"Apakah kita benar-benar bebas??? "
Kebebasan merupakan satu dari sekian konsep yang menenangkan kesadaran manusia. Sebagai penenang—konsep ini memberikan gairah jika didengungkan di telinga kita. Suara bel pulang sekolah pun berbunyi—menandakan hilangnya kekuatan-kekuatan yang membatasi perilaku kita. Walau tinggal kenangan, penulis masih dapat membayangkan betapa menggairahkannya bunyi kebebasan tersebut.
Image by Free-Photos from Pixabay |
Determinasi Biologis
Bagaimana kita hidup, berperilaku, dan berbudaya, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh struktur biologis itu sendiri. Sebagai organisme, manusia, sepanjang hidupnya selalu dibayang-bayangi oleh kehendak biologis—tuntutan kebutuhan akan eksistensi makhluk hidup. Misalnya, manusia harus memberikan reaksi yang tepat atas rasa lapar, kantuk, dingin, dan sebagainya yang dialami tubuh. Dialog antara tubuh dan kecerdasan manusia senantiasa berlangsung hingga membentuk kesadaran sederhana yang terus berkembang hingga kompleks seperti sekarang ini.
Kompleksitas kebutuhan biologis manusia selalu diterjemahkan dengan reaksi yang beraneka ragam— semata-mata untuk menemukan reaksi yang paling efektif dalam memadamkan atau memenuhi sinyal biologis tersebut. Dari keadaan seperti itu, berkembanglah berbagai macam cara yang kemudian kita menyebutnya dengan istilah budaya. Jika kita tidak memiliki kebutuhan biologis berupa tidur, mungkin kita tidak akan pernah mengenal yang namanya kasur—dan banyak faktor biologis lainnya yang juga mendeterminasi terbentukya kehidupan sosial.
Struktur biologis senantiasa membayang-bayangi kesadaran kita sebagai pengemudi organisme manusia. Tujuannya mulia, agar kita selamat dalam mengemudikan tubuh kita. Terpenjaranya kesadaran kita dalam bayang-bayang struktur biologis mengartikan tidak adanya kebebasan yang benar-benar bebas—paling tidak kebebasan itu selalu terikat oleh struktur biologis.
Determinasi Sosial
Struktur biologis adalah hal yang konkrit, sangatlah wajar jika keberadaannya memiliki kekuatan represif terhadap kesadaran manunsia. Namun, bagaimana, bila ternyata masih terdapat kekuatan lain yang juga turut memenjarakan kebebasan manusia? Kenyataanya hal itu ada—sangat disayangkan memang. Apabila struktur biologis memenjarakan kita dari dalam—inheren dengan kesadaran kita, maka struktur sosial memenjarakan kita dari luar, yaitu masyarakat.
Masyarakat dapat dianalogikan selayaknya organisme—memiliki organ/ institusi yang saling terkoneksi antara satu dengan lainnya. Sebagaimana dengan organisme, masing-masing organ tersebut memilik fungsi yang berbeda—bertujuan untuk menopang kehidupan organismenya (masyarakat). Selayaknya organisme yang memiliki sel, masyarakat juga memiliki individu (manusia) yang mengalami regenerasi kehidupan—serupa dengan sel, individu itu juga berfungsi untuk melestarikan organismenya (masyarakat). Kembali ke persoalan utama, bagaimana masyarakat memenjarakan kebebasan kita?
Sejak kita lahir, kita telah diselimuti dengan berbagai macam atribut sosial. Atribut sosial pertama yang disematkan pada kita adalah nama—proses pemberian atribut terus berlangsung hingga kita memiliki kesadaran yang cukup untuk menyanggah. Namun, sebelum sempat untuk menyanggah—kesadaran individu tersebut sudah menjadi bagian dari kesadaran masyarakat—Loh kok bisa? Kenyataannya memang seperti itu—kesadaran manusia tidak tumbuh secara mandiri atas kehendaknya, melainkan ditumbuhkan oleh proses sosialisasi yang bahkan sudah dimulai sejak kita lahir.
Menepinya Kebebasan Subjektif
Nama penulis adalah Agung, loh kenapa Agung, kenapa bukan Anto? Bahkan subjektivitas penulis tidak dapat dengan bebas mengubah nama penulis sendiri—padahal kita sendiri pemilik nama tersebut. Faktanya, subjektivitas kita sebagai individu dibatasi oleh objektivitas masyarakat—yang terdiri dari set nilai, norma, dan aturan—yang membentuk cara individu merasa, berpikir, dan bertindak.
Kenapa kita berpakaian? Jawaban yang sederhana adalah karena kita akan malu jika tidak berpakaian. Jawaban tersebut tidak sepenuhnya salah dan benar. Berpakaian adalah bagian dari set norma & aturan yang mengontrol perilaku kita, dan rasa malu adalah bagian dari set nilai yang telah tertanam—menjadi bagian dari kesadaran kita. Jadi, saat ini, kita sebagai individu sebenarnya telah memiliki kesadaran sebagai makhluk sosial — baik kesadaran itu kita internalisasi secara sadar atau terinternalisasi secara tidak sadar.
Kenyataannya, masyarakat sedikit-banyak telah memenjarakan subjektivitas kita—yang merupakan ekspresi bebas dari kesadaran kita. Kebebasan subjektif kita hanya dapat bergerak dalam celah sempit di masyarakat. Dengan begitu, kesadaran kita selalu hidup dalam bayang-bayang struktur sosial yang senantiasa mengintai kita di masyarakat—mengenai apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya kita perbuat—mengenai yang benar dan yang salah—atau yang baik dan yang buruk.
Terpenjaranya Kebebasan dalam Identitas Sosial
Sosialisasi memainkan peran sentral dalam memenjarakan kebebasan subjektif kita. Saat kita dilahirkan, keluarga—bagian terkecil dari institusi masyarakat, telah menjembatani dan memperkenalkan kita pertama kali tentang masyarakat—dan yang terpenting, bagaimana masyarakat itu memaknai dunia dan memaknai diri kita. Masyarakat mentransmisikan pemahamannya tentang dunia kepada kita—baik melalui orangtua, guru, media massa, dan sebagainya—mereka inilah yang disebut dengan agen sosial.Agen sosial berfungsi menjembatani kesadaran individu dengan kesadaran sosial (masyarakat)—juga berperan dalam menyematkan berbagai macam identitas sosial pada diri kita. Penyematan identitas sosial adalah buah dari kesadaran kita yang dianggap telah berhasil dalam menjalankan peran dan tanggungjawab tertentu—yang sesuai dengan harapan masyarakat terhadap identitas sosial tersebut.
Identitas sosial itu sendiri telah membatasi kesadaran kita dalam berkehendak—secara bersamaan juga memberikan kebebasan tertentu dalam berkehendak. Misalnya, manusia berusia 7 tahun memperoleh identitas sosial sebagai kanak-kanak—kesadarannya dalam berkehendak dibatasi oleh pengawasan orangtuanya, juga lingkungannya—tidak boleh berpergian jauh, pulang malam, dan berinteraksi dengan orang asing. Ketika manusia itu sudah berusia 20 tahun, maka ia memperoleh identitas sosial sebagai orang dewasa —kesadarannya dalam berkehendak relatif jauh lebih bebas ketimbang saat ia masih kanak-kanak.
Agen Pengintai Kebebasan Subjektif Individu
Gerak-gerik kita di masyarakat hampir selalu dalam pengawasan orang lain. Keberadaan orang lain berperan sebagai representasi kehadiran masyarakat, baik orang lain itu sadar atau tidak—mereka-mereka ini telah bertindak sebagai agen yang mengintai kebebasan subjektif individu. Agen pengintai tidak sama dengan polisi atau intel yang mengawasi manusia untuk keperluan rasa aman masyarakat. Agen pengintai adalah siapa saja yang kehadirannya—baik secara langsung atau tidak langsung membatasi subjektivitas individu.Misalnya, apabila kita sedang berada di lift—kebetulan hanya ada diri kita di dalam lift tersebut, maka, kita dapat dengan bebas kentut, salto, atau mengekspresikan secara bebas subjektivitas tindakan lainnya. Akan tetapi, jika ada satu orang saja yang masuk di lift itu bersama diri kita, maka, semua kebebasan subjektif kita dalam bertindak hilang begitu saja. Anda tentu masih bisa kentut di dalam lift tersebut, tetapi, apakah anda memiliki keberanian yang cukup untuk mencobanya?
Keberadaan agen pengintai merupakan keniscayaan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan yang kita puja, kini harus berakhir tragis di hadapan agen pengintai. Kita tidak benar-benar bebas, karena kebebasan sejatinya tidak pernah koheren dalam diri manusia. Kebebasan yang selama ini kita alami adalah kebebasan dalam keterbatasan—yang mengartikan tidak adanya kebebasan yang benar-benar bebas secara mandiri tanpa intervensi apa pun.
Walaupun kita dapat bersembunyi dari agen pengintai dengan mengisolasikan diri dari orang lain—itupun tetap tidak membuat kita bebas seutuhnya. Kesadaran kita sebagai manusia telah ter-asosiasikan dengan kesadaran masyarakat. Kesadaran kita dalam merasa, berpikir, dan bertindak adalah bagian dari kesadaran yang dibagikan masyarakat kepada kita—melalui agen-agen sosial yang bertindak mewakili masyarakat.
0 komentar: