Pada umumnya manusia pernah mengalami perasaan cinta. Dalam mejiwai perasaan cintanya, manusia kerap kali mengabaikan konteks sosial yang ...

Cinta dan Kontestasi Prestise

Pada umumnya manusia pernah mengalami perasaan cinta. Dalam mejiwai perasaan cintanya, manusia kerap kali mengabaikan konteks sosial yang melatari kehadirannya. Cinta membuat siapa saja yang mengalaminya menjadi abai dan lengah terhadap cara kerja cinta itu sendiri. Cinta menuntut pelayanan dari orang yang dicintai namun juga menuntun orang yang mencintai kepada pengorbanan sumber daya — dalam bentuk material ataupun non-material.
Cinta dan kontestasi prestise
Gambar oleh congerdesign dari Pixabay 
Baik disadari ataupun tidak, cinta bukanlah suatu fenomena rasa yang berdiri secara mandiri dan terlepas dari intervensi apapun. Sebaliknya, cinta dipenuhi oleh intervensi sosial dan biologis yang secara langsung berkontribusi menghadirkan rasa cinta itu sendiri. Tentunya, penulis tidak memiliki cukup kapasitas untuk membahas bagimana peran biologis terhadap cinta, sebagai gantinya, penulis akan mengupas secara mendalam bagaimana faktor sosial memainkan peran yang sangat penting terhadap hadirnya rasa cinta — yang mungkin pembaca sedang alami saat ini.

Prestise dan Kekuasaan

Secara umum (KBBI) prestise diartikan sebagai wibawa yang berkenaan dengan prestasi atau kemampuan seseorang. Wibawa itu sendiri (KBBI) merupakan pembawaan untuk dapat menguasai, mempengaruhi, dan dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Singkatnya, wibawa memiliki keterkaitan dengan kekuasaan.

Menurut penulis, prestise lebih dari apa yang telah dijelaskan di atas. Prestise tidak hanya menunjuk kepada wibawa yang memiliki kuasa, lebih dari itu, prestise menunjuk kepada nilai-nilai hierarkis yang tengah dikontestasikan di masyarakat. Bagaimana cara kita mengetahui keberadaan nilai-nilai hierarkis itu? Jawabannya ada pada uang dan tenaga yang kita korbankan — kemana mengalirnya kedua hal itu?

Sederhananya, kekuasaan pada prestise lahir akibat adanya kontestasi nilai yang membutuhkan biaya untuk memperolehnya. Prestise yang diperoleh individu merepresentasikan kemampuannya dalam membiayai (baik dengan uang atau tenaga) kontestasi nilai-nilai hierarkis tersebut. Nilai-nilai hierarkis tidak hanya menunjuk pada kompetensi dan status seseorang, melainkan juga menunjuk pada semua hal yang dikontestasikan di masyarakat — termasuk kecantikan/ketampanan dan juga kesalehan seseorang. 

Kenyataannya tidak semua orang memiliki kemampuan untuk membiayai kontestasi nilai yang tengah berlangsung di masyarakat. Mereka yang mengeluarkan biaya besar terhadap kontestasi nilai, maka akan memperoleh kemampuan dalam memberikan pelayanan eksklusif. Misalnya, seseorang dengan kompetensi pilot mampu memberikan pelayanan eksklusif (terbatas) untuk menerbangkan pesawat, tentunya untuk memperoleh kompetensi tersebut memerlukan biaya yang besar. Kemampuan memberikan pelayanan yang langka dan memerlukan biaya besar inilah yang melahirkan kekuasaan prestise di masyarakat.

Simbolisasi Prestise Masyarakat

Perempuan/laki-laki umumnya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar dapat tampil menarik di masyarakat  baik dari segi kompetensi atau penampilan fisik. Penampilan fisik merupakan identitas yang paling sulit disembunyikan. Karenanya, penampilan fisik sedikit-banyak menjadi cerminan awal yang merepresentasikan kehidupan sosial kita. Penampilan fisik yaitu paras, postur tubuh, atribut pakaian, bahkan gaya berjalan atau bicara merupakan simbol-simbol yang menyimpan nilai-nilai hierarkis di dalamnya.

Jika kita mengira hanya atribut pakaianlah simbol yang paling potensial dalam merepresentasikan nilai hierarkis di masyarakat, maka kita sedikit-banyak telah melakukan kekeliruan. Pada prinsipnya, nilai hierarkis menyangkut pelayanan-pelayanan eksklusif yang sangat terbatas kebaradaannya — dan sangat mungkin pelayanan eksklusif tersebut adalah paras yang dimiliki manusia. Namun, paras manusia tidak selalu menunjukkan perbedaan atau ciri yang khas, paras manusia sedikit-banyak memiliki kesamaan dengan manusia lainnya — dan kesamaan tersebut secara tidak langsung menghasilkan pembagian prestise secara cuma-cuma di mayarakat.

Perang, perbudakan, dan kolonialisasi yang identik dengan dominasi ras/etnik tertentu telah menghancurkan prestise pada ras/etnis lain yang telah didominasi tersebut. Kolonialisasi tidak hanya memiskinkan sumber daya alam dan manusia di negeri jajahan, melainkan juga memiskinkan prestise masyarakat yang dijajah tersebut. Mereka yang menang dapat menguasai banyak sumber daya yang dengannya mampu mengendalikan atau memonopoli pelayanan — dari situ mereka memperoleh prestise, dan bahkan, karena saking berkuasanya — prestise itu tersimbolisasi pada penampilan mereka, yaitu pakaian, postur tubuh, hingga paras mereka.

Namun pada gilirannya, simbolisasi paras tersebut terinternalisasikan di masyarakat yang kemudian diidentifikasikan sebagai simbol kecantikan/ketampan, alih-alih sebagai simbol kekuasaan prestise sosial-historis itu sendiri. Pada akhirnya simbolisasi kecantikan/ketampanan tersebut memiliki prestisenya tersendiri yang direproduksi oleh media kapitalis melalui artis/aktris — yang baik disadari ataupun tidak — mereka hanya menunggangi prestise yang telah diwariskan melalui kolonialisasi tersebut.

Cinta dan Orientasi Prestise

Baik diakui ataupun tidak, cinta memiliki orientasinya sendiri yang entah bagaimana caranya telah menuntun manusia kepada prestise-prestise tersebut. Pada umumnya kita mencintai perempuan/laki-laki yang berparas cantik/tampan yang sebagaimana telah kita ketahui memiliki prestise di masyarakat — jika kita memperolehnya (pasangan cantik/tampan) maka orangtua, teman ataupun orang lain akan kagum dengan perolehan tersebut.

Namun tidak hanya simbolisasi cantik/tampan saja yang memiliki prestise, melainkan terdapat prestise-prestise lainnya yang secara senyap juga diburu oleh rasa cinta yang kita alami. Masih terdapat kelas sosial, status, dan atribut-atribut sosial lain yang keberadaannya eksklusif dan terbatas dimiliki pada orang-orang tertentu saja. Cinta mengenal prestise-prestise tersebut namun mengekspresikan keinginannya (dalam memperoleh prestise) melalui bentuk penawaran yang sangat emosional.

Penawaran emosional cinta termanifestasikan ke dalam bentuk-bentuk pelayanan yang sangat eksklusif dan sangat personal. Misalnya pelayanan loyalitas sehidup-semati, pelayanan psikologis dan biologis, dan juga pelayanan spiritualis. Namun, sebagaimana yang telah diterangkan bahwa orientasi pelayanannya tersebut hanya ditujukan kepada mereka yang memiliki prestise di masyarakat. 

Dalam mewujudkan orientasinya, cinta terlebih dahulu harus memiliki biaya pengorbanan — yaitu prestise pemilik cinta, baik dalam bentuk material ataupun non-material. Pada gilirannya, prestise pemilik cinta harus ditampakkan bahkan dikorbankan untuk menyeimbangkan hubungan prestise yang secara tidak langsung sedang dinegosiasikan melalui interaksi sosial terhadap orang yang dicinta. Jika kedua individu merasa memiliki hubungan prestise yang seimbang, maka melalui hubungan tersebut cinta dapat diterima.

Cinta dan Kontestasi Prestise

Sebagaimana yang telah dijelaskan, baik disadari atau tidak, cinta membimbing kita kepada perolehan prestise yang ada di masyarakat. Namun bagian yang menarik dari cinta baru di mulai. Berdasarkan keterangan yang ada, kita mendapati bahwa cinta tidaklah buta, ia memiliki kemampuan mendeteksi prestise yang tersebar di masyarakat. Dengan begitu (1) cinta (targetnya) dioperasikan oleh kekuatan-kekuatan di luar individu pemilik cinta itu sendiri.

Bagian menarik lainnya, (2) orang yang kemudian berhasil saling mencinta cenderung tidak sadar dan mengabaikan prestise-prestise sosial lainnya — jika suatu sarana (prestise sosial) telah berhasil menjembatani hubungan cinta, maka nilai sarana tersebut akan berkurang. Hal ini dikarenakan (3) cinta itu memiliki prestise inheren yaitu segi emosional cinta itu sendiri — yang termanifestasikan ke dalam bentuk pelayanan-pelayanan yang sangat eksklusif dan sangat personal, misalnya, pelayanan loyalitas sehidup-semati. Hanya prestise cinta yang mampu memberikan pelayanan tersebut.

Walaupun demikian, nilai prestise pada cinta tidaklah sama bagi setiap orang — bergantung pada konteks sosial di mana individu mengalaminya. Tidak semua orang menginginkan pelayanan loyalitas sehidup-semati, terutama bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk memperoleh prestise yang lebih mewah dari prestise cinta tersebut. Cinta, sama dengan atribut sosial yang mengandung prestise lainnya, hanya saja perasaan cinta dikonseptualisasikan sebagai hubungan manusia yang paling istimewa — bahkan pada masyarakat tertentu cinta merupakan suatu hal yang sakral.

Pada akhirnya cinta itu sendiri adalah prestise. Prestise yang memberikan pelayanan yang sangat eksklusif dan sangat personal kepada individu. Karena pelayanan eksklusif yang diberikannya tersebut, orang-orang termotivasi untuk mewujudkan cintanya. Sebagaimana dengan prestise lainnya, untuk mendapatkan cinta membutuhkan biaya pengorbanan. Namun, cinta adalah mungkin satu-satunya prestise yang biaya pengorbanannya adalah semua prestise sosial yang dimiliki individu. Sehingga membuat sebagian orang kesulitan untuk memperjuangkannya.

Berdasarkan semua keterangan sebelumnya, maka penulis berkesimpulan bahwa hadirnya cinta memiliki hubungan yang sangat intim dengan kontestasi prestise yang sedang dialami individu dalam konteks masyarakat yang bersangkutan.

0 komentar: