Manusia mana yang tidak ingin diperhatikan keberadaannya? Pada dasarnya kita semua ingin diperhatikan, bukan karena kita suka cari perhati...

Antagonisme dan Eksploitasi Sosial

Manusia mana yang tidak ingin diperhatikan keberadaannya? Pada dasarnya kita semua ingin diperhatikan, bukan karena kita suka cari perhatian, melainkan, karena kita membutuhkan keterhubungan antara diri kita dengan orang lain. Keterhubungan itu menjembatani diri kita dengan dunia luar. Sederhananya, keterhubungan adalah modal utama dan pertama yang harus dimiliki manusia untuk dapat menyampaikan dan menegosiasikan kepentingannya dengan orang lain (dunia luar).

Antagonisme dan Eksploitasi
Image by Vojtěch Kučera from Pixabay

Egosentrisme

Pada umumnya, manusia memperlakukan keterhubungannya dengan orang lain sebagai sarana untuk melakukan pertukaran kepentingan, baik kepentingan material maupun non-material. Namun, bagi sebagian orang, keterhubungan adalah sarana untuk mengimplementasikan ego kepentingan diri/kelompoknya dengan memanfaatkan setiap hubungan-hubungan yang ia miliki. Keberadaan fenomena tersebut penulis identifikasikan dengan istilah egosentrisme.

Egosentrisme tidak selalu buruk, terutama, jika egosentrisme itu berlandaskan idealisme yang dianut orang-orang pada umumnya. Tetapi, apabila egosentrisme itu berlandaskan pragmatisme, maka sangat mungkin kondisi tersebut menciptakan tokoh-tokoh antagonis dalam kehidupan sosial kita. Ciri-ciri yang paling menonjol dari tokoh antagonis ialah ketidakpedulian dirinya dengan kepentingan-kepentingan di luar dirinya. Ciri lain yang tidak kalah penting adalah keahliannya dalam memanipulasi setiap nilai & norma masyarakat agar dapat memfasilitasi setiap kepentingannya.

Antagonisme Sosial

Individu antagonis ini tidak dapat dicirikan sebagai individu yang patuh, melainkan lebih tercirikan sebagai individu yang bebas. Baginya, kepatuhan semata-mata hanyalah alat untuk menyiasati masyarakat. Jika kepatuhan itu menjembatani kepentingannya maka ia akan patuh, jika tidak, ia mencampakkannya tanpa adanya rasa kepedulian ataupun kekhawatiran sedikitpun.

Eksploitasi jaringan sosial merupakan keahlian utama tokoh antagonis. Baginya, keterhubungan/ jaringan sosial adalah alat yang dapat digunakan semaksimum mungkin untuk menjembatani kepentingannya. Dalam jaringan pertemanan, misalnya, tidak jarang kita menemui teman yang memanfaatkan sesuatu dari diri kita, namun, teman itu seringkali hanya membalas dengan ucapan moral "terima kasih" dan seringnya tidak memiliki tujuan untuk membayar pelayanan yang dimanfaatkannya tersebut.

Sebagian orang mungkin akan bahagia dan merasa dirinya berharga apabila mampu memberikan pelayanan kepada jaringan sosialnya. Akan tetapi, jika pelayanan itu tidak dibarengi dengan tujuan mendapatkan pelayanan balasan di masa mendatang, maka eksploitasi jaringan sosial tengah dilangsungkan dalam hubungan tersebut. Kasus tersebut hanyalah pemodelan sederhana yang penulis harapkan dapat mempermudah dalam memahami eksploitasi sosial.

Eksploitasi Jaringan Sosial melalui Struktur Sosial

Struktur sosial berperan dalam memberikan pengaturan-pengaturan terkait bagaimana kita harusnya berpikir, merasa, dan bertindak — yang kemudian berkaitan dengan bagaimana cara kita berhubungan dengan orang lain. Struktur menciptakan sentimen baik/buruk, benar/salah, dan etis atau tidaknya suatu perbuatan. Sentimen-sentimen tersebut bertujuan untuk melestarikan struktur itu sendiri melalui ketaatan rutin yang dilakukan aktor. 

Individu antagonis sedikit banyak memahami bahwa jaringan sosial bekerja dalam pengaturan struktur sosial tersebut. Baginya, pengaturan struktur sosial yang terlembaga dalam jaringan sosial memberikan potensi tersendiri dalam mewujudkan kepentingannya. Nilai-nilai yang dilembagakan dalam jaringan sosial tersebut, baginya, merupakan barang dagangan yang dapat diperjual-belikan untuk kepentingan pribadinya.

Misalnya dalam suatu hubungan keorganisasian, individu antagonis cenderung memposisikan nilai-nilai dan tujuan ideologis suatu organisasi sebagai alat untuk memuluskan kepentingannya — sebagian untuk memperoleh jabatan dalam suatu organisasi, sebagian lainnya mungkin untuk kepentingan yang sangat personal (misalnya; untuk menarik perhatian lawan jenis).

Pemisalan tersebut mungkin tidak seberapa — mungkin saja masih saling beririsan dengan kepentingan anggota lain dan organisasi yang bersangkutan. Namun, apabila individu antagonis melangkahkan kakinya lebih jauh untuk kepentingan yang lebih luas (politik dan ekonomi) maka kepentingannya tersebut sangat mungkin tidak lagi beririsan dengan kepentingan organisasi yang bersangkutan. Biasanya, kasus seperti ini terjadi dalam bentuk pencatutan nilai-nilai suatu organisasi secara sombilis untuk kepentingan kampanye atau kepentingan bisnis individu antagonis tersebut.

Dalam mengeksekusi kepentingannya, individu antagonis bekerja dengan sentimen-sentimen yang tertanam pada nilai-nilai dan tujuan ideologis organisasi yang bersangkutan. Sentimen tersebut memancing (trigger) anggota-anggota di dalam jaringan organisasi untuk menghasilkan pergerakan yang (hasil akhirnya) telah diskenariokan oleh individu antagonis. Dalam pandangan penulis, jaringan sosial dalam organisasi memang paling potensial untuk dieksploitasi, ketimbang jaringan sosial lainnya seperti pertemanan, persahabatan, atau kekerabatan. 

Fenomena tersebut juga berlaku pada organisasi yang paling besar, yaitu negara. Sebagai organisasi, negara memiliki nilai-nilai dan tujuan ideologis yang dipercaya dapat menjangkau semua kepentingan anggotanya (warga negara). Negara merupakan organisasi yang paling rentan untuk dieksploitasi. Sebagai organisasi, negara memiliki sumber daya kekuasaan yang paling besar — yang dapat mengatur hingga urusan ranjang warga negaranya. Sumber daya kekuasaan tersebut merupakan barang yang paling mahal dan paling rentan diperjual-belikan oleh elit jaringan sosial di dalamnya.

Kesimpulan

Organisasi harusnya memberikan pelayanan terhadap setiap anggotanya, juga sebaliknya, setiap anggota harus mengeluarkan biaya untuk pelayanan tersebut. Jaringan sosial dalam suatu organisasi bertanggung jawab terhadap hubungan pertukaran yang tengah dilangsungkan melalui jaringan keanggotaan. Sebagaimana masyarakat, organisasi hanya hidup melalui kesadaran anggotanya. Kesadaran setiap anggota sudah semestinya berfungsi menjadi kaki-tangan dan mata organisasi. 

Dengan kesadaran seperti itu, jaringan sosial suatu organisasi akan sulit dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan di luar organisasi. Dengan demikian, eksploitasi sosial yang dijalankan oleh individu antagonis akan tetap berkontribusi terhadap kepentingan-kepentingan organisasi yang bersangkutan. Tidak dipungkiri, jika individu antagonis mungkin tetap bisa mendapatkan keuntungan yang lebih. Setidaknya, ia tetap mengeluarkan biaya kepada organisasi atas pelayanan yang digunakan untuk kepentingan pribadinya.

0 komentar: