Tampilkan postingan dengan label Random Thought. Tampilkan semua postingan

Umumnya, kemiskinan dipandang sebagai kegagalan individu dalam berkontestasi di arena sosial. Pandangan tersebut mudah diterima di masyara...

Umumnya, kemiskinan dipandang sebagai kegagalan individu dalam berkontestasi di arena sosial. Pandangan tersebut mudah diterima di masyarakat tatkala dikaitkannya kondisi kemiskinan dengan kondisi rendahnya tingkat pendidikan, kemalasan, dan kebodohan si individu miskin tersebut. Melalui pandangan seperti itu, orang miskin sering kali disalahkan atas kondisi yang menimpa dirinya. Padahal..
Gambar oleh Peter H dari Pixabay 
.. kebanyakan dari kondisi kemiskinan diwarisi oleh generasi-generasi sebelumnya, yaitu orangtua-orangtua mereka. Individu yang tidak berdaya menerima warisan kondisi tersebut, mau tidak mau, hanya mendapatkan akses sumber daya yang apa adanya sebagai bekal bawaan mereka untuk bertempur di arena sosial. Sedangkan individu-individu lain yang berasal dari kalangan berada, mereka sedari awal telah mendapatkan akses lebih untuk bertempur di arena sosial. Mereka memiliki persiapan matang untuk terjun ke medan pertempuran.

Kenyataan memang demikian, tidak dapat dipungkiri dan tidak perlu disesali. Namun di balik itu semua, ada sifat-sifat yang menstimulasikan keadaan demikian yang dapat diubah, yaitu keserakahan. Tidak sepatutnya manusia tetap mewarisi sifat-sifat yang sejatinya tidak menambah apa-apa bagi hidup mereka. Tidak hanya orang kaya, meskipun kebanyakan memang orang kaya, orang miskin juga dapat menjadi serakah. Hanya saja, orang miskin tidak memiliki sarana dan momentum untuk menyalurkannya. Ini sifat umum yang dimiliki mayoritas manusia, terlepas dari asal-muasal kelas sosialnya. Sifat ini, dalam pandangan penulis, bertanggungjawab mereproduksi kemiskinan di masyarakat.

Seharusnya, keserekahan adalah subjek utama yang dibahas perihal masalah-masalah kemiskinan. Tidak seperti kemiskinan, keserekahan adalah kehendak sadar arogansi manusia yang dinyatakan ke dalam tindakan yang mengakumulasikan kapital. Oleh karena keserakahan adalah kehendak sadar manusia, maka sudah sewajarnya yang dipersoalkan adalah keserakahan itu sendiri, bukannya malah kemiskinan yang bahkan tidak dikehendaki oleh siapa pun.

Keserakahan adalah kehendak, sedangkan kemiskinan bukan kehendak. Namun, konstruksi sosial masyarakat masih menganggap kemiskinan sebagai pilihan gagal yang dikehendaki secara individual. Oleh karena itu, lahirlah pandangan umum masyarakat yang membenarkan penghakiman terhadap individu yang terjerat kemiskinan. Lebih dari itu, kebijakan dan hukum yang diproduksi oleh struktur sosial masyarakat juga menjadikan kemiskinan sebagai subjek utama yang harus diberikan stimulasi, alih-alih membatasi keserakahan manusia itu sendiri sebagai kehendak yang mendorong lahirnya kemiskinan.

Ketika moralitas tidak lagi membayang-bayangi manusia maka yang lahir adalah adegan tindas-menindas.

Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhl...

Manusia tidak lepas dari makna. 'Manusia' itu sendiri misalnya, bermakna (dimaknai) sebagai makhluk sosial, makhluk pekerja, makhluk cerdas, dan lain sebagainya. Oleh karena makna merupakan bagian dari kehidupan manusia, maka mempersoalkannya adalah bentuk gugatan terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Kenapa kita harus mempersoalkan makna? Apakah ada sesuatu di balik makna? Dan bagaimana makna memengaruhi kehidupan manusia?
Menggugat Makna
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay 
Eksistensi tidak sendirinya hadir dengan makna. Melalui lika-liku kehidupan, eksistensi mulai menyadari keterasingannya di pusaran realitas. Keterasingannya tersebut mencemaskan eksistensi akan hakikat dirinya, asal-muasal dirinya, dan untuk apa dirinya ada. Untuk menyembunyikan dan menutupi rasa cemas dari keterasingannya tersebut, manusia menggunakan berbagai cara, dan salah satunya melalui penggunaan makna.

Bagi eksistensialis, makna hanyalah salah satu alat untuk menjembatani kesadarannya agar 'terhubung' dengan realitas. Tidak seperti manusia umumnya—yang memandang makna sebagai bagian dari manusia itu sendiri—bagi eksistensialis, makna terpisah dari eksistensi manusia itu sendiri. Sebagaimana alat, eksistensialis mengoperasikan makna, bukan malah sebaliknya, dioperasikan oleh makna. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka makna tengah digugat!

Menggugat Makna

Makna, seringkali berperan sebagai pelaku yang menstimulasi pikiran, perasaan, dan tindakan manusia untuk membenarkan aksi ataupun reaksi manusia terhadap realitas di sekitarnya. Misalnya, apabila dibandingkan dengan orang berpakaian rapih, orang berpakaian lusuh umumnya mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda (orang lusuh < orang rapih). Adanya hierarki makna di antara keduanya seolah-olah menjadi pembenaran atas perlakuan yang berbeda. Padahal, keduanya sama-sama manusia yang terasingkan oleh realitas—yang kedatangannya sama-sama tidak membawa makna.

Selain itu, makna juga berperan dalam memproduksi ketidakadilan yang difasilitasi oleh ketidaksetaraan yang tidak dapat dihindarkan oleh pendistribusian acak dadu kehidupan. Misalnya, orang dengan wajah kurang simetris dan berkulit gelap, saat kesan pertama, cenderung sulit mendapatkan kehangatan emosional apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki wajah simetris dan berkulit cerah. Kenyataan ini disebabkan oleh hierarki makna yang ada pada keduanya. Hal ini pula membuat sebagian orang, dalam kasus yang tidak dapat dihindarkan, harus berusaha lebih keras dari yang lainnya. 

Kenyataan-kenyataan yang dimaknai secara hierarki seperti inilah yang membuat Penulis geram dan harus dipersoalkan. Bagaimana tidak, Penulis sendiri terkadang menjadi korban dari ketidakadilan hierarki makna tersebut. Terkadang, Penulis dihakimi oleh pemaknaan yang bahkan tidak merepresentasikan diri Penulis. Meskipun begitu, harus diakui pula bahwa pemaknaan yang mendahului realitas terkadang juga menguntungkan. Hal ini pun membuktikan bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.

Realitas atau kenyataan itu sendiri dapat dianalogikan sebagai suatu hindangan, dimaknai bagaimanapun juga, rasanya tetap sama. Hanya saja, ketika kita memaknainya, maka cara kita melihat dan menafsirkan realitas suatu hidangan menjadi berubah dan bervariasi. Apa yang dikomunikasikan kepada orang lain tentang hidangan tersebut pun menjadi tidak apa adanya, kadang meninggikan, kadang merendahkan. Kekonyolan seperti inilah yang menjadi kenyataan bagi sifat makna itu sendiri.

Sesuatu di balik Makna

Meskipun demikian, makna tidak dapat bertahan dan melembaga dengan sendirinya, kecuali memang sengaja dilestarikan dan direproduksi secara kontinu untuk tujuan tertentu. Lalu, siapa yang sengaja mereproduksinya untuk tujuan tertentu? Jawabannya, semua manusia yang sadar bahwa situasi kelasnya terikat oleh makna. Mereka adalah eksistensi yang bersembunyi di balik topeng kepentingan kelas mereka.

Persembunyian eksistensi ini bukan tanpa alasan, melainkan terdapat tujuan mendasar untuk mempertahankan kemapanan dirinya agar tetap 'ada'. Dan situsi kelas adalah sarana yang paling merepresentasikan kemampuan eksistensi dalam mempertahankan kemapanan dirinya di pusaran realitas. Misalnya, orang-orang kelas atas, mereka memiliki akses melimpah ke berbagai macam sumber daya di masyarakat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya agar tetap 'ada'. Sebaliknya dengan orang-orang kelas bawah, akses mereka sangat terbatas, 'ada' mereka sangat rentan.

Situasi semua kelas terikat oleh situasi pasar yang mana motor penggeraknya bukan hanya kebutuhan primer—sandang, pangan, papan—semata, melainkan terdapat motor ideologi sebagai kumpulan makna yang mengoperasikan hidup manusia dengan cara-cara tertentu. Motor ideologi tersebut menciptakan pola keteraturan yang kemudian dapat dengan mudah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan kelas tertentu.

Misalnya, ideologi-ideologi yang mewacanakan berbagai dikotomi biner antara makna kehidupan modern/ canggih/ keren dan makna kehidupan primitif/ kuno/ katro. Ideologi-ideologi semacam itu menguatkan situasi kelas yang memegang kendali atas perubahan dan kemajuan dalam bidang teknologi dan industri—yang keterlembagaannya ditopang oleh kekuatan institusi sosial-politik. Tanpa hierarki makna yang dibangun oleh dikotomi biner itu, usaha mereka menjual teknologi dan industri sulit menuai hasil.

Saat ini, kita hidup dalam bayang-bayang ideologi tersebut, seolah-olah, jika eksistensi kita tidak menjelma sebagai ekspektasi ideologi kehidupan modern, maka eksistensi kita menjadi kurang bermakna apabila dibandingkan oleh mereka yang memenuhi ekspektasi ideologi kehidupan modern. Ini nyata, tidak percaya? Coba saja dipraktikan. Apabila meminjam istilah Durkheim, maka hal ini dapat dinyatakan sebagai fakta sosial non-material—dengan cirinya yang universal, eksternal, dan memaksa.

Makna dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Manusia

Apabila ditinjau berdasarkan kedudukannya, makna dapat dibagi menjadi dua, yaitu makna struktural dan makna individual. Makna struktural adalah makna yang dibagikan, diakui, dikembangkan, dan dilembagakan secara kolektif di masyarakat. Misalnya, makna yang mengatur cara berpakaian manusia. Sedangkan makna individual adalah makna yang terbatas jika dibagikan dan terbentur oleh pengakuan orang lain. Makna individual diproduksi oleh keunikan pengalaman manusia secara personal—yang apabila kita membagikannya kepada orang lain, maka orang lain belum tentu dapat memahaminya, apa lagi mengakuinya. Misalnya, curahan hati orang perihal perasaan pribadinya terhadap orang yang disukainya.

Kenyataannya, kita senantiasa hidup dalam bayang-bayang makna, baik makna struktural ataupun individual. Kenyataan yang diperoleh dari makna struktural adalah fungsinya yang memfasilitasi cara manusia dalam berasa, berpikir, dan bertindak. Sedangkan kenyataan dari makna individual adalah fungsinya yang memfasilitasi kebebasan berekspresi secara personal. Kedua kenyataan tersebut saling berdialektika dalam memengaruhi kehidupan manunsia. Dan menariknya, karena dialektika itu makna dapat diretas fungsinya sejauh tidak dipertemukan dengan realitas, alias dijadikan sebagai alat kebohongan! Masih ingat, 'kan? Bahwa makna bukanlah realitas itu sendiri.

Apa-apa yang dapat dipengaruhi oleh makna adalah apa-apa yang dapat dimanfaatkan dari makna. Kehidupan manusia senantiasa dipengaruhi makna dikarenakan manusia memahami manfaat yang ada pada makna. Meskipun begitu, penggunaan makna terkadang tidak sejalan dengan manfaat utamanya sebagai ukuran yang mewakili realitas. Misalnya, pada perbedaan makna profesi. Seharusnya, makna suatu profesi diutamakan dari tingkat penghasilannya, namun kenyataan di lapangan dapat terjadi sebaliknya. Misalnya, seorang pengemis jalanan dapat menghasilkan uang 6-8 juta dalam sebulan, sedangkan seorang pegawai kantoran hanya mendapatkan gaji tetap 4 juta dalam sebulan. Namun kenyataannya, profesi pengemis tetaplah bermakna lebih rendah dari pada profesi pegawai kantoran.

Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia? Makna atau nilai dari realitas (penghasilan)? Melihat dari perbandingan makna profesi sebelumnya, maka makna seolah-olah lebih diutamakan dari pada nilai realitas (penghasilan) itu sendiri. Jawabannya tentu saja bukan karena manusia itu bodoh. Saat keadaan tertentu, manusia lebih memprioritaskan makna dikarenakan makna itu sendiri memiliki nilai yang dipertimbangkan secara struktural ataupun individual. Rendahnya makna profesi pengemis meskipun memiliki penghasilan lebih tinggi dari pegawai kantoran disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan struktural, salah satunya adalah prestise atau gengsi suatu profesi.

Dari kenyataan-kenyataan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna memiliki dunianya sendiri yang nilainya tidak selalu terikat oleh realitas. Artinya, makna adalah lapisan terpisah dari realitas yang beroperasi untuk mewakili realitas namun juga menciptakan realitasnya sendiri—yang bahkan nilai realitas ciptaannya dapat digunakan untuk melawan nilai dari realitas aslinya. Kenapa terjadi demikian? Karena gugatan eksistensialis terhadap makna, agar realitas yang tiada makna dihidupi sebagai moral.

Secara sederhana, berpikir dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terjadi di dalam otak yang dimaksudkan (serangkaian aktivita...

Secara sederhana, berpikir dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terjadi di dalam otak yang dimaksudkan (serangkaian aktivitas tersebut) untuk memecahkan suatu masalah. Lalu, apa yang terjadi jika tidak tersisa lagi permasalahan yang harus dipecahkan? Apakah manusia akan berhenti berpikir?
Kenapa Kita Berpikir
Gambar oleh Comfreak dari Pixabay 
Pada dasarnya, berpikir adalah instrumen/alat pemecah masalah. Sebagai alat, tentunya, aktivitas berpikir serta pemikiran itu sendiri tidak inheren dengan kesadaran jiwa manusia—terdapat jarak yang memisahkan keduanya. Meskipun demikian, berpikir adalah tangan kanan terloyal yang dimiliki oleh kesadaran jiwa manusia. Dengan begitu, berpikir adalah instrumen yang paling mungkin dan pasti merepresentasikan—sedikit-banyak—eksistensi manusia. Tidak mengherankan jika diktum "aku berpikir maka aku ada" begitu populer hingga dewasa ini, 

Kenapa berpikir begitu istimewa daripada merasa? Dalam pandangan penulis, terdapat perbedaan mendasar antara berpikir dan merasa. Berpikir adalah aktivitas kesadaran jiwa yang melahirkan pemikiran, sedangkan merasa bukanlah aktivitas sadar, melainkan, aktivitas yang distimulasikan oleh alam bawah sadar—kemudian mengaktifkan reaksi kimia yang berhubungan dengan kemunculan emosi/perasaan manusia. Perbedaan ini menunjukan bahwa berpikir adalah aktivitas yang istimewa bagi eksistensi manusia, sedangkan merasa, tidak.

Kenapa Kita Berpikir

Tujuan manusia berpikir adalah agar manusia itu berhenti berpikir. Misalnya, apabila kita memikirkan masalah x dan dapat menyelesaikannya, maka kita akan berhenti memikirkan masalah x. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu masyarakat, fungsi mekanisme penyelesaian masalah oleh aktivitas berpikir digantikan dengan aktivitas sistem. Misalnya, institusi pendidikan seperti sekolah, menyelesaikan permasalahan orangtua terkait mendidik anak. Lainnya, institusi ekonomi seperti pasar, menyelesaikan permasalahan masyarakat terkait konsumsi. 

Lebih daripada itu, terdapat struktur sosial yang dianggap mapan dalam memfasilitasi mekanisme penyelesaian permasalahan manusia secara umum. Segala sesuatu—nilai, norma, aturan, kebiasaan—yang diterima begitu saja tanpa dipermasalahkan oleh pikiran adalah bukti telah tergantikannya aktivitas berpikir manusia oleh sistem yang ada. Dalam menjalani rutinitas, hampir semuanya, manusia mengandalkan sistem yang ada tanpa berpikir dan mempertanyakannya kembali. Sehingga, hampir semua manusia bertindak secara otomatis menggunakan mode auto-pilot.

Kapan sistem dipertanyakan dengan aktivitas berpikir? Berpikir dan mempertanyakan sistem muncul apabila sistem yang dianggap mapan, dalam kenyataannya, tidak dapat menyelesaikan persoalan manusia—sebagian atau keseluruhan. Misalnya, kenapa kita makan dengan tangan kanan? Sebagian orang yang tidak bisa menggunakan tangan kanan akan berpikir dan mempertanyakan sistem norma yang sudah mapan tersebut. Kenapa kita bersekolah? Sebagian orang yang kesulitan untuk bersekolah atau mendapatkan hasil yang tidak memuaskan dari sekolah, tentunya, akan berpikir dan mempertanyakan kembali alasan bersekolah tersebut.

Pada kenyataannya, sistem buatan manusia tidak pernah sanggup menyelesaikan semua permasalahan manusia—baik terhadap sekelompok manusia atau semua manusia. Alasan pertama yang sangat mendasar adalah kelemahan manusia dalam menerjemahkan permasalahan secara jernih dan akurat. Sehingga, solusi yang dihasilkan oleh kegiatan berpikir manusia cenderung rapuh. Kedua, manusia adalah makhluk eksistensial yang senantiasa bertujuan untuk kemapanan eksistensinya. Sehingga, solusi yang dihasilkan selalu ditujukan untuk dirinya yang utama. Ketiga, manusia adalah makhluk relasional yang kebermaknaan dirinya senantiasa dipertaruhkan oleh kekuatan relasinya. Sehingga, solusi yang dihasilkan sangat sulit bebas nilai.

Dari kenyataan itu semua, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sistem yang dibuat oleh manusia mustahil dapat bekerja secara adil. Oleh karena ketidakadilan sistem itu, manusia senantiasa berpikir untuk memperbaikinya, memperbaikinya, dan terus memperbaikinya. Sehingga, apakah manusia akan berhenti berpikir? Jawabannya, manusia tidak dapat berhenti berpikir.

Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasari — semua a...

Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasarisemua atau sebagian—perasaannya, pemikirannya, dan juga tindakannya agar memiliki makna. Secara garis besar, terdapat dua gairah eksistensial yang setidaknya penulis dapat bedakan berdasarkan pengamatan dan pengalaman personal, yaitu gairah relasional dan gairah kebebasan.
Gairah Makhluk Eksistensial
Gambar oleh Tom und Nicki Löschner dari Pixabay 

Gairah Relasional: Ciri Makhluk Sosial

Sebagaimana namanya, terciptanya gairah ini didasari oleh relasi-relasi yang dimiliki oleh suatu eksistensi. Relasi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hubungan sesama manusia, melainkan juga hubungan terhadap hewan, benda, atau bahkan pada setiap aktivitas manusia, baik yang digemari secara personal, seperti hobi, atau yang dituntut secara sosial, seperti bersekolah. Meskipun demikian, unsur-unsur dari pembentukan semua relasi tersebut tetap bermula pada hubungan antar sesama manusia.

Relasi terhadap sesama manusia adalah sumber gairah pertama eksistensial. Sejak lahir, manusia telah diberikan nama oleh orangtuanya. Nama adalah pemaknaan yang pertama kali dilekatkan oleh orangtua terhadap manusia, dengan harapan, kelak manusia tersebut memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemaknaan pada nama yang dilekatkannya. Melalui cara itu, harapan-harapan ideal—yang bersumber dari kecemasan dan semangat eksistensial orangtua—ditransmisikan melalui nama. Tindakan demikian semata-mata bertujuan agar manusia mewarisi kecemasan dan semangat eksistensial orangtuanya tersebut.

Relasi kuat terhadap orangtua membuat makna hidup manusia selalu terikat dengan eksistensi mereka. Misalnya, hampir semua manusia memaknai tujuan hidupnya untuk membahagiakan orangtua mereka. Apabila orangtua manusia tiada, manusia merasa telah kehilangan sebagian besar makna hidupnya, terutama dialami bagi mereka yang belum memenuhi tuntutan relasional untuk membahagiakan orangtua. Eksistensi manusia dapat menjadi bergairah namun juga dapat menjadi lesu, hanya karena relasinya dengan orangtua. Menurut penulis, kasus seperti ini adalah contoh terbaik yang menjelaskan gairah relasional eksistensialis manusia.

Sebagaimana uraian sebelumnya, eksistensi yang diaktifkan oleh gairah relasional tersebut memiliki kelemahan, yaitu terlalu bergantung pada hubungan yang dimiliki manusia terhadap sesuatu di luar dirinya. Ketergantungan ini menjadi malapetaka apabila manusia gagal dalam memenuhi harapan-harapan dari hubungan relasionalnya.

Misalnya, apabila kamu tidak dapat memenuhi harapan-harapan dari relasi sosial masyarakat secara umum—seperti tuntutan untuk berpendidikan minimal SMA—dan jika kamu hanya berpendidikan sampai SD, maka makna eksistensimu di masyarakat menjadi berkurang, bahkan pada kasus ekstrem, kamu dianggap tidak ada. Orang-orang disekitarmu pun tidak memaknaimu sebagai sesuatu yang penting. Kenapa demikian? Pertama, tujuan dasar eksistensi adalah untuk tetap ada (hidup). Kedua, karena tujuan tersebut, segala sesuatu yang berkontribusi terhadap pemenuhan tujuan dasar eksistensi menjadi bermakna. Apabila kita amati pada kasus pendidikan, bermodalkan hanya ijazah SD sulit untuk berkontribusi secara mapan terhadap tujuan eksistensi tersebut. Sehingga, secara umum, mereka yang hanya berpendidikan SD menjadi kurang bermakna dibandingkan dengan yang telah berpendidikan SMA.

Pendek kata, bergairah atau tidaknya eksistensi manusia lebih disebabkan oleh pemaknaan yang terdapat dalam hubungan relasionalnya. Manusia yang bergantung pada gairah relasional hanya merasa hidup apabila mendapat pengakuan dan makna dari orang lain (hubungan relasionalnya). Namun, bagaimana dengan mereka yang eksistensinya tidak diakui makna keberadaannya? Mereka yang kalah dan tidak mampu memenuhi tuntutan dan harapan relasionalnya? Jawabannya ada diakhir tulisan ini.

Gairah Kebebasan: Ciri Makhluk Individual

Apabila gairah relasional menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, maka gairah kebebasan sebaliknya, yaitu menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk individual. Dalam hal ini, manusia merasa terbebani dengan relasi-relasi yang dimilikinya, terutama bagi manusia yang sangat tertekan oleh tuntutan-tuntutan relasionalnya tersebut. Bagi manusia yang sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya, sangat mungkin, tidak akan tertarik untuk membebaskan diri dari ikatan relasionalnya. Sebaliknya, manusia yang tidak sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya sangat mungkin untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan—tuntutan dan pemaknaan—relasional tersebut.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semua manusia yang eksistensinya didominasi oleh gairah kebebasan adalah mereka yang tertekan oleh ikatan relasionalnya. Eksistensi yang digairahkan oleh kebebasan bisa saja bersumber dari hasrat keinginan manusia itu sendiri. Atau, bisa saja bersumber dari kemampuan manusia dalam merefleksikan pengalaman hidup mereka. Walaupun sulit memastikan apa dan dari mana sumbernya, gairah kebebasan memiliki kesamaan ciri mendasar, yaitu kesadaran akan adanya jarak antara eksistensinya dengan makna.

Kesadaran akan adanya jarak antara dirinya dengan makna memiliki konsekuensi logis bahwa manusia tidak lagi merasa terikat dengan makna relasionalnya. Dengan jarak, manusia mampu menjadikan makna sebagai instrumen yang memfasilitasi kepentingan individualnya. Manusia memegang makna sebagaimana alat, dapat digenggam juga dilepas apabila dibutuhkan atau tidak lagi dibutuhkan. Namun, konsekuensi logis daripada itu semua adalah bangkitnya kesadaran manusia bahwa kebermaknaan eksistensinya semu.

Berbeda dengan manusia yang tidak diakui makna eksistensinya, manusia dengan gairah kebebasan bisa saja sangat diakui makna eksistensinya dan bertingkah laku sama seperti manusia dengan gairah relasional. Namun, manusia dengan gairah kebebasan tetap dapat dibedakan. Manusia dengan tipe gairah ini memiliki rute hidupnya sendiri—yang tidak dapat diterjemahkan dengan pemahaman apapun. Contoh terbaik dari kasus ini adalah manusia yang tidak terbawa suasana lingkungannya. Manusia ini memiliki corak tersendiri yang membedakannya dari kerumunan.

Pendek kata, eksistensi yg tetap bergairah atau semakin bergairah tanpa terikat oleh pemaknaan orang lain, hidup dalam suatu kebebasan sekaligus kehampaan. Di satu sisi, eksistensinya dapat bebas dari ikatan makna relasional. Namun di sisi lain, eksisistensinya hampa.

Matinya Gairah Eksistensial

Eksistensi manusia, jika kecemasannya tidak lagi diakui maknanya, dapat berakhir pada situasi ketidakbermaknaan dan kekosongan eksistensial. Kecemasan adalah bahasa eksistensi jiwa. Jika bahasa itu diabaikan keberadaan maknanya, maka tidak ada lagi yang bisa diucapkan oleh jiwa selain kekosongan. Pada situasi ini, gairah eksistensial sangat mungkin menemui kematiannya, yaitu ketidakbermaknaan eksistensial. Manusia yang mengalami hal ini sangat mungkin menjadi frustrasi dan depresi.

Oleh karena itu, penting untuk kita belajar memerhatikan dan menghargai kecemasan orang lain—tanpa melihat hubungan sosialnya, baik itu latar kelas, status, pendidikan, ideologi, dsb. Barangkali perhatianmu adalah penyelamat jiwanya.

Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubun...

Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubungan sosial, seperti orangtua, pasangan, kerabat ataupun sahabat. Apakah untuk melayani diri sendiri? Yaitu raga, seperti kepuasan biologis dan psikologis. Apakah untuk melayani jiwa kita sendiri? Seperti menemukan ketenangan dan kelapangan jiwa. Jika sudah menemukan jawabannya, melalui ekspresi tersebut, apa yang sebenarnya harus kita cari dari momentum kehidupan yang singkat ini?
Gambar oleh Elias Sch. dari Pixabay 
Umumnya manusia akan menjawab "ekspresi kami melayani ketiganya, yaitu sosial, raga, dan jiwa". Namun, benarkah mereka memahami arti dari ketiganya? Dari yang kuketahui, umumnya ekspresi manusia hanya merepresentasikan kebutuhan sosial dan raganya saja. Alih-alih kebutuhan jiwa itu yang utama, kehidupan manusia justru seringkali menghadapi ketegangan hubungan, kekhawatiran masa depan, dan ketakutan akan kematian. Lalu, dimana ekspresi yang melayani kebutuhan jiwa itu?

Dewasa ini, umumnya jiwa manusia telah layu, yang bermekaran hanyalah kehidupan raga dan sosialnya saja. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara sederhana, baik melalui refleksi ataupun pengamatan. Melalui refleksi, kita cukup menolehkan wajah pada cermin lalu bertanya kepada diri sendiri, "apakah kamu siap bercerai dengan ragamu?". Sedangkan melalui pengamatan, kita cukup menolehkan wajah pada kehidupan masyarakat yang semakin modern tapi justru semakin jauh dari tujuan moral bermasyarakat, yaitu menghilangkan penderitaan yang masih juga dialami oleh sebagian manusia.

Kebanyakan ekspresi manusia di era modern saat ini hanyalah representasi kebutuhan raga dan sosialnya saja. Misalnya saja percakapan sesama manusia, yang seringkali hanya gambaran dari adanya kesamaan kepentingan dan kelas sosial. Alih-alih menghasilkan kelapangan jiwa, percakapan sesama manusia justru menghasilkan ketegangan dan kecemasan jiwa melalui persaingan kepentingan.

Pendek kata, dapat menemukan ekspresi murni dari jiwa manusia di era modern saat ini adalah suatu hal yang langka dan istimewa. Lalu, jika kamu sudah benar-benar menemukannya, apa yang seharusnya dicari dari momentum kehidupan yang singkat ini?

Di kesunyian malam, badai rindu telah menghinggapi diri ini. Perasaan yang entah dari mana datangnya, apabila ditelusuri, tidak kunjung di...

Di kesunyian malam, badai rindu telah menghinggapi diri ini. Perasaan yang entah dari mana datangnya, apabila ditelusuri, tidak kunjung ditemukan akarnnya dari kenyataan.

Gambar oleh Andrea Stöckel-Kowall dari Pixabay 
Mungkin saja itu adalah pengalaman jiwa. Jika kita berasumsi bahwa jiwa bukanlah materi, maka sudah sepatutnya tidak terpenjara dalam dimensi ruang & waktu. Mungkin, pengalaman jiwa sudah terbentuk lama bahkan sebelum dimasukan ke dalam raga. Sebagian adalah pengalaman masa lalu yang diwariskan oleh nenek moyang. Sebagian lagi adalah pengalaman yang telah dan sedang kita alami selama hidup. Dan mungkin sebagian lainnya adalah pengalaman yang bersumber dari masa depan kita.

Apakah kalian pernah sepertiku? Memimpikan seseorang yang tidak dikenal dan ketika bangun membawa perasaan yang istimewa. Perasaan yang tidak pernah diperoleh melalui pengalaman empiris selama hidup. Akan tetapi, perasaan itu ada dan nyata! Barangkali perasaan itu adalah pengalaman masa depanku dengan orang lain. Seseorang yang mungkin suatu saat hubungannya denganku menghasilkan perasaan yang istimewa ini.

Perasaan istimewa yang mungkin berasal dari masa depan itu sangat membekas di jiwa. Karena saking membekasnya, mungkin, perasaan itu secara tidak sengaja ikut diterjemahkan oleh alam bawah sadarku. Alam bawah sadarku mengira itu adalah kenyataan empiris yang pernahku alami. Padahal, aku tidak pernah mengalaminya di kehidupan nyata.

Walau waktu telah berlalu 5 tahun lamanya, perasaan istimewa itu masih membekas di jiwaku. Semoga saja perasaan itu benar adanya, bukan sebuah delusi, ataupun halusinasi semata. Sejak awal tulisan ini dibuat, diriku hanya berpijak di atas pengandaian, bahwa pengalaman jiwa mungkin saja melampaui pengalaman empiris. 

Apa yang membuatku meyakini pengandaian itu adalah fenomena fobia yang dialami oleh hampir semua manusia dan beberapa oleh sebagian kecil manusia. Selain itu, apakah kalian pernah mengalami deja vu? Saat mengalami peristiwa baru, seolah-olah peristiwa itu pernah dilami sebelumnya, namun pada kenyataanya, kita baru mengalaminya. Rasa penasaranku walaupun masih dalam proses pencarian, untuk sementara membuatku meyakini bahwa pengalaman jiwa mungkin saja melampaui pengalaman empiris.

Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan ole...

Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan oleh kedua bentuk dikotomis peristiwa tersebut, yang penulis wakilkan dengan istilah komedi dan tragedi.
Gambar pohon komedi dan tragedi
Gambar oleh Franck Barske dari Pixabay 
Komedi dan tragedi memiliki hubungan yang sangat dekat, yaitu sebagai saudara kandung. Ibunya adalah pengalaman manusia yang mengoperasikan kehidupan, sedangkan bapaknya adalah mekanisme alam yang mengoperasikan realitas. Kalau ibu melakukan kesalahan kepada bapak maka lahirlah komedi. Kalau bapak melakukan kesalahan kepada ibu maka lahirlah tragedi. Kehidupan rumah tangga yang dipenuhi dengan pertengkaran antara subjektivitas sang ibu dan objektivitas sang bapak.

Sebagai permisalan ekstrem tragedi, maka kematian adalah yang paling mewakili bentuk mekanisme alam yang mustahil ditolak. Kematian menjadi tragedi karena sang bapak dengan objektivitasnya merenggut subjektivitas sang ibu secara paksa. Kehidupan yang diopersaikan oleh pengalaman manusia dihentikan oleh realitas yang dioperasikan mekanisme alam.

Namun, tidak semua kematian dijiwai sebagai tragedi. Tidak semua ibu posesif terhadap kehidupan manusia. Ada pula ibu yang memahami bahwa kedudukan subjektivitasnya dideterminasi oleh objektivitas sang bapak. Pemahamannya tersebut membawa pengalaman manusia pada level kesadaran tertinggi sebagai makhluk fana yang sedang sekarat menuju kematian. Dengan begitu, kematian hanya diartikan sebagai dialog perpisahan antara ibu dan bapak, antara pengalaman manusia dengan realitas alam.

Sedangkan komedi, maka kebodohan adalah yang paling mewakili bentuk pengalaman manusia yang secara potensial dapat ditolak. Kebodohan menjadi komedi karena sang ibu dengan subjektivitasnya dapat salah dalam memahami objektivitas sang bapak. Kesalahpahaman yang dihasilkan oleh pengalaman manusia senantiasa dimunculkan oleh benturan antara subjektivitas dengan objektivitas.

Namun, tidak seperti tragedi kematian. Komedi kebodohan tidak dialami oleh semua manusia. Faktanya, kesalahpahaman hanya terjadi di dalam pikiran individu. Oleh karena itu, kebodohan bersifat individual. Karena bersifat individual, komedi kebodohan hanya dialami oleh individu-individu yang melakukan kesalahpahaman terhadap kekakuan realitas alam. Dengan begitu, kebodohan menjadi komedi ketika individu-individu lain menyaksikan adegan kesalahpahaman manusia terhadap kekakuan realitas.

Pendek kata, kematian menyalahi keinginan manusia untuk tetap hidup, sehingga disebut sebagai tragedi. Sedangkan kebodohan menyalahi kekakuan mekanisme alam, sehingga disebut sebagai komedi. Tragedi adalah realitas yang tidak dapat dihindarkan, sedangkan komedi adalah pengalaman yang dapat dihindarkan. Oleh karena itu, objek dari tragedi adalah manusia secara keseluruhan, sedangkan objek dari komedi adalah manusia secara individual.

Lalu, bagaimana dengan cinta? Hemat penulis, cinta adalah titik temu keduanya. Perkawinan antara komedi dan tragedi. Sebagai komedi, cinta menyalahi kesendirian eksistensi manusia. Sebagai tragedi, cinta menyalahi kebersamaan esensial individu. Tidak heran, jika kebahagiaan cinta selalu dibayang-bayangi penderitaan.