Kehidupan manusia telah mengalami perubahan yang begitu pesat dalam hampir semua sektor kehidupan. Pergeseran cara berfikir masyarakat dun...

Proyek 'Pencerahan' Modernitas

Kehidupan manusia telah mengalami perubahan yang begitu pesat dalam hampir semua sektor kehidupan. Pergeseran cara berfikir masyarakat dunia dapat diterjemahkan kedalam teori hukum tiga tahap masyarakat yang dicetuskan oleh Auguste Comte. 
Pencerahan Modernitas
Image by DarkWorkX from Pixabay 

Sejarah Penggunaan Akal Manusia

Buku panduan penggunaan akal versi 1(Teologis). Berabad-abad lamanya manusia hidup dalam kekangan tradisi, mitos, atau yang disebut juga fase teologis. Pada fase ini, kehidupan manusia te-determinasi secara tidak sengaja oleh kekuatan-kekuatan imajiner yang dikarang oleh manusia itu sendiri. Maksud dari imajiner ini, ialah kondisi di mana dalam suatu tradisi terdapat pengkukuhan terhadap sesuatu yang dianggap sakral.  Kekuatan imajiner itu menentukan bagaimana cara manusia menggunakan pikirannya, menjalankan aktivitas sosialnya (ekonomi, sosial, politik, budaya, kekuasaan, agama), dan menentukan juga batasan-batasan moral manusia itu sendiri. Salah satu kekuatan imajiner itu ialah sebuah keyakinan mendasar terhadap suatu mitologi.

Buku panduan penggunaan akal versi 2(Metafisik). Fase berikutnya adalah tahap metafisik. Manusia dalam kehidupannya telah memahami dunia subjek-objek antara manusia dengan alam. Manusai tidak lagi menyerahkan pikiran dan tindakannya pada suatu keyakinan mitologi, melainkan telah berfikir dan bertindak dengan keterbatasan usahanya memahami kehendak alam. Kendati demikian manusia pada saat ini belum menemukan metode yang akurat untuk menguji suatu kebenaran. Fase ini disebut juga sebagai fase transisi yang menguhubungkan manusia kepada fase berikutnya, yakni fase positivis. 

Buku panduan penggunaan akal versi 3(Positivis). Pada fase positivis, kehendak manusia dikendalikan oleh suatu keyakinan mendasar akan adanya sebuah kebenaran yang sifatnya universal. Cara manusia menggunakan pikirannya pun telah berubah, dari yang semula terikat dengan tradisi dan mitos hingga berubah menjadi suatu cara berfikir yang sistematis yang berlandaskan pengetahuan empiris. Manusia menjadikan metode ilmiah untuk menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menurut penulis pribadi, fase ini merupakan rahim yang kelak melahirkan moderenitas.

Seluk-beluk Modernitas

Kelahiran moderenitas ditandai dengan perubahan cara berfikir manusia menjadi positivis, lahirnya mesin-mesin dan teknologi yang tidak hanya sebagai teman baru bagi kehidupan manusia, melainkan juga sebagai penunjang kehidupan manusia, dan juga adanya keyakinan terhadap kebenaran yang sifatnya universal. Penulis sendiri meng-analogikan modernitas sebagai sebuah kapal yang mesinnya dijalankan oleh metode ilmiah, nahkodanya adalah orang-orang ahli dari pelbagai macam disiplin ilmu, dan tujuan pelayarannya ialah menemukan kebenaran universal. 

Walau terlihat sebagai proyek yang sangat canggih bagi kehidupan umat manusia, tetapi kenyataannya nahkoda kapal modernitas tidak kunjung mampu mensejahterakan para penumpang (masyarakat) didalamnya. Kenyataan yang lebih pahitnya, modernitas justru menghasilkan teknologi persenjataan nuklir, memperlakukan manusia sebagia objek modernitas, dan mempersempit kesempatan kerja  manusia dengan maraknya penggunaan mesin, teknologi, hingga yang terbaru AI (artificial intelligence)  hampir dalam setiap sektor kehidupan. Walaupun kenyataannya demikian, masih banyak manfaat dari modernitas yang sedang kita nikmati saat ini, misalnya laptop yang sedang digunakan oleh penulis untuk menulis artikel ini. 

Modernitas tidak hanya menghasilkan teknologi-teknologi muktahir, tetapi lebih dari apa yang mungkin bisa kita bayangkan. Modernitas dalam konteks sosial telah menciptakan segregasi perilaku masyarakat modern & tradisional. Hadirnya segregasi ini menimbulkan konsekuensi adanya definisi operasional yang baku(cek kbbi) atas kata "modern" dan "tradisional. Hasilnya adalah, masyarakat yang tidak mengikuti pola perilaku yang dikatakan sebagai "modern" akan dilabelkan sebagai masyarakat primitif yang kolot (ketinggalan zaman) atau tradisional. Seperti apa yang telah terjadi pada abad 21, modernitas mulai berhasil menciptakan homogenitas pola perilaku masyarakat. Modernitas yang terjadi saat ini telah mendeterminasi pola perilaku masyarakat. Seolah-olah apa yang menjadi keinginan modernitas ialah apa yang seharusnya masyarakat kerjakan. 

Modernitas melalui sistem perekonomian(pasar) menciptakan kebutuhan palsu melalui narasi pasar yang mencitrakan suatu produk seolah-olah sebagai bagian penting dari kehidupan manusia. Misalnya, banyaknya produk kecantikan, perawatan tubuh, peninggi badan, penambah berat badan, dsb yang mana sebagian besar mereka menjual narasi 'ilmiah' untuk mengelabuhi masyarakat yang menjadi objek pemasaran. Masyarakat dapat dengan mudah terpengaruh apabila narasi suatu produk selaras dengan perkembangan zaman yang  'modern', karena kemunculan 'kebutuhan' tersebut manusia modern menjadi cenderung konsumtif. 

Sebagaimana sistem-sistem lainnya dalam sejarah kehidupan manusia, system modernitas juga mampu merawat dan melestarikan status-quo pada dirinya sendiri. Modernitas pada saat ini dapat dikatakan sebagai kontributor terbesar dalam membentuk dunia intersubyektif manusia. Rasa keingintahuan, cita-cita, tujuan hidup, iman, cinta, dan harapan manusia dibentuk oleh determinasi modernitas yang merambak kesegala aspek kehidupan. Tak khayal, kalau kesadaran kitapun sebagai manusia juga turut dibentuk oleh kekuasaan modernitas. Tentu saya ataupun anda tidak bisa menyadarinya, karena kekuasan tersebut bersembunyi dibalik kesadaran. Apa yang mendorong manusia untuk berpikir maupun bertindak adalah kekuasan dibalik kesadaran tersebut. Kita tidak mungkin bisa mendeteksinya, karena kesadaran dan pikiran kita tumbuh bersamaan dalam tradisi modernitas. Sehingga sangat sulit untuk memisahkan kekuasaan modernitas yang selama ini telah bersemayam dibalik kesadaran manusia. 

Modernitas dan Kesadaran Homogen

Menjadi suatu hal yang mengerikan, apabila sejauh apapun kita berpikir, sejauh apapun kita berimajinasi, sejauh apapun kita dapat merasa itu semua ternyata tumbuh atau berkembang dari akar pohon yang sama, yakni modernitas. Yang lebih menyedihkan lagi kita tidak menyadarinya. Kita terisolasi dalam sebuah ruangan beragam identitas tapi tumbuh dari satu kesadaran, yakni kesadaran yang menjurus terhadap pengsakralan yang tidak disadari. Kesadaran tersebut mendorong perilaku dan cara berpikir kita untuk patuh terhadap norma-norma modernitas. Lunturnya sikap kritis manusia terhadap system modernitas merupkan petanda dimulainya sifat penghambaan terhadap suatu system. System tidak lagi dipertanyakan kebenarannya dan seolah tidak terdapat celah untuk disalahkan.

Pertanyaan besarnya adalah "Apa yang menjadi permasalah utama dari kesadaran homogen tersebut???". Permasalahan utama dari kesadaran homogen ialah ketiadaan ide-ide alternatif yang menempatkan diri sebagai opsisi suatu system. Setiap ide atau gagasan baru yang muncul pada kenyataannya hanya melestarikan status-quo. Pernahkan anda mendengar ide-ide gila yang menentang modernitas? mungkin hanya sedikit, itupun langsung disantap oleh ganasnya modernitas.

Dahulu buku panduan kehidupan yang digunakan manusia adalah ayat-ayat suci. Kinipun keadaan masih serupa, hanya saja ayat-ayat 'suci' itu saat ini adalah produk modernitas. Tuhan dalam pikiran masyarakat fase tradisional dan metafisik adalah tuhan yang berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran masyarakat positivis. Manusia positivistik telah menemukan 'tuhan' barunya yang sangat mereka patuhi hukum-hukumnya, nilai dan normanya. Ayat-ayat ilmiah kini merupakan rujukan utama umat manunsia. Masyarakat positivis meletakan kekuasaan tuhan pada kehendak rakyat. Apa yang menjadi kehendak rakyat itulah yang diridhoi oleh tuhan. Perubahan pemaknaan konseptual mengenai tuhan seolah-olah tidak menjadi permasalahan serius bagi masyarakat positivis. Bukan karena mereka tidak butuh tuhan, melainkan karena kesadaran mereka mengenai tuhan yang tumbuh diatas kesadaran yang dibentuk oleh modernitas. Kesadaran mengenai tuhan oleh masyarakat positivis adalah kesadaran palsu yang tumbuh diatas kesadaran yang telah dipengaruhi oleh modernitas.

Penutup

Penulis tentu memahami bahwa masih banyak variabel-variabel lain selain modernitas yang bersembunyi dan mungkin lebih bertanggungjawab atas terbentuknya kesadaran homogen. Sikap manusia terhadap modernitas merupakan subjek utama yang bertangung jawab selain dari pada modernitas itu sendiri. Modernitas adalah fase yang tidak bisa dipungkiri dan harus dilalui!. Tantangannya adalah bagaimana manusia menempatkan modernitas sewajarnya sebagai alat yang dikendalikan oleh kesadaran manusia, bukan sebaliknya, sebagai subyek yang menempatkan manusia sebagai obyek.

Daftar pustaka

1. https://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte
2. Sontani, T. (2018, June 20). Hukum Tiga Tahapan Sosiologi Positifisme Auguste Comte. Retrieved December 15, 2018, from Sridianti.Com: https://www.sridianti.com/hukum-tiga-tahapan-sosiologi-positifisme-auguste-comte.html

0 komentar: