Apakah aku harus memenuhi ekspektasimu? Atau aku tetap harus menjadi diriku? Apakah orisinalitas diri lebih utama ketimbang diriku yang harus disesuaikan dengan ekspektasimu? Menjadi diri sendiri tapi kehilangan mu atau menjadi orang lain tapi mendapatkanmu?
Gambar oleh S. Hermann & F. Richter dari Pixabay |
Dualisme Ekspektasi
Menurutku, upaya untuk memenuhi ekspektasimu sama saja upaya untuk mencemari kemurnian diriku sendiri. Memang, terdapat kepuasan apabila kita dapat memenuhi ekspektasi pasangan kita. Namun, jika kita telah terbiasa dengan itu, bukankah sama saja kita telah menghilangkan diri kita yang sebenarnya? Begitu pula yang terjadi pada pasangan kita. Diri kita dan diri pasangan kita justru saling diterjemahkan sesuai ego pasangannya, bukan oleh keautentikan egonya masing-masing sebagai makhluk merdeka.
Persoalannya, apakah hubungan cinta yang seperti itu akan bertahan lama? Sebarapa lama diri kita mampu memenuhi ekspektasi pasangan kita? Bukankah kita sering mendengar desas-desus mengenai karakter asli pasangan yang baru terungkap ketika pernikahan telah berjalan? Lalu, bagaimana seharusnya cinta diterjemahkan dan dipraktikan?
Lagi-lagi kita terjebak dalam suatu paradoks. Cinta tidak dapat menerjemahkan dirinya sendiri (untuk menamai dirinya saja tidak bisa), dengan begitu cinta membutuhkan subjek penerjemah. Subjek penerjemah tersebut tidak lain adalah diri kita. Sebagai manusia, kita memiliki ego yang mewujud pada ekspektasi pasangan yang ideal. Ekspektasi itulah yang mungkin saja menjadi barang buruan ego kita, bukan cinta.
Subjek penerjemah memiliki kemungkinan untuk salah ketika membedakan mana cinta dan mana ego. Dan seringkali, hal ini terjadi pada kedua pasangan sekaligus. Alhasil, alih-alih mereka saling mencintai dengan tulus, mereka justru saling tertekan karena tuntutan untuk memenuhi ego ekspektasi pasangannya masing-masing.
Mengurai Paradoks
Ada dua kemungkinan apabila kita mengalami perasaan cinta terhadap seseorang. Pertama, kita mencintai ego kita sendiri dengan 'mencintai' orang lain sebagai alat pemuas ego. Kedua, kita mencintai orang lain dengan ego kita sebagai alat pemuas cinta. Sederhananya, yang pertama adalah cinta sebagai alat untuk memuaskan ego, sedangkan yang kedua adalah ego sebagai alat untuk memuaskan cinta.
Pada kemungkinan pertama, seseorang mencintai orang lain karena orang itu sesuai ekspektasinya. Orang tersebut memiliki keinginan untuk mendapatkan apa yang diekspektasikannya tersebut. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan 'cinta' sebagai alat pembenaran egonya. Padahal, dia hanya mencintai egonya sendiri—yang secara kebetulan egonya itu dipuaskan oleh seseorang. Setelah egonya didapat, barulah benih-benih cinta dipaksakan untuk tumbuh dan dipertahankan. Cinta itupun tumbuh atas dasar ego.
Pada kemungkinan pertama ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa dikendalikan oleh ego masing-masing pasangannya. 'Cinta' justru digunakan sebagai alat kekuasaan yang dioperasikan oleh masing-masing ego pasangan tersebut. Misalnya, "kalau kamu tidak melakukan hal ini, artinya kamu tidak mencintai ku", "kalau kamu mencintai aku maka kamu harus nurutin kemauanku". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling menggunakan 'cinta' sebagai alat pemuas egonya masing-masing. 'Cinta' digunakan untuk mengendalikan tubuh, pikiran, bahkan perasaan pasangannya. Pendek kata, inilah cinta yang memenjarakan orisinalitas manusia.
Pada kemungkinan kedua, seseorang mencintai orang lain bukan karena orang itu sesuai ekspektasinya. Terdapat daya tarik lain (cinta itu sendiri) yang keberadaannya justru mendekonstruksi ego ekspektasi manusia tentang pasangan ideal. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan egonya sebagai alat pembenaran cintanya. Setelah cintanya didapat, barulah benih-benih ego ditumbuhkan kembali. Ego yang sebelumnya dikorbankan untuk mendapatkan cinta akan kembali tumbuh, namun tumbuh atas dasar cinta.
Pada kemungkinan kedua ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa mengalir bebas mengikuti derasnya arus cinta keduanya. Cinta berperan sebagai pelaku yang mengendalikan ego kedua pasangan tersebut. Misalnya, "kalau hal ini membuat mu semakin mencintai ku, maka akan kulakukan", "kalau nurutin kemauanku membuat cintamu redup maka jangan turutin yaa". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling mengorbankan egonya masing-masing atas dasar hubungan cinta, bahkan karena hal itu pula cinta mereka terawat. Cinta telah bersemayam sebagai tujuan bukan alat. Pendek kata, inilah cinta yang membebaskan orisinalitas manusia.
Pada kemungkinan pertama, yaitu cinta sebagai alat pemuas ego, ekspektasi terhadap cinta memenuhi kondisi paradoks dualisme. Cinta hanya hidup di dalam angan, mimpi, dan harapan-harapan dari masing-masing ego pasangan tersebut. Cinta tidak benar-benar hidup sebagai suatu hubungan ataupun tujuan, melainkan hanyalah khayalan belaka. Pada kemungkinan kedua, yaitu ego sebagai alat pemuas cinta, ekspektasi terhadap cinta menjadi cair dan tidak menemui bentuk yang baku. Cinta mengendalikan ego manusia untuk memenuhi ekspektasi dari cinta itu sendiri, yaitu pengorbanan masing-masing ego pasangan. Dengan begitu, ekspektasi terhadap cinta bukan bersumber dari ego pasangan, melainkan dari tujuan hubungan cinta itu sendiri.
Paradoks dualisme ekspektasi cinta hanya bisa diuraikan di atas tulisan, bukan di lapangan. Benturan ekspresi sosial dan ekspresi jiwa tidak dapat dipisahkan secara tegas batasannya. Sangat mungkin yang kita anggap sebagai ekspresi jiwa (cinta & kasih sayang) adalah ekspresi sosial (tuntutan berkeluarga & hidup berpasangan) atau bisa saja hanya ekspresi biologis semata (kebutuhan seksual). Lagi-lagi, persoalan cinta bukanlah persoalan yang mudah dibicarakan dan dipraktikan.
Namun, penulis meyakini bahwa cinta yang tulus hingga dapat melumpuhkan ego pasangan itu ada. Cinta yang seperti itulah yang berhasil melepaskan diri manusia dari paradoks dualisme ekspektasi. Cinta bukanlah milik ego pasangan, tapi ego itu sendirilah yang dimiliki oleh cinta. Dengan begitu, ekspektasi cinta hanyalah satu, bukan dari ego masing-masing, melainkan dari tujuan cinta itu sendiri.
Pada kemungkinan pertama, seseorang mencintai orang lain karena orang itu sesuai ekspektasinya. Orang tersebut memiliki keinginan untuk mendapatkan apa yang diekspektasikannya tersebut. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan 'cinta' sebagai alat pembenaran egonya. Padahal, dia hanya mencintai egonya sendiri—yang secara kebetulan egonya itu dipuaskan oleh seseorang. Setelah egonya didapat, barulah benih-benih cinta dipaksakan untuk tumbuh dan dipertahankan. Cinta itupun tumbuh atas dasar ego.
Pada kemungkinan pertama ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa dikendalikan oleh ego masing-masing pasangannya. 'Cinta' justru digunakan sebagai alat kekuasaan yang dioperasikan oleh masing-masing ego pasangan tersebut. Misalnya, "kalau kamu tidak melakukan hal ini, artinya kamu tidak mencintai ku", "kalau kamu mencintai aku maka kamu harus nurutin kemauanku". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling menggunakan 'cinta' sebagai alat pemuas egonya masing-masing. 'Cinta' digunakan untuk mengendalikan tubuh, pikiran, bahkan perasaan pasangannya. Pendek kata, inilah cinta yang memenjarakan orisinalitas manusia.
Pada kemungkinan kedua, seseorang mencintai orang lain bukan karena orang itu sesuai ekspektasinya. Terdapat daya tarik lain (cinta itu sendiri) yang keberadaannya justru mendekonstruksi ego ekspektasi manusia tentang pasangan ideal. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan egonya sebagai alat pembenaran cintanya. Setelah cintanya didapat, barulah benih-benih ego ditumbuhkan kembali. Ego yang sebelumnya dikorbankan untuk mendapatkan cinta akan kembali tumbuh, namun tumbuh atas dasar cinta.
Pada kemungkinan kedua ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa mengalir bebas mengikuti derasnya arus cinta keduanya. Cinta berperan sebagai pelaku yang mengendalikan ego kedua pasangan tersebut. Misalnya, "kalau hal ini membuat mu semakin mencintai ku, maka akan kulakukan", "kalau nurutin kemauanku membuat cintamu redup maka jangan turutin yaa". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling mengorbankan egonya masing-masing atas dasar hubungan cinta, bahkan karena hal itu pula cinta mereka terawat. Cinta telah bersemayam sebagai tujuan bukan alat. Pendek kata, inilah cinta yang membebaskan orisinalitas manusia.
Pada kemungkinan pertama, yaitu cinta sebagai alat pemuas ego, ekspektasi terhadap cinta memenuhi kondisi paradoks dualisme. Cinta hanya hidup di dalam angan, mimpi, dan harapan-harapan dari masing-masing ego pasangan tersebut. Cinta tidak benar-benar hidup sebagai suatu hubungan ataupun tujuan, melainkan hanyalah khayalan belaka. Pada kemungkinan kedua, yaitu ego sebagai alat pemuas cinta, ekspektasi terhadap cinta menjadi cair dan tidak menemui bentuk yang baku. Cinta mengendalikan ego manusia untuk memenuhi ekspektasi dari cinta itu sendiri, yaitu pengorbanan masing-masing ego pasangan. Dengan begitu, ekspektasi terhadap cinta bukan bersumber dari ego pasangan, melainkan dari tujuan hubungan cinta itu sendiri.
Kesimpulan
Kedua kemungkinan tersebut pada kenyataannya sulit ditemukan secara sempurna di lapangan. Faktanya, cinta bukanlah satu-satunya tujuan hidup manusia, terdapat tujuan-tujuan lainnya yang bahkan dapat lebih penting dari cinta. Hubungan manusia juga tidak sebatas dengan satu orang yang kita cintai, melainkan juga ada hubungan lainnya yang sangat mungkin lebih krusial dari hubungan cinta itu sendiri. Karenanya, pengalaman kita dalam mencintai seseorang tidak dapat dipisahkan dari rumitnya konteks yang melatari kehadiran cinta tersebut.Paradoks dualisme ekspektasi cinta hanya bisa diuraikan di atas tulisan, bukan di lapangan. Benturan ekspresi sosial dan ekspresi jiwa tidak dapat dipisahkan secara tegas batasannya. Sangat mungkin yang kita anggap sebagai ekspresi jiwa (cinta & kasih sayang) adalah ekspresi sosial (tuntutan berkeluarga & hidup berpasangan) atau bisa saja hanya ekspresi biologis semata (kebutuhan seksual). Lagi-lagi, persoalan cinta bukanlah persoalan yang mudah dibicarakan dan dipraktikan.
Namun, penulis meyakini bahwa cinta yang tulus hingga dapat melumpuhkan ego pasangan itu ada. Cinta yang seperti itulah yang berhasil melepaskan diri manusia dari paradoks dualisme ekspektasi. Cinta bukanlah milik ego pasangan, tapi ego itu sendirilah yang dimiliki oleh cinta. Dengan begitu, ekspektasi cinta hanyalah satu, bukan dari ego masing-masing, melainkan dari tujuan cinta itu sendiri.
0 komentar: