Bagaimana jadinya cinta jika kehadirannya sama sekali tidak diharapkan. Bagaimana jadinya cinta jika yang dicintai justru mengharapkan cinta itu binasa. Rasa cinta datang begitu saja dan sulit untuk dihindarkan—tidak jarang, pemiliknya menganggap ini anugrah. Namun di sisi penerima, alih-alih anugrah, cinta itu justru dianggap bencana bagi penerima yang tidak mengharapkan kehadirannya.
Gambar oleh Ylanite Koppens dari Pixabay |
Dualisme Perspektif
Mungkin saja, aku bukanlah orang yang kamu harapkan cintanya. Jika itu benar, aku hanya bisa pasrahkan mimpi dan harapan cinta ku pada doa. Di sinilah paradoks perspektif bekerja. Di sisi ku, doa yang ku panjatkan adalah mimpi indah bagi ku. Di sisi mu, doa yang ku panjatkan adalah mimpi buruk bagi mu. Aku sangat ingin memiliki mu, namun di sisi lain, kamu sangat tidak ingin dimiliki oleh ku. Bagi ku, itu adalah doa. Bagi mu, itu adalah kutukan.
Paradoks seperti ini menjerat manusia yang cintanya bertepuk sebelah tangan, atau kehadiran cintanya sama sekali tidak diharapkan. Cinta sebagai sesuatu yang diharapkan tetapi juga dapat tidak diharapkan. Paradoks tersebut membuktikan bahwa cinta tidak dapat dipisahkan dari perspektif manusia. Dengan begitu, bagaimana cinta itu dimaknai sangat tergantung dengan persepsi yang dihasilkan oleh pecinta dan yang dicinta. Pada persepsi yang saling berlawanan, paradoks dualisme perspektif sulit dihindarkan.
Melenyapkan Paradoks
Ada dua cara untuk keluar dari paradoks ini. Pertama, memisahkan atau paling tidak meminimalkan ego dalam memaknai cinta. Dengan begitu, cinta dapat dimaknai dengan leluasa tanpa terikat oleh ego manusia, terutama ego untuk menguasai dan memilki. Cara ini mengharuskan manusia untuk mendukung orang yang dicintainya sesuai harapan dari orang yang dicintainya tersebut, bukan malah sebaliknya. Dengan demikian, tujuan cinta dapat tersalurkan sebagai pelayan kebaikan bagi penerimanya.
Kedua, menihilkan makna cinta itu sendiri. Cara ini dapat dipraktikan apabila kehadiran cinta sama sekali tidak diharapkan atau ditolak. Cara ini mengharuskan manusia membebaskan cinta dari segala macam pemaknaan. Dengan begitu, cinta dapat dimaknai sesuai keadaan yang diharapkan dari orang yang dicintai. Jika yang dicintai mengharapkan cinta mu itu binasa, maka cinta mu harus diartikan demikian, yaitu binasa. Atau, jika yang dicintai sedang membutuhkan sesuatu, maka cinta mu itu harus mewujud sebagai pemenuh kebutuhannya. Ini adalah cara mencintai dalam senyap—yang dicintai tidak perlu menyadari bahwa ia tengah dicintai. Meskipun dalam senyap, tujuan cinta dapat terealisasikan sebagai pelayan kebaikan bagi hidupnya.
Kedua, menihilkan makna cinta itu sendiri. Cara ini dapat dipraktikan apabila kehadiran cinta sama sekali tidak diharapkan atau ditolak. Cara ini mengharuskan manusia membebaskan cinta dari segala macam pemaknaan. Dengan begitu, cinta dapat dimaknai sesuai keadaan yang diharapkan dari orang yang dicintai. Jika yang dicintai mengharapkan cinta mu itu binasa, maka cinta mu harus diartikan demikian, yaitu binasa. Atau, jika yang dicintai sedang membutuhkan sesuatu, maka cinta mu itu harus mewujud sebagai pemenuh kebutuhannya. Ini adalah cara mencintai dalam senyap—yang dicintai tidak perlu menyadari bahwa ia tengah dicintai. Meskipun dalam senyap, tujuan cinta dapat terealisasikan sebagai pelayan kebaikan bagi hidupnya.
0 komentar: