Merasa adalah pengalaman paling mengesankan. Tidak hanya membekas di jiwa, tapi juga terawat secara apik dalam ingatan. Kalaupun sampai terlupa, rasa itu tidak begitu saja lenyap. Paling-paling ingatan itu hanya mengaburkan latar yang menghadirkan suasana rasa itu, tapi rasa itu sendiri tidaklah lenyap. Rasa itu berubah, iya berubah. Tapi, perubahan itu hanya terjadi pada objek yang kita rasa. Sedangkan rasa itu sendiri tidak berubah, kita masih merasa dengan rasa yang sama.
Gambar oleh GLady dari Pixabay |
Terkadang jiwa kita tersakiti oleh rasa. Karena bagaimanapun juga rasa menuntut untuk diekspresikan dan menuntut penerimaan. Namun, tidak semua ekspresi itu diterima, bahkan ditolak, bahkan dapat lebih buruk dari itu, yaitu ditiadakan. Jika penolakan rasa hanya berdampak pada pengabaian identitas, maka peniadaan rasa berdampak pada pengabaian personalitas.
Bukankah orang-orang omong kosong itu sering mengatakan bahwa rasa itu dialamatkan pada personalitas, dan melampaui identitas? Nyatanya, hanya karena identitas tidak sesuai dengan ekspektasi kesadaran, alih-alih menyelusup ke dalam personalitas, rasa itu justru tertolak tanpa terlebih dulu mempertemukan personalitas. Mungkin, identitasnya terlalu buruk, hina, hingga tidak ada celah untuk penerimaan rasa. Itulah nyatanya!
Rasa itu tidak dapat disalahkan, lagi-lagi, kita harus menyalahkan kesadaran pemilik rasa itu. Perasa itu harusnya paham, bahwa rasa itu unversal, dialami oleh siapa saja tanpa memandang kelas-kelas sosial. Namun, perasa harus menyadari, bahwa dalam memproyeksikan rasa ke dunia sosial haruslah mengikuti hukum-hukum sosial yang berlaku. Rasa yang hanya hidup dalam realitas subjektif harus diterjemahkan sesuai kemampuan objektif perasa.
Rasa memberikan dorongan internal yang entah bagaimana dapat memotivasi tindakan manusia. Rasa tidak hanya menghembuskan harapan pada jiwa maunsia, namun juga memberikan kekuatan pada jiwa-jiwa manusia itu. Jiwa yang tadinya dilayukan oleh kelemahan identitas menjadi bermekaran oleh kekuatan rasa. Karena rasa, kemiskinan tidak selalu dialami jiwa sebagai kesedihan dan penderitaan, sebaliknya, karena rasa, kekayaan justru tetap dapat membuat jiwa mengalami penderitaan dan kesedihan.
Sebagaimana yang telah diutarakan, rasa memiliki determinasi yang cukup kuat atas kebahagiaan dan kesedihan jiwa seseorang. Kekuatannya itu melampaui batas identitas-identitas manusia, melampaui kemiskinan atau kekayaan, dan melampaui segala bentuk rupa manusia. Sayangnya, kekuatannya itu terkadang disalah artikan oleh perasa sebagai pembenaran tindakan atas setiap rasa yang dimilikinya. Kekuatan rasa justru mewujud sebagai mimpi buruk, bagi yang mengalami rasa itu sendiri dan bagi yang ditujukan oleh rasa tersebut.
0 komentar: