Tampilkan postingan dengan label Gender. Tampilkan semua postingan

Umumnya kita mengetahui bahwa terdapat dua jenis kelamin, yaitu perempuan dan laki-laki. Namun, pada beberapa kasus kelahiran terdapat fen...

Umumnya kita mengetahui bahwa terdapat dua jenis kelamin, yaitu perempuan dan laki-laki. Namun, pada beberapa kasus kelahiran terdapat fenomena ambiguitas jenis kelamin, sehingga sulit dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah interseks. Karena keunikannya, interseks dijadikan sebagai salah satu subjek pembahasan yang cukup menarik dalam menyoalkan gender — yang kita tahu umumnya hanya terdapat dua gender, yaitu perempuan dan laki-laki — yang kemudian memunculkan pertanyaan, gender seperti apa yang cocok dilekatkan kepada interseks?
Gender, seks, dan interseks
Gambar oleh John Hain dari Pixabay 

Perbedaan Seks dan Gender

Untuk menjawab pertanyaan sebelumya, terlebih dahulu kita harus memahami apa perbedaan seks dan gender. Sederhanannya, gender adalah penugasan sosial yang dilekatkan kepada seks/jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Sedangkan seks itu sendiri adalah karakteristik biologis yang didasari pada perbedaan kromosom, struktur seksual eksternal dan internal, produksi hormon, dan perbedaan fisiologis lainnya yang menyangkut fungsi reproduksi manusia. Kemudian, perbedaan-perbedaan yang tampak secara fisik disebut dengan istilah dimorfisme seksual. 

Menurut para ahli, Kessler dan McKenna dalam (Wharton, 2005) gender dipandang sebagai aspek psikologis, sosial, dan budaya dari kejantanan dan keperempuanan. Gender mewakili karakteristik yang diambil oleh pria dan wanita ketika mereka menghadapi kehidupan sosial dan budaya melalui sosialisasi (Wharton, 2005). Menurut (Lindsey, 2016) seks membuat kita sebagai pria atau wanita; gender membuat kita maskulin atau feminin. Seks adalah status yang diberikan saat seseorang dilahirkan dengan itu, tetapi gender adalah status yang dicapai karena harus dipelajari (Lindsey, 2016). 

Tiga ciri definisi gender menurut (Wharton, 2005): 
  1. 1) Gender sebagai proses yang terus berlangsung, dan bukan sebagai ketetapan mutlak/ final. Gender terus diproduksi dan direproduksi di masyarakat.
  2. 2) Gender bukan hanya terjadi pada karakteristik individu, tetapi juga terjadi di semua tingkatan struktur sosial. Pemahaman ini memungkinkan kita untuk mengeksplorasi bagaimana proses sosial, seperti interaksi dan institusi sosial, bekerja mewujudkan dan mereproduksi gender.
  3. 3) Gender mengacu pada pentingnya dalam mengatur hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempuan
Pandangan yang lebih mendalam mengenai gender dituangkan melalui tiga pendekatan, yaitu individualisinteraksionis, dan institusional. Ketiga pendekatan tersebut berusaha menjelaskan fenomena gender dengan penekanan yang berbeda. Individualis menekankan pemahaman gender sebagai atribut individu, interaksionis menekankan gender sebagai atribut relasional-kontekstual, sedangkan institusional menekankan gender sebagai atribut masyarakat atau struktur sosial.

Sosiologi Menjawab Gender Interseksual

Interseksual sebagaimana telah dijelaskan merupakan ambiguisitas jenis kelamin. Menurut Wharton (2005) ketika teknologi medis telah menjadi lebih canggih, interseksualitas didefinisikan sebagai kondisi yang memerlukan intervensi medis. Menurut Kessler dalam Wharton (2005) interseksualitas didefinisikan sebagai cacat lahir yang dapat diperbaiki. Dengan begitu, teknologi medis berperan untuk menyediakan alat kelamin normal yang cocok pada bayi interseks.

Perbincangan interseksual memunculkan perdebatan serius mengenai keberadaan aksioma-aksioma yang jarang bahkan hampir tidak pernah dipertanyakan. Misalnya, aksioma yang menyatakan bahwa hanya terdapat dua jenis gender, dan alat kelamin adalah simbol utama dari gender. Kedua aksioma tersebut dipertanyakan kembali kebenarannya, khususnya terkait bagaimana interseksual dapat dikategorisasikan ke dalam gender-gender tersebut.

Persoalan interseksualitas tersebut menghadirkan spektrum pemahaman yang saling berseberangan mengenai gender itu sendiri. Menurut Lorber dalam (Wharton, 2005) di satu ujung spektrum adalah mereka yang percaya bahwa gender tidak didasarkan pada realitas biologis atau genetis apa pun. Pandangan ini berpendapat bahwa gender mendasari munculnya perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Alih-alih biologis atau genetik, proses sosial menurut pandangan ini adalah kunci utama untuk memahami gender itu sendiri.

Di sisi lain dari debat ini menurut Rossi & Udry dalam (Wharton, 2005) adalah para sosiolog yang menekankan cara-cara di mana biologi menetapkan batas pada apa pengaruh masyarakat dapat dicapai. Perspektif ini disebut sebagai biososial — pandangan yang memperlakukan seks sebagai realitas objektif — yang menghasilkan perbedaan nyata antara laki-laki dan perempuan yang berakar pada fisiologi, anatomi, dan genetika manusia (Wharton, 2005). Seperti kebanyakan sosiolog, Wharton (2005) percaya bahwa dunia biologis dan sosial saling bergantung dan saling berpengaruh.

Kedua spektrum tersebut menawarkan cara yang berbeda dalam memahami gender — yang menurut penulis dapat digunakan untuk memahami posisi gender interseksualitas. Pada spektrum pertama, pemahaman terhadap gender menghasilkan bagaimana jenis kelamin dibedakan dan dipraktikan secara sosial. Hasilnya, interseksualitas dapat dikategorisasikan sebagai gender lain (selain perempuan/laki-laki) yang keberadaan identitasnya hanya menuntut konsesus sosial. 

Pada spektrum yang kedua, pemahaman terhadap gender dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin. Hasilnya, interseksualitas tidak dapat mengkategorisasikan keberadaan identitasnya kepada selain laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, gender interseksualitas menjadi tidak mungkin hadir di masyarakat. Dari kedua spektrum tersebut dapat disimpulkan, bahwa gender interseks hanya mungkin muncul apabila pemahaman terhadap gender tidak dibatasi oleh pembedaan biner jenis kelamin. 

Kesimpulan

Pada poin penutup ini, penulis menarik kesimpulan secara luas, bahwa  gender, apapun bentuk pemahamannya, tidak terlalu signifikan pada konteks masyarakat kapitalis yang melembagakan prestise pada kekayaan — yang mana merupakan basis dari pada kelas-kelas sosial. Apabila kamu adalah kalangan kelas atas, orang-orang mungkin dapat sama sekali tidak peduli dengan gender mu, sebaliknya, apabila kamu bukan dari kalangan kelas atas, maka orang-orang menjadi begitu sensitif terhadap gender bahkan terhadap cara bicara mu.

Daftar Pustaka

Lindsey, L. L. (2016). Gender Roles: A Sociological Perspective (Sixth Edit). Routledge.
Wharton, A. S. (2005). The Sociology of Gender: An Introduction to Theory and Research. Blackwell Publishing.

Tidak seperti pendekatan individualis yang melihat gender sebagai milik individu atau interaksionis yang melihat gender sebagai status yan...

Tidak seperti pendekatan individualis yang melihat gender sebagai milik individu atau interaksionis yang melihat gender sebagai status yang lahir dalam pola interaksi pada konteks sosial tertentu, maka institusionalis memandang gender sebagai budaya yang memang dilembagakan oleh institusi untuk tujuan-tujuan tertentu.
Pendekatan Institusional Gender
Gambar oleh Arek Socha dari Pixabay 

Institusi Gender

Perspektif kelembagaan menjelaskan bagaimana gender tertanam dalam struktur sosial dan merupakan bagian dari realitas yang diterima begitu saja dalam masyarakat kontemporer. Sosiolog mendefinisikan sebuah institusi sebagai "pola yang terorganisir, mapan" atau bahkan lebih sederhana, "aturan main" (Jepperson 1991: 143). Setiap lembaga sosial diorganisasikan sesuai dengan apa yang oleh Friedland dan Alford disebut sebagai "logika pusat - seperangkat praktik material dan konstruksi simbolik" (1991: 248). Logika ini mencakup struktur, pola, rutinitas, dan sistem kepercayaan yang terinternalisasi melalui pemaknaan. 

Gender dalam pendekatan institusional berfokus pada organisasi, struktur, dan praktik lembaga-lembaga sosial, dan menekankan bagaimana aspek-aspek tatanan sosial tersebut mengakar kuat dan relatif diterima — kemudian memproduksi dan mereproduksi perbedaan dan ketidaksetaraan gender. Dengan begitu gender hadir dalam proses, praktik, gambaran ideologi, melalui distribusi kekuasaan institusional di berbagai sektor kehidupan sosial.

Aspek Institusi Gender

Terdapat beberapa aspek penting institusi terkait gender. Pertama, institusi merupakan sumber utama kepercayaan budaya tentang dunia sosial, termasuk keyakinan tentang gender. Kedua, institusi cenderung mengabadikan diri, tidak memiliki tujuan sadar untuk menciptakan atau mereproduksi perbedaan dan ketidaksetaraan gender.

Ketiga, institusi menghasilkan pandangan yang dibagikan secara sosial tentang keberadaan dan tujuan mereka. Artinya, orang-orang menerima begitu saja pandangan institusi karena mereka beranggapan bahwa institusi memiliki fungsi dan tujuan yang jelas. Keempat, institusi menjauhkan perhatian gender dari individu dan pola interaksi ke studi struktur sosial dan budaya. Dengan begitu,  gender tidak dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki oleh individu, melainkan dipahami sebagai aspek organisasi sosial. 

Institusi Gender Dalam Keseharian

Dalam keseharian kita mungkin sering menemui beberapa aktivitas, pekerjaan, atau jurusan yang kita identifikasikan dengan gender tertentu. Misalnya, olahraga, karena terdapat beberapa aktivitas olahraga yang identik dengan penggunaan daya fisik yang intens maka seringkali hanya gender laki-laki yang dominan melakukan aktivitas olahraga tersebut — misalnya tinju dan sepak bola. Di sisi lain terdapat aktivitas olahraga yang identik dengan kelembutan dan estetika gerakan — sehingga seringkali hanya gender perempuan yang dominan pada aktivitas olahraga tersebut — misalnya tari & balet.

Beberapa institusi seperti sekolah, budaya, dan media massa berperan dalam melembagakan pandangan-pandangan gender terkait aktivitas olahraga tersebut. Adapun salah satu perannya ialah terkait dengan bagaimana konsep tubuh ideal laki-laki dan perempuan — sehingga, sedikit-banyak merintangi kebebasan laki-laki atau perempuan dalam memilih bentuk aktivitas olahraga yang tersedia di masyarakat.

Terdapat dua cara untuk mengidentifikasi keberadaan budaya gender dalam praktik kehidupan bermasyarakat. Pertama, jika ditemukannya praktik, kebijakan, atau prosedur yang membedakan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Kedua, apabila ternyata suatu praktik, kebijakan, atau prosedur tidak menentukan perlakuan yang berbeda, akan tetapi memiliki dampak yang berbeda pada perempuan dan laki-laki.

Kesimpulan

Pendekatan institusional gender berfokus terhadap aspek struktur sosial dan budaya. Oleh karena itu, perspektif kelembagaan mengarahkan fokus pada praktik dan kebijakan organisasi, dan pada dimensi material dan simbolis dari lembaga sosial berskala besar, seperti pendidikan, pekerjaan, atau keluarga.

Daftar Pustaka

Wharton, A. S. (2005). The Sociology of Gender: An Introduction to Theory and Research. Blackwell Publishing.

Apabila pendekatan individualis berfokus terhadap individu, interaksionis, lebih berfokus pada konteks sosial di mana individu berinteraks...

Apabila pendekatan individualis berfokus terhadap individu, interaksionis, lebih berfokus pada konteks sosial di mana individu berinteraksi di dalamnya. Pendekatan ini menempatkan perhatian yang lebih besar pada kekuatan-kekuatan yang beroperasi di luar individu.
Gender Iinteraksionis
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Kategorisasi sosial merupakan hal yang penting dalam pendekatan interaksionis. Dalam pendekatan ini gender dioperasikan melalui pengkategorisasian tersebut. Kategorisasi sosial itu sendiri memiliki arti sebagai proses di mana individu mengklasifikasikan orang lain dan diri mereka sendiri sebagai anggota kelompok tertentu. Jenis kelamin merupakan kategori sosial yang penting di masyarakat, namun, jenis kelamin bukan lah satu-satunya kategori sosial. Kategori sosial lain yang tak kalah penting ialah usia, ras, etnis, kompetensi, dsb.

Kategorisasi sosial berperan penting dalam menentukan persepsi individu dalam memandang jenis kelamin. Persepsi terhadap jenis kelamin umumnya tidak sama dan cenderung memproduksi perbedaan yang melahirkan ketidaksetaraan. Pendekatan interaksionis menawarkan tiga teori dalam memahami kerja pengkategorisasian sosial, yaitu; (1) Doing Gender; (2) Teori Karakteristik Status; dan (3) Teori Homofili.

Doing Gender (Etnometodologi)

Para ahli teori ini tidak setuju dengan mereka yang melihat gender sebagai seperangkat sifat kepribadian yang stabil. Dalam perspektif ini, kepercayaan bahwa dunia dibagi menjadi dua (oposisi biner), yaitu kategori yang saling eksklusif - dipahami sebagai sebuah "prestasi" — produk pencapaian manusia. Teori ini memahami kerja kategorisasi jenis kelamin sebagai aspek kebiasaan, hampir terjadi secara otomatis, dan jarang dipertanyakan dalam interaksi sosial. 

Menurut teori ini, kategorisasi jenis kelamin lebih merupakan konstruksi sosial daripada realitas biologis atau fisik. Tidak hanya gender, ras dan kelas sosial juga merupakan produk dari interaksi sosial. Memahami bagaimana interaksi sosial menghasilkan dunia yang dibedakan berdasarkan gender adalah tujuan utama dari Teori ini. Teori ini cenderung menunjukkan bagaimana gender (dan bentuk-bentuk perbedaan lainnya) diproduksi dan dipertahankan dalam perjumpaan sosial tertentu. 

Teori karakteristik status: Ekspektasi Gender

Untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana mengelompokkan orang lain berdasarkan jenis kelamin kemudian menghasilkan ekspektasi dan stereotip gender, para ahli teori ini memperkenalkan gagasan tentang karakteristik status. Menurut Ridgeway dalam (Wharton, 2005) karakteristik status adalah…
“an attribute on which individuals vary that is associated in a society with widely held beliefs according greater esteem and worthiness to some states of the attribute (e.g., being male) than others (being female)”.
Sederhananya, karakteristik status adalah atribut individu yang tinggi-rendah penilaiannya terasosiasikan pada keyakinan masyarakat luas. Begitu suatu kategori karakteristik seperti seks memiliki nilai status, ia mulai membentuk harapan dan membentuk dasar untuk stereotip. 

Gender bukan satu-satunya cara di mana orang secara berbeda menetapkan kekuasaan pada status. Misalnya, usia juga merupakan karakteristik status; orang dewasa pada umumnya dianggap lebih memiliki status dan kekuasaan daripada anak-anak. Gender dengan demikian tidak unik atau berbeda sebagai karakteristik status. 

Nilai pada karakteristik status dapat berbeda dan bahkan dapat tidak aktif pada kondisi tertentu. Menurut (Wharton, 2005) Gender menjadi aktif ketika ada dua kondisi:
1) Ketika yang berinteraksi adalah anggota dari kategori jenis kelamin yang berbeda.
2) Ketika gender itu relevan dengan tugas atau tujuan interaksi.
Teori karakteristik status dikembangkan untuk menjelaskan interaksi berorientasi tujuan, seperti terjadi di tempat kerja, ruang kelas, atau dalam kelompok yang berorientasi pada tujuan kolektif. Dalam kondisi seperti ini, ekspektasi yang penting adalah berkaitan dengan kinerja.

Orang-orang membentuk ekspektasi mereka tentang kompetensi orang lain dengan menimbang setiap karakteristik status dalam kaitannya dengan tugas yang dihadapi. Ekspektasi kinerja ini cenderung merugikan mereka yang memiliki nilai status lebih rendah (dalam hal gender, perempuan). Wanita dianggap kurang kompeten daripada pria dan kontribusi mereka dianggap kurang bernilai. (Wharton, 2005)

Teori Homofili

Menurut teori ini, kesamaan cenderung menjadi sumber daya tarik interpersonal yang jauh lebih kuat daripada perbedaan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa ikatan sosial dari semua jenis cenderung diorganisir sesuai dengan prinsip homofili: Hubungan sosial cenderung terjadi antara orang-orang yang serupa pada dimensi sosiodemografi yang menonjol (Popielarz 1999).

Homophily, kemudian, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan preferensi orang untuk kesamaan, preferensi yang diekspresikan dalam hubungan interpersonal mereka. Karakteristik yang diturunkan, seperti jenis kelamin, ras, dan usia, adalah jenis proksi yang paling sering digunakan untuk menyimpulkan kesamaan (atau ketidaksamaan) dengan yang lain.

Menurut Kanter, proporsi relatif dari "tipe sosial" yang berbeda dalam suatu kelompok membentuk hubungan sosial antar anggota. Kanter (1977: 208) secara khusus tertarik pada apa yang disebutnya, "kelompok miring." Dalam grup ini, satu jenis sosial dominan secara jumlah dan yang lainnya adalah minoritas dengan jumlah yang sangat kecil (mis., 15 persen atau kurang). Anggota dengan jumlah minoritas dalam grup miring disebut token.

Kanter berpendapat bahwa hubungan antara token dan dominan dalam kelompok miring dibentuk oleh tiga kecenderungan persepsi: visibilitas, kontras, dan asimilasi. Visibilitas token menghasilkan persepsi keanggotaan kategori sosial, bukan karakteristik individu token. Misalnya, jika token adalah perempuan, maka ia dipersepsikan membawa kategori sosial perempuan yang cenderung bias gender.

Kontras menghasilkan persepsi bahwa token adalah kelompok marginal yang tidak terintegrasi pada kelompok dominan. Kehadiran token dianggap mengancam dominasi dominan. Perbedaan yang dihadirkan Token dapat disalahpahami oleh kelompok dominan, atau bahkan ditentang oleh kelompok dominan. Pada tahap yang paling ekstrim, ketidaknyamanan dominan dapat diekspresikan sebagai permusuhan terhadap token dan menghasilkan upaya untuk mengisolasi atau mengeluarkan token dari kelompok tersebut.

Asimilasi menghasilkan persepsi bahwa token merupakan representasi dari kategori sosial tertentu. Karakteristik individu token diartikulasikan melalui kategori sosial yang melekat pada token. Dengan begitu, token, dalam mengekspresikan karakteristik individunya menjadi terbatas oleh pengartikulasian kelompok dominan.

Kesimpulan

Tiga perspektif interaksionis sepakat bahwa kategorisasi sosial - khususnya kategorisasi jenis kelamin - adalah proses sosial yang penting. Ketiga pendekatan ini menekankan cara gender muncul dan direproduksi dalam interaksi sosial. Sementara individualis melihat gender sebagai properti orang yang relatif stabil, pendekatan interaksionis menekankan cara konteks sosial dan interaksi sosial memengaruhi ekspresi dan signifikansi gender 


Daftar Pustaka

Wharton, A. S. (2005). The Sociology of Gender: An Introduction to Theory and Research. Blackwell Publishing.

Ada beberapa cara dalam memahami gender, salah satu caranya ialah dengan memahami gender sebagai atribut yang melekat pada diri individu. ...

Ada beberapa cara dalam memahami gender, salah satu caranya ialah dengan memahami gender sebagai atribut yang melekat pada diri individu. Pemahaman seperti ini melahirkan suatu pendekatan, yaitu individualis.
Gender Individualis
Photo by Tim Mossholder on Unsplash
Pendekatan ini meyakini bahwa gender dibentuk oleh kontribusi biologis, genetik, dan psikologis manusia. Keyakinan ini berimplikasi melahirkan pemahaman bahwa biologis (misalnya: jenis kelamin) memberikan batasan terhadap terbentuknya gender. Terutama, peran-peran yang dihasilkan oleh jenis kelamin dalam hal reproduksi. 

Terdapat dua perspektif utama yang lahir dari pendekatan ini. Pertama, perspektif yang memandang gender sebagai seperangkat sifat individu, kemampuan, atau kecenderungan perilaku. Perspektif ini berupaya untuk memahami bagaimana wanita dan pria sebagai gender berbeda secara biologis. Kedua, perspektif yang mengeksplorasi bagaimana wanita dan pria berubah menjadi gender. Perspektif ini berupaya untuk memahami proses biososial (interaksi antara dunia biologis dan dunia sosial) yang menghasilkan gender pada jenis kelamin pria dan perempuan. 

Terlepas dari perbedaan dua perspektif tersebut, inti dari pendekatan ini ialah bagaimana perbedaan jenis kelamin membentuk gender. Karena fokus utamanya adalah perbedaan jenis kelamin menghasilkan sifat dan disposisi perilaku laki-laki dan perempuan, maka, tradisi dalam pendekatan ini lebih menekankan penggunaan istilah perbedaan jenis kelamin dari pada perbedaan gender. Walaupun begitu, penulis tetap menggunakan istilah gender untuk setiap bentuk penugasan sosial yang diberikan kepada kedua jenis kelamin tersebut.

Kedua perspektif dalam pendekatan tersebut melahirkan beberapa teori. Perspektif pertama, melahirkan teori kontribusi biologis dan genetik terhadap perbedaan jenis kelamin. Sedangkan perspektif kedua melahirkan teori sosialisasi gender. Pada teori sosialisasi gender, terdapat tiga jenis penekanan yang berbeda pada proses sosialisasinya, yaitu (1) pembelajaran sosial, (2) pendekatan kognitif, (3) pendekatan psikoanalitik.

Kontribusi Biologis dan Genetik

Teori ini memahami bagaimana kontribusi biologi, genetika dan interaksinya dengan budaya dapat memengaruhi kepribadian dan perilaku manusia. Bagi teori ini, perbedaan seks dapat berkembang dan berfokus pada dua bidang umum: epigenetik dan evolusi. Penelitian epigenetik tentang perbedaan jenis kelamin didasarkan pada gagasan bahwa "baik gen dan lingkungan, bertindak bersama setiap saat, menentukan struktur dan fungsi sel-sel otak dan dengan demikian perilaku organisme" (Hoyenga dan Hoyenga 1993: 20).

Mereka yang menggunakan perspektif epigenetik dan evolusi menciptakan hubungan langsung antara seks biologis, kepribadian, dan perilaku. Kelompok ini melihat hubungan yang agak longgar antara seks dan gender.

Sosialisasi Gender

Teori ini memahami bahwa jenis kelamin merupakan bahan mentah dan harus diberikan peran (gender) melalui sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada proses individu dalam menginternalisasi sifat dan karakteristik gender dan memperoleh jati diri. Melalui sosialisasi, individu belajar mengenai apa yang diharapkan oleh masyarakat kepada mereka yang sebagai pria atau perempuan.

Ada tiga teori utama teori sosialisasi gender. (1) Pembelajaran sosial, teori ini meyakini bahwa peran yang melekat pada gender dipelajari melalui bantuan dari luar individu (agen sosial). Anak-anak diprogram melalui pemberian respon positif/ negatif, hadiah/hukuman, dan juga melalui pengamatan terhadap pemodelan gender (perempuan/ pria). Teori ini memposisikan individu (anak-anak) pasif, dan peran agen sosial sangat ditonjolkan.

(2) Pendekatan kognitif, teori ini meyakini bahwa individu memperoleh makna gender dari dunia luar dan kemudian menggunakan makna itu melalui pemahamannya sebagai sarana membangun indentitas dirinya. Dalam teori ini, dunia sosial memfasilitasi pemaknaan mengenai gender, dan kemudian identitas gender tersebut digunakan oleh individu untuk membimbing persepsi dan tindakannya. Teori ini memposisikan individu (anak-anak) aktif menggunakan sarana-sarana (terutama identitas gender) yang disediakan dunia sosial mereka — untuk memahami diri mereka sendiri dan memahami dunia sekitar mereka.

(3) Pendekatan psikoanalitik, para ahli teori identifikasi menyatakan bahwa setidaknya beberapa aspek gender dihasilkan dari proses psikologis yang tidak disadari (Chodorow 1978; Johnson 1988; Williams 1989). Menurut Chodorow, identitas gender terbentuk selama masa kanak-kanak — anak-anak mengembangkan ikatan emosional dengan orang tua atau orang dewasa yang berjenis kelamin sama. Teori ini berupaya menjelaskan bagaimana perempuan dan pria mengembangkan perasaan pribadi mereka tentang apa artinya menjadi perempuan atau pria.

Kesimpulan

Semua perspektif dalam pendekatan ini mengeksplorasi seberapa banyak karakteristik pribadi orang - sifat, perilaku, dan identitas - dibentuk oleh kategori jenis kelamin kita. Jenis kelamin adalah sumber gender dan berperan menetapkan batasan pada sifat, perilaku, dan identitas individu. Karena gender adalah bagian dari individu, maka diasumsikan relatif stabil. Dengan demikian, pendekatan ini meyakini bahwa Individu tidak  dapat memakai atau melepas gender mereka dalam situasi sosial apapun.


Daftar Pustaka

Wharton, A. S. (2005). The Sociology of Gender: An Introduction to Theory and Research. Blackwell Publishing.