Cara manusia berpikir, merasa, dan bertindak tidak bisa dipisahkan dari kekuatan-kekuatan yang mendorong serta memaksa manusia dari 'l...

Durkheim dan Fakta Sosial

Cara manusia berpikir, merasa, dan bertindak tidak bisa dipisahkan dari kekuatan-kekuatan yang mendorong serta memaksa manusia dari 'luar'. Baik sadar ataupun tidak, perilaku manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan tersebut. Pernahkah anda berpikir, mengapa kita berpakaian? mengapa kita mengartikan hewan-hewan tertentu sebagai makanan dan hewan tertentu lainnya sebagai 'teman'? mengapa kita bermasyarakat?. Persoalan tersebut tidak hadir begitu saja di kehidupan manusia. Terdapat berbagai macam kekuatan yang ikut menentukan proses pendefinisian perilaku (cara berpikir, merasa, bertindak) manusia serta pendefinisian kehidupan manusia itu sendiri. Pada postingan ini, kekuatan-kekuatan yang dimaksudkan tersebut ialah kekuatan sosial, seperti apa sifat dan bentuk kekuatan tersebut? mari simak pembahasan berikut ini.
Fakta Sosial Durkheim

Image by Mimzy from Pixabay 

Fakta Sosial

Durkheim berpandangan bahwa perilaku manusia dibentuk oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang memaksa individu agar berperilaku dengan cara-cara tertentu. Dukheim mendefinisikan situasi tersebut sebagia fakta sosial. Untuk membedakan sosiologi dengan disiplin ilmu psikologi, Durkheim menegaskan dua hal mengenai fakta sosial. Pertama, fakta sosial dapat diartikan sebagai pengalaman individu yang terdefinisikan oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang memaksa, bukannya dorongan internal. Kedua, fakta sosial meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada kekuatan individu apa pun. 

Durkheim memberikan beberapa contoh mengenai fakta sosial, termasuk aturan, moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukan bahasa sebagai fakta sosial yang paling mudah dipahami. Alasannya yang pertama, bahasa adalah sesuatu yang harus dipelajari secara empiris. Kita tidak bisa memikirkan aturan bahasa secara filosofis. Tepatnya, semua bahasa memiliki aturan logis berdasarkan tata bahasa, pengucapan, pelafalan, dan lainnya; akan tetapi semua bahasa juga memiliki pengecualian yang penting terhadap aturan logis (Quine, 1972). 

Kedua, bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu. Meskipun individu menggunakan dan menguasai bahasa, bukan berarti individulah yang mendefinisikan bahasa. Fungsi dasar bahasa adalah komunikasi dan makna bahasa bersifat sosial, karena itu bahasa diluar kontrol individu. Individu tidak dapat memberikan makna secara personal terhadap suatu bahasa, karena bahasa akan kehilangan fungsi dasarnya, yakni komunikasi. 

Ketiga, bahasa memaksa individu. Individu-individu dalam kelompok tertentu menggunakan jargon-jargon tertentu yang mereka pahami bersama dengan maksud mempermudahkan mereka untuk berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh, komunitas programer akan berkomunikasi menggunakan jargon-jargon khusus yang memberikan penjelasan secara spesifik mengenai persoalan bahasa pemrograman, algoritma, dsb. Dalam hal ini bahasa sebagai jargon yang mengikat komunikasi sesama individu dalam suatu kelompok dan berfungsi memberi kemudahan dalam memahami persoalan-persoalan yang spesifik. 

Terakhir, perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui fakta sosial lain dan tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja. 

Fakta Sosial Material dan Non-material

Fakta sosial material dapat berupa gaya arsitetur, teknologi, gaya berpakaian, dsb. Fakta sosial ini relatif mudah dipahami karena jelas dan teramati. Fakta sosial material mencerminkan adanya kekuatan moral yang besar dan kuat yang berada di luar individu akan tetapi memaksa individu. Misalnya, gaya berpakaian yang menggunakan hijab, 'hijab' merupakan cerminan adanya kekuatan moral agama Islam. Kekuatan moral inilah yang disebut sebagai fakta sosial non-material. Studi Durkheim yang paling penting, dan inti dari sosiologinya, terletak pada studi faktra sosial non-material.

Durkheim mengatakan "Tidak semua kesadaran sosial mencapai…. eksternalisasi dan materialisasi"(1897/1951: 315). Artinya, terdapat kekuatan-kekuatan eksternal yang sifatnya memaksa namun tidak terealisasikan ke dalam wujud materil. Apa yang disebut norma, nilai, atau budaya yang disebut sosiolog secara umum (Alexander, 1988c) adalah contoh yang tepat untuk apa yang disebut Durkheim dengan fakta sosial nonmaterial.
“Lalu, di manakah norma dan nilai itu berada?, Bukankah norma dan nilai hanya dapat ditemukan di dalam pikiran aktor?, Jika semua berada di dalam pikiran aktor, bukankah itu berarti lebih bersifat internal ketimbang eksternal?”
Durkheim mengakui bahwa fakta sosial non-material memiliki batasan tertentu, ia ada di dalam pikiran Individu. Akan tetapi, ketika seseorang mulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan "mematuhi hukumnya sendiri" (Durkheim, [1912] 1965: 471). Artinya, individu diperlukan sebagai medium yang merealisasi kehadiran fakta sosial non-material. Akan tetapi, bentuk dan sifat dari fakta sosial terdefinisikan melalui interaksi yang terjalin di antara individu-individu tersebut, bukannya dorongan internal dari masing-masing individu.
"Hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia" (1895/ 1982: 17) dan kedua, "Masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan sejumlah individu"(1895/1982: 103). 
Walaupun faktanya masyarakat memang terdiri dari orang-orang dan tidak mengandung substansi "spiritual" nonmaterial, namun dia bisa dipahami dengan mempelajari interaksi dan bukannya dengan mempelajari individu.

Daftar pustaka

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2009). Teori Sosiologi (Dari teori sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial postmodern) (3rd ed.). Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.


0 komentar: