Tentang mu, yang bersemayam di hati ku. Sedikit yang ku tahu, namun yang sedikit itu justru memberikan kesan yang besar pada diri ku. Bayang mu memengaruhi langkah pemikiran ku, mengisi ambisi jiwa ku, melukiskan mimpi dan harapan ku tentang sosok perempuan yang ideal.
Image by Dariusz Sankowski from Pixabay |
Kamu merupakan sosok yang tidak dapat ku sebutkan namanya, yang tersembunyi di antara identitas, dan yang ku kagumi dengan penuh harap. Apa yang membawa ku kepada diri mu? Tulisan ku yang penuh kecemasan dan harapan ini semoga saja dapat menerjemahkan semua yang aku alami tentang rasa ku pada mu.
Kesadaran dan Rasa
Kesadaran ku tidak tumbuh secara mandiri atas kehendak ku. Sebagai makhluk sosial, kesadaran manusia tentang dunianya ditumbuhkan oleh institusi sosial yang senantiasa menaungi hidupnya. Perkenalan awal manusia dengan dunianya dijembatani oleh institusi sosial terkecil, yaitu keluarga. Sebagai institusi terkecil, keluarga memiliki keterbatasan dalam mendefinisikan dunia, namun memiliki keleluasaan atas anak-anak yang dibesarkannya.
Keterbatasan keluarga dalam mendefinisikan merupakan implikasi atas keberadaan institusi sosial lainnya yang memperoleh legitimasi yang besar untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, yaitu negara. Singkatnya, kesadaran ku tentang dunia tidak dapat dilepaskan dari peran kedua institusi sosial tersebut. Jadi, apa artinya ini semua??? Artinya, aku, kamu, kita semua, saling berbagi kesadaran tentang dunia.
Bagaimana aku merasa tentang mu, tidak jauh beda dengan bagaimana dia merasa tentang mu. Tapi kenapa dia? Kenapa bukan ku? Dan, kenapa harus kamu? Kenyataannya, walaupun kesadaran kita tumbuh dengan cara yang sama, bukan berarti kita menjalankannya dengan kesempatan yang sama atau setara. Kesadaran itu terpenjara dalam tubuh, terpalsukan dalam kelas-kelas sosial, dan lebih jauh dari itu, ia terperosok dalam ambisi kapitalisme global.
Tubuh dan Kesadaran yang Terpenjara
Tubuh membatasi kesadaran kita tentang siapa kita, bagaimana penampilan kita, dan bagaimana kemampuan kita. Tanggapan yang diberikan orang lain atas tubuh kita merupakan gambaran umum mengenai derajat tubuh kita di masyarakat. Baik diakui atau tidak, faktanya derajat tubuh kita terposisikan secara struktural di masyarakat. Artinya, subjektivitas seorang ibu yang senantiasa meninggikan anaknya harus terbentur dengan penilaian objektif masyarakat.Kesadaran kita pun tersesuaikan dengan sendirinya terhadap penilaian objektif masyarakat tentang tubuh. Adalah hal yang wajar apabila kesadaran itu terkadang melampaui batas penilaian masyarakat, karena terbentuknya kesadaran melewati proses yang kurang berkenan — yang hingga akhirnya membuat manusia mengerti bahwa kesadarannya terpenjara dalam tubuh. Kini diri ku mungkin tersadar, bahwa derajat tubuh ku tidaklah sepadan dengan derajat tubuh mu — yang memaksa diriku untuk mencari cara agar bisa mendobrak jeruji-jeruji ini.
Kelas dan Kesadaran yang Terpalsukan
Penilaian objektif masyarakat tidak hanya berlaku pada tubuh manusia, melainkan juga berlaku pada kelas-kelas sosial — lagi-lagi kesadaran kita terpenjara untuk yang kedua kalinya. Penjara kali ini tidak sama dengan yang sebelumnya. Penjara ini hanyalah fiksi yang dipelihara masyarakat mengenai karakteristik yang dapat bergerak secara dinamis pada diri manusia. Misalnya, status ekonomi, politik, pendidikan, dan atribut sosial lainnya yang diperoleh melalui biaya ekonomi — itulah yang diartikan sebagai kelas sosial.
Dalam masyarakat, kelas merepresentasikan derajat manusia dalam tangga kehidupan sosialnya. Kelas sosial manusia menjadi penentu bagaimana kesadarannya terpalsukan ke dalam pesona sosial. Pesona sosial adalah daya tarik ideologi, nilai, harapan dan cita-cita mengenai kehidupan ideal yang saat ini telah dimanipulasikan oleh kontestasi kelas.
Kesadaran ku dalam menghayati dan menjiwai dunia ini tidak lagi ditentukan oleh kemurnian ideologi atau nilai yang ku anut, melainkan lebih ditentukan oleh kontestasi kepentingan kelas. Baik diakui atau tidak, pesona sosial telah diramu untuk melayani dan mewujudkan cita-cita kepentingan kelas atas. Kita sebagai konsumen yang menikmati ramuan tersebut dibuat terlena dengan seruan-seruan yang menggairahkan kesadaran — sebagai bibit kesadaran palsu.
Dalam masyarakat, kita sering mendengar seruan (propaganda) dengan motif utama "Kesuksesan hanya datang pada mereka yang mau bekerja keras dan cerdas", dan bahwa "Kekayaan ekonomi adalah simbol kesuksesan dan kejayaan manusia". Seruan propaganda tersebut ditransmisikan dalam berbagai bentuk melalui media massa, publik figur, dan bahkan melalui institusi pendidikan. Motif dari berbagai bentuk propaganda tersebut ialah sama! Agar menumbuhkan kesadaran bahwa kita sebagai manusia memiliki beban moral sebagai pekerja, kerja, dan terus bekerja.
Kesadaran palsu itu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, menjadi bagian dari kesadaran ku dan kesadaran mu. Kini, untuk menggapai mu aku harus mentransformasikan diri ku setidaknya ke dalam kelas sosial yang setara atau lebih tinggi dari mu. Bukan dimaksudkan sebagai suatu penghinaan atau penghormatan, melainkan sebagai penyesuaian atas formulasi kehidupan yang tengah berlangsung di masyarakat.
Mungkin, perasaan ku ke kamu tidak lagi murni sebagai ekspresi kesadaran jiwa yang tulus. Mungkin saja perasaan ini adalah bagian dari kesadaran yang terpalsukan itu. Aku akui bahwa hal itu memang membuat ku termotivasi untuk memenangkan kontestasi kelas. Namun, kamu pun bisa saja termasuk perempuan ideal yang dikonsepsikan secara matang sebagai treatment yang menggairahkan kesadaran pria. Dan mungkin saja, kamu saat ini juga sedang termotivasi untuk memenangkan kontestasi kelas — agar kamu dapat memperoleh sosok laki-laki yang dikonsepsikan ideal oleh kapitalis.
Kesadaran ku dalam menghayati dan menjiwai dunia ini tidak lagi ditentukan oleh kemurnian ideologi atau nilai yang ku anut, melainkan lebih ditentukan oleh kontestasi kepentingan kelas. Baik diakui atau tidak, pesona sosial telah diramu untuk melayani dan mewujudkan cita-cita kepentingan kelas atas. Kita sebagai konsumen yang menikmati ramuan tersebut dibuat terlena dengan seruan-seruan yang menggairahkan kesadaran — sebagai bibit kesadaran palsu.
Dalam masyarakat, kita sering mendengar seruan (propaganda) dengan motif utama "Kesuksesan hanya datang pada mereka yang mau bekerja keras dan cerdas", dan bahwa "Kekayaan ekonomi adalah simbol kesuksesan dan kejayaan manusia". Seruan propaganda tersebut ditransmisikan dalam berbagai bentuk melalui media massa, publik figur, dan bahkan melalui institusi pendidikan. Motif dari berbagai bentuk propaganda tersebut ialah sama! Agar menumbuhkan kesadaran bahwa kita sebagai manusia memiliki beban moral sebagai pekerja, kerja, dan terus bekerja.
"Manusia ingin memperoleh kedudukan yang sukses atau mapan di masyarakat — makna mapan telah dimanipulasi sebagai kejayaan dan kesuksesan seseorang dalam ekonomi. Untuk mewujudkannya manusia didorong untuk bekerja secara keras dan cerdas — itulah kesadaran yang terpalsukan. "Pertanyaannya, siapa yang paling diuntungkan dari kesadaran kita yang telah dipalsukan itu? Siapa lagi kalau bukan mereka-mereka yang menikmati tenaga kita dengan upah yang murah. Dari kesadaran palsu itu manusia berbondong-bondong mengejar pendidikan tinggi, meningkatkan berbagai macam skill dan kemampuan. Semakin banyak dari mereka yang profesional maka semakin murah tenaga mereka di pasar tenaga kerja, dan semakin besar pula keuntungan yang didapatkan oleh para kapitalis.
Kesadaran palsu itu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, menjadi bagian dari kesadaran ku dan kesadaran mu. Kini, untuk menggapai mu aku harus mentransformasikan diri ku setidaknya ke dalam kelas sosial yang setara atau lebih tinggi dari mu. Bukan dimaksudkan sebagai suatu penghinaan atau penghormatan, melainkan sebagai penyesuaian atas formulasi kehidupan yang tengah berlangsung di masyarakat.
Mungkin, perasaan ku ke kamu tidak lagi murni sebagai ekspresi kesadaran jiwa yang tulus. Mungkin saja perasaan ini adalah bagian dari kesadaran yang terpalsukan itu. Aku akui bahwa hal itu memang membuat ku termotivasi untuk memenangkan kontestasi kelas. Namun, kamu pun bisa saja termasuk perempuan ideal yang dikonsepsikan secara matang sebagai treatment yang menggairahkan kesadaran pria. Dan mungkin saja, kamu saat ini juga sedang termotivasi untuk memenangkan kontestasi kelas — agar kamu dapat memperoleh sosok laki-laki yang dikonsepsikan ideal oleh kapitalis.
"Jika asumsi itu benar, maka orang-orang yang ingin mewujudkan cintanya harus bersungguh-sungguh untuk memenangkan setiap kontestasi kelas. Dan pada akhirnya, penghayatan tentang cinta dan tentang mu adalah delusi — khayalan indah yang dibangun atas kesadaran yang terpalsukan. "
0 komentar: