan—relasional tersebut.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semua manusia yang eksistensinya didominasi oleh gairah kebebasan adalah mereka yang tertekan oleh ikatan relasionalnya. Eksistensi yang digairahkan oleh kebebasan bisa saja bersumber dari hasrat keinginan manusia itu sendiri. Atau, bisa saja bersumber dari kemampuan manusia dalam merefleksikan pengalaman hidup mereka. Walaupun sulit memastikan apa dan dari mana sumbernya, gairah kebebasan memiliki kesamaan ciri mendasar, yaitu kesadaran akan adanya jarak antara eksistensinya dengan makna.

Kesadaran akan adanya jarak antara dirinya dengan makna memiliki konsekuensi logis bahwa manusia tidak lagi merasa terikat dengan makna relasionalnya. Dengan jarak, manusia mampu menjadikan makna sebagai instrumen yang memfasilitasi kepentingan individualnya. Manusia memegang makna sebagaimana alat, dapat digenggam juga dilepas apabila dibutuhkan atau tidak lagi dibutuhkan. Namun, konsekuensi logis daripada itu semua adalah bangkitnya kesadaran manusia bahwa kebermaknaan eksistensinya semu.

Berbeda dengan manusia yang tidak diakui makna eksistensinya, manusia dengan gairah kebebasan bisa saja sangat diakui makna eksistensinya dan bertingkah laku sama seperti manusia dengan gairah relasional. Namun, manusia dengan gairah kebebasan tetap dapat dibedakan. Manusia dengan tipe gairah ini memiliki rute hidupnya sendiri—yang tidak dapat diterjemahkan dengan pemahaman apapun. Contoh terbaik dari kasus ini adalah manusia yang tidak terbawa suasana lingkungannya. Manusia ini memiliki corak tersendiri yang membedakannya dari kerumunan.

Pendek kata, eksistensi yg tetap bergairah atau semakin bergairah tanpa terikat oleh pemaknaan orang lain, hidup dalam suatu kebebasan sekaligus kehampaan. Di satu sisi, eksistensinya dapat bebas dari ikatan makna relasional. Namun di sisi lain, eksisistensinya hampa.

Matinya Gairah Eksistensial

Eksistensi manusia, jika kecemasannya tidak lagi diakui maknanya, dapat berakhir pada situasi ketidakbermaknaan dan kekosongan eksistensial. Kecemasan adalah bahasa eksistensi jiwa. Jika bahasa itu diabaikan keberadaan maknanya, maka tidak ada lagi yang bisa diucapkan oleh jiwa selain kekosongan. Pada situasi ini, gairah eksistensial sangat mungkin menemui kematiannya, yaitu ketidakbermaknaan eksistensial. Manusia yang mengalami hal ini sangat mungkin menjadi frustrasi dan depresi.

Oleh karena itu, penting untuk kita belajar memerhatikan dan menghargai kecemasan orang lain—tanpa melihat hubungan sosialnya, baik itu latar kelas, status, pendidikan, ideologi, dsb. Barangkali perhatianmu adalah penyelamat jiwanya.

Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubun...

Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubungan sosial, seperti orangtua, pasangan, kerabat ataupun sahabat. Apakah untuk melayani diri sendiri? Yaitu raga, seperti kepuasan biologis dan psikologis. Apakah untuk melayani jiwa kita sendiri? Seperti menemukan ketenangan dan kelapangan jiwa. Jika sudah menemukan jawabannya, melalui ekspresi tersebut, apa yang sebenarnya harus kita cari dari momentum kehidupan yang singkat ini?
Gambar oleh Elias Sch. dari Pixabay 
Umumnya manusia akan menjawab "ekspresi kami melayani ketiganya, yaitu sosial, raga, dan jiwa". Namun, benarkah mereka memahami arti dari ketiganya? Dari yang kuketahui, umumnya ekspresi manusia hanya merepresentasikan kebutuhan sosial dan raganya saja. Alih-alih kebutuhan jiwa itu yang utama, kehidupan manusia justru seringkali menghadapi ketegangan hubungan, kekhawatiran masa depan, dan ketakutan akan kematian. Lalu, dimana ekspresi yang melayani kebutuhan jiwa itu?

Dewasa ini, umumnya jiwa manusia telah layu, yang bermekaran hanyalah kehidupan raga dan sosialnya saja. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara sederhana, baik melalui refleksi ataupun pengamatan. Melalui refleksi, kita cukup menolehkan wajah pada cermin lalu bertanya kepada diri sendiri, "apakah kamu siap bercerai dengan ragamu?". Sedangkan melalui pengamatan, kita cukup menolehkan wajah pada kehidupan masyarakat yang semakin modern tapi justru semakin jauh dari tujuan moral bermasyarakat, yaitu menghilangkan penderitaan yang masih juga dialami oleh sebagian manusia.

Kebanyakan ekspresi manusia di era modern saat ini hanyalah representasi kebutuhan raga dan sosialnya saja. Misalnya saja percakapan sesama manusia, yang seringkali hanya gambaran dari adanya kesamaan kepentingan dan kelas sosial. Alih-alih menghasilkan kelapangan jiwa, percakapan sesama manusia justru menghasilkan ketegangan dan kecemasan jiwa melalui persaingan kepentingan.

Pendek kata, dapat menemukan ekspresi murni dari jiwa manusia di era modern saat ini adalah suatu hal yang langka dan istimewa. Lalu, jika kamu sudah benar-benar menemukannya, apa yang seharusnya dicari dari momentum kehidupan yang singkat ini?

Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan ole...

Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan oleh kedua bentuk dikotomis peristiwa tersebut, yang penulis wakilkan dengan istilah komedi dan tragedi.
Gambar pohon komedi dan tragedi
Gambar oleh Franck Barske dari Pixabay 
Komedi dan tragedi memiliki hubungan yang sangat dekat, yaitu sebagai saudara kandung. Ibunya adalah pengalaman manusia yang mengoperasikan kehidupan, sedangkan bapaknya adalah mekanisme alam yang mengoperasikan realitas. Kalau ibu melakukan kesalahan kepada bapak maka lahirlah komedi. Kalau bapak melakukan kesalahan kepada ibu maka lahirlah tragedi. Kehidupan rumah tangga yang dipenuhi dengan pertengkaran antara subjektivitas sang ibu dan objektivitas sang bapak.

Sebagai permisalan ekstrem tragedi, maka kematian adalah yang paling mewakili bentuk mekanisme alam yang mustahil ditolak. Kematian menjadi tragedi karena sang bapak dengan objektivitasnya merenggut subjektivitas sang ibu secara paksa. Kehidupan yang diopersaikan oleh pengalaman manusia dihentikan oleh realitas yang dioperasikan mekanisme alam.

Namun, tidak semua kematian dijiwai sebagai tragedi. Tidak semua ibu posesif terhadap kehidupan manusia. Ada pula ibu yang memahami bahwa kedudukan subjektivitasnya dideterminasi oleh objektivitas sang bapak. Pemahamannya tersebut membawa pengalaman manusia pada level kesadaran tertinggi sebagai makhluk fana yang sedang sekarat menuju kematian. Dengan begitu, kematian hanya diartikan sebagai dialog perpisahan antara ibu dan bapak, antara pengalaman manusia dengan realitas alam.

Sedangkan komedi, maka kebodohan adalah yang paling mewakili bentuk pengalaman manusia yang secara potensial dapat ditolak. Kebodohan menjadi komedi karena sang ibu dengan subjektivitasnya dapat salah dalam memahami objektivitas sang bapak. Kesalahpahaman yang dihasilkan oleh pengalaman manusia senantiasa dimunculkan oleh benturan antara subjektivitas dengan objektivitas.

Namun, tidak seperti tragedi kematian. Komedi kebodohan tidak dialami oleh semua manusia. Faktanya, kesalahpahaman hanya terjadi di dalam pikiran individu. Oleh karena itu, kebodohan bersifat individual. Karena bersifat individual, komedi kebodohan hanya dialami oleh individu-individu yang melakukan kesalahpahaman terhadap kekakuan realitas alam. Dengan begitu, kebodohan menjadi komedi ketika individu-individu lain menyaksikan adegan kesalahpahaman manusia terhadap kekakuan realitas.

Pendek kata, kematian menyalahi keinginan manusia untuk tetap hidup, sehingga disebut sebagai tragedi. Sedangkan kebodohan menyalahi kekakuan mekanisme alam, sehingga disebut sebagai komedi. Tragedi adalah realitas yang tidak dapat dihindarkan, sedangkan komedi adalah pengalaman yang dapat dihindarkan. Oleh karena itu, objek dari tragedi adalah manusia secara keseluruhan, sedangkan objek dari komedi adalah manusia secara individual.

Lalu, bagaimana dengan cinta? Hemat penulis, cinta adalah titik temu keduanya. Perkawinan antara komedi dan tragedi. Sebagai komedi, cinta menyalahi kesendirian eksistensi manusia. Sebagai tragedi, cinta menyalahi kebersamaan esensial individu. Tidak heran, jika kebahagiaan cinta selalu dibayang-bayangi penderitaan.

Sejak awal, kita tidak membawa apa-apa. Kedatangan kita di dunia terjadi begitu saja tanpa adanya makna ataupun tujuan. Tiba-tiba saja, ki...

Sejak awal, kita tidak membawa apa-apa. Kedatangan kita di dunia terjadi begitu saja tanpa adanya makna ataupun tujuan. Tiba-tiba saja, kita telah terpenjara di dalam suatu wujud—yang entah sejak kapan, kita mulai tersadar bahwa kita 'ada' di 'dalam sana'. Akan lebih mudah dibayangkan, apabila kita menganalogikan wujud sebagai kendaraan yang sedang kita tunggangi. Dan wujud yang sama-sama kita tunggangi saat ini adalah homo sapiens.
Gambar oleh Stefan Keller dari Pixabay 
Upaya menelusuri jawaban mengenai tujuan dan makna hidup dengan sendirinya membuktikan bahwa keberadaan kita tidak memiliki tujuan ataupun makna. Kalau kita memiliki tujuan dan makna maka buat apa kita masih mencarinya? Begitu pula pada wujud yang sedang kita tunggangi saat ini. Apakah wujud ini adalah milik kita? Jika iya, kenapa kita masih mencari pengetahuan untuk memahami wujud kita sendiri. Kalau memang wujud ini adalah milik kita, sudah sepatutnya kita dapat menerangkan semuanya dengan jelas—dari awal, proses, hingga akhir.

Kenyataannya, mungkin, kita tidak memiliki apapun selain keberadaan kita sendiri. Meskipun begitu, keberadaan kita tidak sendirian dalam manjalani hidup ini. Naluri hewan telah tertanam pada wujud ini, dan merupakan bekal dasar yang krusial bagi hidup manusia. Namun, naluri hewan hanya memberikan bimbingan sebatas mekanisme dasar bertahan hidup. Selebihnya, melalui pengembangan kemampuan kognisi dan afeksi—yang juga difasilitasi oleh wujud—, manusia harus menemukan langkah-langkah dalam menjalani hidup ini. Langkah-langkah ini, baik disadari atau tidak, akan sangat menentukan manusia dalam memandang dan bereaksi terhadap kehidupan.

Keberadaan dan Sentuhan Sosial

Keberadaan kita membutuhkan lebih dari sekedar naluri. Karena faktanya, keberadaan kita 'ada' di antara keberadaan-keberadaan lainnya. Artinya, keberadaan kita senantiasa bersentuhan dengan keberadaan manusia lainnya—yang kemudian membutuhkan bahasa untuk mengkomunikasikan sentuhan-sentuhan itu. Persentuhan ini yang menjadi titik awal terciptanya makna simbolis. Makna ini diproduksi melalui konsesus bersama—yang terjadi dengan sendirinya karena adanya dorongan kuat dari keberadaan untuk memfasilitasi kepentingannya. Kepentingan-kepentingan seperti apa yang diinginkan oleh keberadaan? Jawabannya adalah kepentingan-kepentingan untuk tetap 'ada'.

Keberadaan dan Identitas Rasional

Manusia akan menautkan keberadaannya dengan mengidentifikasikan makna yang tersedia di lingkungannya, lalu mengadopsinya. Hal ini dapat terjadi apabila keberadaan telah menemui langkah-langkah yang dianggap paling mampu memfasilitasi kepentingannya untuk tetap 'ada'. Langkah-langkah itu, maknanya disimbolisasikan ke dalam identitas, baik identitas fisik (materi) ataupun metafisik (ide). Makna identitas menjadi sangat penting dan terkristalisasi terutama dalam konteks masyarakat modern—yang pemaknaan diproduksi & direproduksi secara stabil melalui institusi-institusi yang mengusung rasionalitas formal.

Rasionalitas formal itu sendiri adalah langkah-langkah yang mengedepankan kalkulasi, prediktibilitas, dan kontrol untuk mengejar efektivitas dan efisiensi—yang semata-mata tujuan akhirnya adalah peningkatan produktivitas. Langkah-langkah ini diasumsikan dapat meminimalkan pengeluaran dan mengoptimalkan pemasukan. Dengan begitu, keuntungan lebih besar dapat diperoleh dari selisih pemasukan yang dikurangi dengan pengeluaran. Karenanya, rasionalitas formal berperan penting dalam mentransformasikan langkah-langkah manusia dari identitas kehidupan yang tradisional (kurang rasional) menuju identitas kehidupan yang modern (lebih rasional).

Langkah-langkah yang diusung rasionalitas formal dapat diterapkan secara individual, organisasional, ataupun institusional. Secara individual, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan diri kita secara mandiri melalui pemanfaatan potensi sumber daya individual, dan mengarahkannya pada kesempatan atau momentum yang mengoptimalkan keuntungan individual tersebut. Secara organisasional, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan sumber daya kelompok melalui kerja sama antar individu untuk mengoptimumkan keuntungan dari kepentingan kelompok. Sedangkan secara institusional, langkah-langkah ini digunakan untuk mengorganisasikan sumber daya masyarakat atau sekelompok masyarakat melalui aturan atau nilai-nilai yang terlembaga untuk menguntungkan kepentingan kolektif masyarakat.

Keberadaan dan Kecenderungan Naluriah

Dalam memperjuangkan keberadaannya untuk tetap 'ada', naluri manusia dengan sendirinya beroperasi dan memiliki kecenderungan untuk mencari langkah-langkah yang dianggap paling mampu memfasilitasi kepentingannya. Saat ini, di era modern yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses, agama sepertinya tidak lagi memiliki peranan yang sentral dalam memfasilitasi kepentingan aktual manusia. Sekularisasi yang sedang terjadi cukup membuktikan bahwa manusia tidak begitu puas dengan langkah-langkah yang difasilitasi oleh pemaknaan atau nilai-nilai agama. *Secara pribadi penulis kecewa dengan ketidakpuasan manusia ini.

Saat tulisan ini dibuat, klimaks dari pencarian langkah-langkah yang paling menguntungkan manusia adalah rasionalitas formal. Rasionalitas formal ini lah yang kemudian memproduksi & mereproduksi identitas-identitas rasional—yang pada gilirannya akan menyembunyikan orisinalitas keberadaan manusia dan menjadi tempat pelarian bagi manusia yang sedari awal tidak memiliki makna dan tujuan.

Keberadaan dan Arus Masyarakat

Keberadaan manusia sedari awal memang tidak memiliki makna dan tujuan. Oleh karena itu, manusia pasti akan mencarinya di luar sana. Namun, pencarian makna dan tujuan di era modernitas menjadi malapetaka yang berakhir pada hilangnya orisinalitas manusia. Manusia tidak lagi dikenali sebagai makhluk otentik yang khas dan unik. Melainkan, manusia hanyalah 'benda' yang diproduksi dan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan (institusi) di luar dirinya. Melalui institusi pendidikan, manusia terseragamkan ke dalam arus wacana ilmiah. Melalui institusi kekuasaan, manusia terdisiplinkan ke dalam arus normalitas kehidupan. Melalui rasionalitas formal, manusia terobjektivasi ke dalam arus algoritma produktivitas.

Manusia mulai kehilangan kekuatan untuk mengekspresikan keberadaannya secara bebas dan mandiri. Kekuatan individual manusia dilumpuhkan oleh kekuatan kolektif masyarakat. Saat ini, keberadaan manusia sedang bersembunyi di balik identitas-identitas rasional kolektif itu. Hanya karena mengadopsi identitas-identitas tersebut, manusia mengira dirinya 'ada'. Padahal yang 'ada' adalah masyarakat, bukan keberadaan diri nya itu sendiri. Dan pada gilirannya, pencarian makna dan tujuan manusia malah hanyut ke dalam arus identitas-identitas rasional yang diproduksi secara kolektif di masyarakat.

Keberadaan dan Akhir dari Keberadaan

Kenyataannya, keberadaan manusia saat ini hanyalah replika dari cetak biru masyarakat. Kita tidak lagi 'ada' sebagai ekspresi yang berdiri secara bebas dan mandiri. Kita hanya 'ada' sebagai ekspresi robot yang diprogram dengan algoritma produktivitas. Kita hanya dipandang eksis apabila algoritma produktivitas dapat difungsikan untuk menginstall identitas-identitas rasional kolektif masyarakat. Tanpa identitas-identitas itu, kita merasa kehilangan daya dan kekuatan sebagai manusia. Kita merasa kehilangan makna dan juga tujuan. Kita merasa tidak dihargai dan dilupakan. Ekspresi manusia—makna, tujuan, cita-cita, harapan, dan tindakan—tidak lagi bersumber dari kehendak individual manusia melainkan bersumber dari kehendak kolektif masyarakat.

Akhirnya, kita mengartikan manusia sebagai makhluk yang sama seperti 'benda'—yang diproduksi dan direproduksi di pabrik-pabrik sosial. Saat ini, kita tengah menyaksikan tragedinya, bahwa kematian banyak manusia hanyalah perhitungan statistik. Saat ini, kita tengah mengalaminya, kalau tanpa gelar pendidikan kita hanyalah sampah yang tidak bernilai. Saat ini, kita berada di tengah pusarannya, jika tidak mengadopsi identitas-identitas rasional kolektif itu, kita tidak dianggap 'ada' di masyarakat. Bahkan orangtuamu sendiri akan mengutuk dirimu apabila kamu gagal mengadopsi identitas-identitas tersebut, terutama identitas pendidikan dan pekerjaan.

Pendek kata, ini adalah gambaran dari akhir keberadaan manusia sebagai makhluk yang unik dan autentik. Akhir kata, selamat tinggal manusia yang autentik dan selamat datang manusia yang dipalsukan.