Seseorang itu, kalau sudah merasa nyaman dengan pekerjaannya, lingkungannya, dan  rutinitasnya  — lama kelamaan akan terjebak dalam kehidu...

Perangkap Takdir Manusia

Seseorang itu, kalau sudah merasa nyaman dengan pekerjaannya, lingkungannya, dan rutinitasnya — lama kelamaan akan terjebak dalam kehidupan sosial yang itu-itu aja. Jika ia pindah, maka perpindahannya tetap membawa latar masa lalunya — alias tidak signifikan. Rutinitas seseorang merepresentasikan pengalaman masa lalunya dan lingkungan di mana ia lahir dan dibesarkan hingga saat ini. Tulisan ini membahas bagaimana rutinitas itu justru memiliki andil dalam membatasi takdir manusia.
Takdir Habitus
Image by enriquelopezgarre from Pixabay 

Manusia membutuhkan bekal, bukan sekedar untuk mengisi perut saat lapar  tapi juga untuk mengarungi kehidupannya hingga usai. Bekal yang dibawa manusia memiliki peranan yang penting dalam melukiskan takdir manusia tersebut. Kalau bekal itu penting, maka bekal seperti apa yang kita butuhkan? Dan dari mana kita memperoleh bekal itu? Tentunya, bekal itu bukanlah makanan untuk mengeyangkan isi perut, melainkan bekal sosial  yang kita peroleh dan digunakan pada arena sosial  yang pada gilirannya membentuk habitus atau struktur mental dan kognitif pada diri kita.

Rumit? Tentu saja. Mari uraikan secara sederhana dengan pengandaian situasi. Pertama-tama, kita harus membayangkan diri kita sejak lahir hidup di tengah-tengah hutan  sudah? Selanjutnya, bayangkan apa saja yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di tengah hutan tersebut  Jika sudah, bayangkan kita telah hidup selama 20 tahun di tengah hutan tersebut  apabila sudah, jawablah sendiri pertanyaan berikut, bekal apa saja yang telah kita peroleh selama 20 tahun tersebut? 

Pertanyaan selanjutnya, apakah bekal yang telah kita peroleh selama 20 tahun itu dapat kita gunakan untuk mengarungi lautan?  Bahkan, kita tidak pernah mengetahui apa itu lautan. Lautan adalah arena yang asing bagi kita, dan hutan adalah arena yang kita kuasai dengan modal yang telah kita miliki. Kita tidak memiliki bekal apa pun yang bisa di bawa untuk melaut, tapi soal hutan, kita ahlinya. Sebagaimana arena-arena sosial lainnya  masing-masing arena memiliki kualifikasi modal yang berbeda  sesuai dengan kebutuhan masing-masing arena tersebut. 

Kualifikasi modal itulah yang membatasi manusia dalam melukiskan takdirnya  membuat manusia terperangkap dalam arena sosial tertentu  berdasarkan tingkatan modal yang di milikinya. Jika seseorang itu terlahir miskin, maka bekal yang ia peroleh adalah cara hidup orang miskin  yang dibentuk oleh keterbatasan modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosialnya. 

Keterbatasan modal orang itu mempengaruhi bagaimana struktur kognitif dan mentalnya terbentuk. Bagaimana orang itu berpikir dan merasa tentang dunia, berakar langsung dari kenyataan  bahwa ia harus mampu membiasakan diri untuk bertahan dan melanjutkan hidup dengan modal dan situasi yang sulit.

Pada akhirnya, orang tersebut menjadi terbiasa, membuatnya menjadi peka dan sangat pandai dalam menaklukan arena sosialnya  menciptakan kesan sebagai yang 'ahli' dalam arena sosialnya. Alih-alih ia memilih untuk melanjutkan pertarungan pada arena sosial yang lebih tinggi, orang tersebut justru terpenjara dengan rutinitasnya pada arena sosial yang telah nyaman ia takluki.

0 komentar: