Parasit, seperti namanya, adalah organisme yang hidupnya membebani organisme lain. Jika ditarik dalam pemahaman sosiologi, parasit, dapat diartikan sebagai pertukaran-pertukaran yang tidak seimbang di masyarakat. Sistem ikut andil dalam menghasilkan ketidakseimbangan pretukaran itu, namun, itu tidak penting untuk dibahas — sistem buatan manusia tidak mungkin sempurna. Penekanan pada tulisan ini adalah individu atau kelompok yang memanfaatkan dan mengeksploitasi sistem yang tidak sempurna itu — semata-mata untuk memuaskan kepentingan pribadinya.
Image by Ulrike Leone from Pixabay |
Pragmatisme dan Penindasan
Pragmatisme merupakan suatu pemahaman bahwa kebenaran harus sejalan dengan kepentingan manusia. Pemahaman ini berimplikasi pada penafsiran yang semena-mena atas nilai nilai yang hidup di masyarakat. Orientasi tindakan bukan untuk menghidupi nilai, melainkan untuk menghidupi diri sendiri di atas nilai-nilai masyarakat. Apabila nilai-nilai itu tidak lagi bermanfaat untuk suatu kepentingan, maka, penganut pragmatisme tidak segan-segan mencampakkan keberadaan nilai-nilai masyarakat tersebut.
Keberadaan nilai-nilai masyarakat memiliki fungsi untuk menjaga manusia atas manusia lainnya, agar tidak saling menindas dan saling merugikan. Dalam praktik bermasyarakat, tentu saja kita melibatkan unsur-unsur pragmatis. Namun, praktik tersebut terlebih dahulu kita sesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sehingga, walaupun terdapat sisi pragmatis — keutuhan nilai-nilai masyarakat tetap terjaga. Keutuhan nilai tersebut sedang dan senantiasa dipertaruhkan pada semua arena pertukaran yang ada di masyarakat.— dan keutuhan itu sedang digantungkan pada individu-individu di masyarakat..
Kenyataannya, tidak semua orang itu baik dan mau menaati nilai-nilai yang ada di masyarakat. Hal ini sering kita jumpai pada kasus yang sederhana, misalnya, menyontek saat ulangan dan menyerobot antrean. Apabila kita cermati, kedua kasus tersebut sangatlah receh, sering terjadi, dan mungkin kita adalah pelakunya. Pragmatisme pada kedua kasus tersebut berawal dari ketidakmauan belajar dan ketidaksabaran menunggu — sehingga mengabaikan kaidah kejujuran dan kedisiplinan masyarakat. Jika terus dibiarkan, maka akan berbuntut panjang pada kerusakan moral yang lebih luas.
Memeberikan ruang bagi pragmatisme sama saja dengan memberikan ruang bagi eksploitasi dan penindasan. Hal ini dikarenakan eksplotiasi dan penindasan sejalan dengan pragmatisme, yaitu tidak mengindahkan nillai dan moralitas sosial. Buntut dari pembiaran mungkin tengah kita rasakan saat ini, yaitu, kita menjadi terbiasa dan nyaman dengan cara kerja yang mementingkan hasil, alih-alih proses itu sendiri.
Misalnya, banyak sekali buruh yang tidak diperhatikan hak-hak sosialnya, karena memang, buruh itu sendiri menyetujui kontrak yang justru melahirkan hubungan pertukaran yang tidak seimbang. Persetujuan buruh tersebut didasari oleh pragmatismenya, yaitu upah. Dengan begitu, pragmatisme tidak hanya menghasilkan penindasan dari mereka yang berkuasa, melainkan juga melahirkan sifat sukarela bagi mereka yang lemah. Kesukarelaan tersebut lahir akibat teracuninya moralitas di masyarakat — mereka yang lemah, kini menjadi bagian dari ambisi-ambisi pragmatisnya sendiri.
Pada contoh kasus tersebut, parasit sosial adalah hubugan pertukaran tidak seimbang yang dijalankan oleh buruh dan pengusaha. Parasit sosial tersebut sangat merugikan buruh, di sisi lain, menjadi keuntungan bagi pengusaha. Seandainya nilai-nilai di masyarakat itu terpelihara, tentu, pengusaha tidak akan menindas buruh dengan ambisi pragmatisnya. Begitu juga dengan buruh, seandainya ia tidak terjebak dalam pragmatisme, maka ia tidak perlu merasakan penindasan tersebut.
Tentunya, penulis tidak bermaksud menyudutkan buruh. Penulis pun memahami, betapa sulitnya buruh untuk keluar dari jurang pragmatisme di tengah ketidakpastian hidup yang mereka alami.
Kenyataannya, tidak semua orang itu baik dan mau menaati nilai-nilai yang ada di masyarakat. Hal ini sering kita jumpai pada kasus yang sederhana, misalnya, menyontek saat ulangan dan menyerobot antrean. Apabila kita cermati, kedua kasus tersebut sangatlah receh, sering terjadi, dan mungkin kita adalah pelakunya. Pragmatisme pada kedua kasus tersebut berawal dari ketidakmauan belajar dan ketidaksabaran menunggu — sehingga mengabaikan kaidah kejujuran dan kedisiplinan masyarakat. Jika terus dibiarkan, maka akan berbuntut panjang pada kerusakan moral yang lebih luas.
Memeberikan ruang bagi pragmatisme sama saja dengan memberikan ruang bagi eksploitasi dan penindasan. Hal ini dikarenakan eksplotiasi dan penindasan sejalan dengan pragmatisme, yaitu tidak mengindahkan nillai dan moralitas sosial. Buntut dari pembiaran mungkin tengah kita rasakan saat ini, yaitu, kita menjadi terbiasa dan nyaman dengan cara kerja yang mementingkan hasil, alih-alih proses itu sendiri.
Misalnya, banyak sekali buruh yang tidak diperhatikan hak-hak sosialnya, karena memang, buruh itu sendiri menyetujui kontrak yang justru melahirkan hubungan pertukaran yang tidak seimbang. Persetujuan buruh tersebut didasari oleh pragmatismenya, yaitu upah. Dengan begitu, pragmatisme tidak hanya menghasilkan penindasan dari mereka yang berkuasa, melainkan juga melahirkan sifat sukarela bagi mereka yang lemah. Kesukarelaan tersebut lahir akibat teracuninya moralitas di masyarakat — mereka yang lemah, kini menjadi bagian dari ambisi-ambisi pragmatisnya sendiri.
Pada contoh kasus tersebut, parasit sosial adalah hubugan pertukaran tidak seimbang yang dijalankan oleh buruh dan pengusaha. Parasit sosial tersebut sangat merugikan buruh, di sisi lain, menjadi keuntungan bagi pengusaha. Seandainya nilai-nilai di masyarakat itu terpelihara, tentu, pengusaha tidak akan menindas buruh dengan ambisi pragmatisnya. Begitu juga dengan buruh, seandainya ia tidak terjebak dalam pragmatisme, maka ia tidak perlu merasakan penindasan tersebut.
Tentunya, penulis tidak bermaksud menyudutkan buruh. Penulis pun memahami, betapa sulitnya buruh untuk keluar dari jurang pragmatisme di tengah ketidakpastian hidup yang mereka alami.
0 komentar: