Kenapa manusia berbuat tidak jujur? Dan kenapa manusia berbuat tidak patuh? Apa yang mendasari ketidakjujuran dan ketidakpatuhan tersebut?
Gambar oleh congerdesign dari Pixabay |
Batasan Pengganjal Kebebasan Individu
Fungsi dan makna kejujuran mencuat kepermukaan setelah manusia menyadari bahwa kebohongan sangatlah berbahaya dan bersifat destruktif bagi suatu hubungan kemasyarakatan. Melalui pendekatan absolutis, kebohongan dapat diartikan sebagai penyimpangan yang bersifat intrinsik, artinya terlepas dari konteks sosial apapun, manusia (dari dalam dirinya sendiri) tidak akan rela untuk diperdaya oleh kebohongan. Manusia secara intrinsik memiliki kesadaran untuk mengenali adanya perbuatan-perbuatan yang bernilai mutlak salah dan benar, dan kebohongan adalah salah satunya.
Melalui pendekatan normatif, kebohongan dapat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Di Indonesia yang dominan dengan nilai-nilai religiusitas, kebohongan tidak hanya perbuatan salah, melainkan juga perbuatan dosa. Dengan begitu, kebohongan merupakan bentuk penyimpangan terhadap keberadaan nilai-nilai dan norma yang dominan tersebut.
Lain halnya dengan kebohongan, ketidakpatuhan merupakan bentuk penyimpangan yang hanya dapat dikategorikan secara normatif. Ketidakpatuhan mengacu pada pelanggaran terhadap batasan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Pada kasus Covid-19 di Indonesia, masyarakat masih banyak yang tidak patuh terhadap aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah.
Batasan-batasan tersebut, yaitu keharusan untuk jujur dan keharusan untuk patuh, selain berfungsi untuk memfasilitasi dan mengamankan hubungan kemasyarakatan, namun di sisi lain juga menuntut biaya dari individu. Biaya yang harus dikorbankan dari individu adalah kebebasan subjektifnya dalam bertindak. Porsi tawar-menawar individu untuk biaya tersebut terkadang menjadi signifikan di masyarakat, terutama di era Covid-19. Bagi individu itu sendiri, biaya kejujuran dan kepatuhan menjadi sangat tinggi di era Covid-19. Hal ini disebabkan biaya kejujuran dan kepatuhan tersebut memiliki dampak negatif terhadap situasi kelas individu.
Negosiasi Kepentingan (Individu VS Masyarakat)
Apa yang mendasari lahirnya perbuatan ketidakjujuran dan ketidakpatuhan ini? Pada kasus ketidakjujuran dan ketidakpatuhan di era Covid-19, teori konflik merupakan teori yang relevan dalam menjelaskan permasalahan ini. Teori konflik menjelaskan bahwa lahirnya penyimpangan didasari oleh adanya perbedaan akses terhadap sumber daya (Suyato, 2005). Saat pandemi Covid-19, masyarakat dibatasi aktivitasnya dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Biaya dari pembatasan tersebut adalah dibatasinya kepentingan-kepentingan individu terhadap beberapa akses sumber daya.
Biaya PSBB ini menjadi sangat signifikan bagi individu yang akses sumber daya ekonominya berpotensi terputus. Bagi individu yang hidup-matinya bergantung dengan akses-akses tersebut, maka biaya kepatuhan terhadap PSBB menjadi tidak masuk akal. PSBB itu sendiri memang memberikan pelayanan yang sangat bermanfaat bagi individu, terutama untuk mencegah terjadinya penularan wabah Covid-19. Namun, bagaimanapun juga individu tidak serta-merta patuh terhadap PSBB itu sendiri, melainkan terdapat proses negosiasi yang alot, khususnya terjadi pada mereka-mereka yang hidupnya sangat berdampak dari PSBB ini.
Selain pembatasan akses, terdapat pembedaan akses yang cukup terjal dirasakan oleh pasien Covid-19, tidak terkecuali yang OPD dan PDP. Sesuai prosedur, mereka harus menaati aturan isolasi, baik dilakukan secara mandiri atau di rumah sakit. Ditemukannya beberapa kasus ketidakjujuran dan ketidakpatuhan pasien Covid-19 ini juga didasari oleh kepentingan-kepentingan mereka terhadap akses sumber daya, terutama ekonomi. Pembatasan dan pembedaan akses sumber daya saat era pandemi Covid-19 inilah yang mendorong lahirnya tindakan-tindakan yang melawan aturan, khususnya terhadap PSBB dan isolasi mandiri pasien Covid-19.
Rasionalisasi Ketidakjujuran dan Ketidakpatuhan Era Covid-19
Kenyataannya, ketidakjujuran dan ketidakpatuhan seseorang bukanlah tindakan yang semata-mata lahir secara subjektif dari ruang hampa. Terdapat nilai atau sistem norma yang kemudian memengaruhi preferensi tindakan individu. Stigma masyarakat terhadap pasien Covid-19 dan minimnya pengetahuan yang sampai di masyarakat terkait wabah Covid-19 juga berkontribusi terhadap bagaimana seseorang itu merumuskan tindakannya.
Khusus pada pasien Covid-19, stigma masyarakat merupakan pengganjal besar yang menghalangi pasien Covid-19 untuk mewujudkan kepentingan subjektifnya melalui suatu tindakan. Stigma memproduksi perlakuan diskriminatif yang berpotensi memutus akses sarana-sarana yang menjembatani kepentingan pasien Covid-19. Pada aspek ekonomi, sarana-sarana seperti pekerjaan akan terputus aksesnya dari masyarakat. Pada aspek ruang, masyarakat bahkan takut untuk berhubungan dengan lokasi-lokasi yang pernah disinggahi pasien Covid-19.
Pada bagan tersebut, untuk memenuhi kebutuhannya akan sumber daya, aktor terlebih dahulu menerjemahkan nilai/sistem norma yang ada di masyarakat dan kemudian dipadukan dengan preferensi aktor tersebut hingga menghasilkan suatu tindakan. Preferensi aktor terkait dengan modal (sumber daya) yang telah dimiliki aktor tersebut, baik itu pengalaman, keahlian, uang, dan sebagainya. Namun, pada kasus pasien Covid-19 mereka akan mengalami hal sebagai berikut:
Apabila pasien Covid-19 jujur dan mematuhi isolasi, maka mereka harus siap menerima pemutusan akses masyarakat terhadap sarana-sarana yang menjembatani kepentingan mereka dalam memperoleh sumber daya, terutama terhadap askes sumber daya ekonomi. Dengan begitu, ketidakjujuran dan ketidakpatuhan merupakan sarana rasional yang signifikan di era Covid-19, terutama untuk mewujudkan kepentingan aktor terhadap akses sumber daya ekonomi.
Kesimpulan
Pelajaran dari kasus ketidakjujuran dan ketidakpatuhan di atas adalah individu bagaimanapun juga memiliki kebebasan untuk memaknai secara subjektif tindakannya. Individu tidak serta-merta tunduk terhadap kekuatan eksternal, yaitu aturan pemerintah untuk patuh dan juga nilai-nilai masyarakat untuk jujur. Dalam keadaan terdesak, aktor rasional dapat memperjuangkan secara paksa kepentingannya, walaupun harus dengan melanggar nilai, norma dan aturan yang ada.
Untuk mengatasi ketidakjujuran dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap PSBB dan pasien Covid-19 terhadap isolasi mandiri, selain dengan aturan, pemerintah juga harus memberikan solusi untuk mengamankan kepentingan-kepentingan mereka. Aturan yang dibuat pemerintah juga harus dibarengi dengan pemberian sanksi yang tegas. Hal ini bertujuan agar individu lebih banyak mempertimbangkan ganjaran-ganjaran negatif ketimbang ganjaran positif dari perbuatan ketidakjujuran dan ketidakpatuhan tersebut.
Daftar Pustaka
Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2009). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Ketiga). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Suyato. (2005). PERILAKU MENYIMPANG DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS. Civic, 2(2), 1–7. Retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/civics/article/view/4378/3807
Makhfiyana, I., & Mudzakkir, M. (2013). RASIONALITAS PLAGIARISME DI KALANGAN MAHASISWA. Paradigma., 1(3), 1–8. Retrieved from
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/3998/6521
0 komentar: