Secara sederhana, berpikir dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terjadi di dalam otak yang dimaksudkan (serangkaian aktivita...

Secara sederhana, berpikir dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terjadi di dalam otak yang dimaksudkan (serangkaian aktivitas tersebut) untuk memecahkan suatu masalah. Lalu, apa yang terjadi jika tidak tersisa lagi permasalahan yang harus dipecahkan? Apakah manusia akan berhenti berpikir?
Kenapa Kita Berpikir
Gambar oleh Comfreak dari Pixabay 
Pada dasarnya, berpikir adalah instrumen/alat pemecah masalah. Sebagai alat, tentunya, aktivitas berpikir serta pemikiran itu sendiri tidak inheren dengan kesadaran jiwa manusia—terdapat jarak yang memisahkan keduanya. Meskipun demikian, berpikir adalah tangan kanan terloyal yang dimiliki oleh kesadaran jiwa manusia. Dengan begitu, berpikir adalah instrumen yang paling mungkin dan pasti merepresentasikan—sedikit-banyak—eksistensi manusia. Tidak mengherankan jika diktum "aku berpikir maka aku ada" begitu populer hingga dewasa ini, 

Kenapa berpikir begitu istimewa daripada merasa? Dalam pandangan penulis, terdapat perbedaan mendasar antara berpikir dan merasa. Berpikir adalah aktivitas kesadaran jiwa yang melahirkan pemikiran, sedangkan merasa bukanlah aktivitas sadar, melainkan, aktivitas yang distimulasikan oleh alam bawah sadar—kemudian mengaktifkan reaksi kimia yang berhubungan dengan kemunculan emosi/perasaan manusia. Perbedaan ini menunjukan bahwa berpikir adalah aktivitas yang istimewa bagi eksistensi manusia, sedangkan merasa, tidak.

Kenapa Kita Berpikir

Tujuan manusia berpikir adalah agar manusia itu berhenti berpikir. Misalnya, apabila kita memikirkan masalah x dan dapat menyelesaikannya, maka kita akan berhenti memikirkan masalah x. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu masyarakat, fungsi mekanisme penyelesaian masalah oleh aktivitas berpikir digantikan dengan aktivitas sistem. Misalnya, institusi pendidikan seperti sekolah, menyelesaikan permasalahan orangtua terkait mendidik anak. Lainnya, institusi ekonomi seperti pasar, menyelesaikan permasalahan masyarakat terkait konsumsi. 

Lebih daripada itu, terdapat struktur sosial yang dianggap mapan dalam memfasilitasi mekanisme penyelesaian permasalahan manusia secara umum. Segala sesuatu—nilai, norma, aturan, kebiasaan—yang diterima begitu saja tanpa dipermasalahkan oleh pikiran adalah bukti telah tergantikannya aktivitas berpikir manusia oleh sistem yang ada. Dalam menjalani rutinitas, hampir semuanya, manusia mengandalkan sistem yang ada tanpa berpikir dan mempertanyakannya kembali. Sehingga, hampir semua manusia bertindak secara otomatis menggunakan mode auto-pilot.

Kapan sistem dipertanyakan dengan aktivitas berpikir? Berpikir dan mempertanyakan sistem muncul apabila sistem yang dianggap mapan, dalam kenyataannya, tidak dapat menyelesaikan persoalan manusia—sebagian atau keseluruhan. Misalnya, kenapa kita makan dengan tangan kanan? Sebagian orang yang tidak bisa menggunakan tangan kanan akan berpikir dan mempertanyakan sistem norma yang sudah mapan tersebut. Kenapa kita bersekolah? Sebagian orang yang kesulitan untuk bersekolah atau mendapatkan hasil yang tidak memuaskan dari sekolah, tentunya, akan berpikir dan mempertanyakan kembali alasan bersekolah tersebut.

Pada kenyataannya, sistem buatan manusia tidak pernah sanggup menyelesaikan semua permasalahan manusia—baik terhadap sekelompok manusia atau semua manusia. Alasan pertama yang sangat mendasar adalah kelemahan manusia dalam menerjemahkan permasalahan secara jernih dan akurat. Sehingga, solusi yang dihasilkan oleh kegiatan berpikir manusia cenderung rapuh. Kedua, manusia adalah makhluk eksistensial yang senantiasa bertujuan untuk kemapanan eksistensinya. Sehingga, solusi yang dihasilkan selalu ditujukan untuk dirinya yang utama. Ketiga, manusia adalah makhluk relasional yang kebermaknaan dirinya senantiasa dipertaruhkan oleh kekuatan relasinya. Sehingga, solusi yang dihasilkan sangat sulit bebas nilai.

Dari kenyataan itu semua, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sistem yang dibuat oleh manusia mustahil dapat bekerja secara adil. Oleh karena ketidakadilan sistem itu, manusia senantiasa berpikir untuk memperbaikinya, memperbaikinya, dan terus memperbaikinya. Sehingga, apakah manusia akan berhenti berpikir? Jawabannya, manusia tidak dapat berhenti berpikir.

Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasari — semua a...

Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasarisemua atau sebagian—perasaannya, pemikirannya, dan juga tindakannya agar memiliki makna. Secara garis besar, terdapat dua gairah eksistensial yang setidaknya penulis dapat bedakan berdasarkan pengamatan dan pengalaman personal, yaitu gairah relasional dan gairah kebebasan.
Gairah Makhluk Eksistensial
Gambar oleh Tom und Nicki Löschner dari Pixabay 

Gairah Relasional: Ciri Makhluk Sosial

Sebagaimana namanya, terciptanya gairah ini didasari oleh relasi-relasi yang dimiliki oleh suatu eksistensi. Relasi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hubungan sesama manusia, melainkan juga hubungan terhadap hewan, benda, atau bahkan pada setiap aktivitas manusia, baik yang digemari secara personal, seperti hobi, atau yang dituntut secara sosial, seperti bersekolah. Meskipun demikian, unsur-unsur dari pembentukan semua relasi tersebut tetap bermula pada hubungan antar sesama manusia.

Relasi terhadap sesama manusia adalah sumber gairah pertama eksistensial. Sejak lahir, manusia telah diberikan nama oleh orangtuanya. Nama adalah pemaknaan yang pertama kali dilekatkan oleh orangtua terhadap manusia, dengan harapan, kelak manusia tersebut memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemaknaan pada nama yang dilekatkannya. Melalui cara itu, harapan-harapan ideal—yang bersumber dari kecemasan dan semangat eksistensial orangtua—ditransmisikan melalui nama. Tindakan demikian semata-mata bertujuan agar manusia mewarisi kecemasan dan semangat eksistensial orangtuanya tersebut.

Relasi kuat terhadap orangtua membuat makna hidup manusia selalu terikat dengan eksistensi mereka. Misalnya, hampir semua manusia memaknai tujuan hidupnya untuk membahagiakan orangtua mereka. Apabila orangtua manusia tiada, manusia merasa telah kehilangan sebagian besar makna hidupnya, terutama dialami bagi mereka yang belum memenuhi tuntutan relasional untuk membahagiakan orangtua. Eksistensi manusia dapat menjadi bergairah namun juga dapat menjadi lesu, hanya karena relasinya dengan orangtua. Menurut penulis, kasus seperti ini adalah contoh terbaik yang menjelaskan gairah relasional eksistensialis manusia.

Sebagaimana uraian sebelumnya, eksistensi yang diaktifkan oleh gairah relasional tersebut memiliki kelemahan, yaitu terlalu bergantung pada hubungan yang dimiliki manusia terhadap sesuatu di luar dirinya. Ketergantungan ini menjadi malapetaka apabila manusia gagal dalam memenuhi harapan-harapan dari hubungan relasionalnya.

Misalnya, apabila kamu tidak dapat memenuhi harapan-harapan dari relasi sosial masyarakat secara umum—seperti tuntutan untuk berpendidikan minimal SMA—dan jika kamu hanya berpendidikan sampai SD, maka makna eksistensimu di masyarakat menjadi berkurang, bahkan pada kasus ekstrem, kamu dianggap tidak ada. Orang-orang disekitarmu pun tidak memaknaimu sebagai sesuatu yang penting. Kenapa demikian? Pertama, tujuan dasar eksistensi adalah untuk tetap ada (hidup). Kedua, karena tujuan tersebut, segala sesuatu yang berkontribusi terhadap pemenuhan tujuan dasar eksistensi menjadi bermakna. Apabila kita amati pada kasus pendidikan, bermodalkan hanya ijazah SD sulit untuk berkontribusi secara mapan terhadap tujuan eksistensi tersebut. Sehingga, secara umum, mereka yang hanya berpendidikan SD menjadi kurang bermakna dibandingkan dengan yang telah berpendidikan SMA.

Pendek kata, bergairah atau tidaknya eksistensi manusia lebih disebabkan oleh pemaknaan yang terdapat dalam hubungan relasionalnya. Manusia yang bergantung pada gairah relasional hanya merasa hidup apabila mendapat pengakuan dan makna dari orang lain (hubungan relasionalnya). Namun, bagaimana dengan mereka yang eksistensinya tidak diakui makna keberadaannya? Mereka yang kalah dan tidak mampu memenuhi tuntutan dan harapan relasionalnya? Jawabannya ada diakhir tulisan ini.

Gairah Kebebasan: Ciri Makhluk Individual

Apabila gairah relasional menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, maka gairah kebebasan sebaliknya, yaitu menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk individual. Dalam hal ini, manusia merasa terbebani dengan relasi-relasi yang dimilikinya, terutama bagi manusia yang sangat tertekan oleh tuntutan-tuntutan relasionalnya tersebut. Bagi manusia yang sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya, sangat mungkin, tidak akan tertarik untuk membebaskan diri dari ikatan relasionalnya. Sebaliknya, manusia yang tidak sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya sangat mungkin untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan—tuntutan dan pemaknaan—relasional tersebut.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semua manusia yang eksistensinya didominasi oleh gairah kebebasan adalah mereka yang tertekan oleh ikatan relasionalnya. Eksistensi yang digairahkan oleh kebebasan bisa saja bersumber dari hasrat keinginan manusia itu sendiri. Atau, bisa saja bersumber dari kemampuan manusia dalam merefleksikan pengalaman hidup mereka. Walaupun sulit memastikan apa dan dari mana sumbernya, gairah kebebasan memiliki kesamaan ciri mendasar, yaitu kesadaran akan adanya jarak antara eksistensinya dengan makna.

Kesadaran akan adanya jarak antara dirinya dengan makna memiliki konsekuensi logis bahwa manusia tidak lagi merasa terikat dengan makna relasionalnya. Dengan jarak, manusia mampu menjadikan makna sebagai instrumen yang memfasilitasi kepentingan individualnya. Manusia memegang makna sebagaimana alat, dapat digenggam juga dilepas apabila dibutuhkan atau tidak lagi dibutuhkan. Namun, konsekuensi logis daripada itu semua adalah bangkitnya kesadaran manusia bahwa kebermaknaan eksistensinya semu.

Berbeda dengan manusia yang tidak diakui makna eksistensinya, manusia dengan gairah kebebasan bisa saja sangat diakui makna eksistensinya dan bertingkah laku sama seperti manusia dengan gairah relasional. Namun, manusia dengan gairah kebebasan tetap dapat dibedakan. Manusia dengan tipe gairah ini memiliki rute hidupnya sendiri—yang tidak dapat diterjemahkan dengan pemahaman apapun. Contoh terbaik dari kasus ini adalah manusia yang tidak terbawa suasana lingkungannya. Manusia ini memiliki corak tersendiri yang membedakannya dari kerumunan.

Pendek kata, eksistensi yg tetap bergairah atau semakin bergairah tanpa terikat oleh pemaknaan orang lain, hidup dalam suatu kebebasan sekaligus kehampaan. Di satu sisi, eksistensinya dapat bebas dari ikatan makna relasional. Namun di sisi lain, eksisistensinya hampa.

Matinya Gairah Eksistensial

Eksistensi manusia, jika kecemasannya tidak lagi diakui maknanya, dapat berakhir pada situasi ketidakbermaknaan dan kekosongan eksistensial. Kecemasan adalah bahasa eksistensi jiwa. Jika bahasa itu diabaikan keberadaan maknanya, maka tidak ada lagi yang bisa diucapkan oleh jiwa selain kekosongan. Pada situasi ini, gairah eksistensial sangat mungkin menemui kematiannya, yaitu ketidakbermaknaan eksistensial. Manusia yang mengalami hal ini sangat mungkin menjadi frustrasi dan depresi.

Oleh karena itu, penting untuk kita belajar memerhatikan dan menghargai kecemasan orang lain—tanpa melihat hubungan sosialnya, baik itu latar kelas, status, pendidikan, ideologi, dsb. Barangkali perhatianmu adalah penyelamat jiwanya.

Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubun...

Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubungan sosial, seperti orangtua, pasangan, kerabat ataupun sahabat. Apakah untuk melayani diri sendiri? Yaitu raga, seperti kepuasan biologis dan psikologis. Apakah untuk melayani jiwa kita sendiri? Seperti menemukan ketenangan dan kelapangan jiwa. Jika sudah menemukan jawabannya, melalui ekspresi tersebut, apa yang sebenarnya harus kita cari dari momentum kehidupan yang singkat ini?
Gambar oleh Elias Sch. dari Pixabay 
Umumnya manusia akan menjawab "ekspresi kami melayani ketiganya, yaitu sosial, raga, dan jiwa". Namun, benarkah mereka memahami arti dari ketiganya? Dari yang kuketahui, umumnya ekspresi manusia hanya merepresentasikan kebutuhan sosial dan raganya saja. Alih-alih kebutuhan jiwa itu yang utama, kehidupan manusia justru seringkali menghadapi ketegangan hubungan, kekhawatiran masa depan, dan ketakutan akan kematian. Lalu, dimana ekspresi yang melayani kebutuhan jiwa itu?

Dewasa ini, umumnya jiwa manusia telah layu, yang bermekaran hanyalah kehidupan raga dan sosialnya saja. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara sederhana, baik melalui refleksi ataupun pengamatan. Melalui refleksi, kita cukup menolehkan wajah pada cermin lalu bertanya kepada diri sendiri, "apakah kamu siap bercerai dengan ragamu?". Sedangkan melalui pengamatan, kita cukup menolehkan wajah pada kehidupan masyarakat yang semakin modern tapi justru semakin jauh dari tujuan moral bermasyarakat, yaitu menghilangkan penderitaan yang masih juga dialami oleh sebagian manusia.

Kebanyakan ekspresi manusia di era modern saat ini hanyalah representasi kebutuhan raga dan sosialnya saja. Misalnya saja percakapan sesama manusia, yang seringkali hanya gambaran dari adanya kesamaan kepentingan dan kelas sosial. Alih-alih menghasilkan kelapangan jiwa, percakapan sesama manusia justru menghasilkan ketegangan dan kecemasan jiwa melalui persaingan kepentingan.

Pendek kata, dapat menemukan ekspresi murni dari jiwa manusia di era modern saat ini adalah suatu hal yang langka dan istimewa. Lalu, jika kamu sudah benar-benar menemukannya, apa yang seharusnya dicari dari momentum kehidupan yang singkat ini?

Di kesunyian malam, badai rindu telah menghinggapi diri ini. Perasaan yang entah dari mana datangnya, apabila ditelusuri, tidak kunjung di...

Di kesunyian malam, badai rindu telah menghinggapi diri ini. Perasaan yang entah dari mana datangnya, apabila ditelusuri, tidak kunjung ditemukan akarnnya dari kenyataan.

Gambar oleh Andrea Stöckel-Kowall dari Pixabay 
Mungkin saja itu adalah pengalaman jiwa. Jika kita berasumsi bahwa jiwa bukanlah materi, maka sudah sepatutnya tidak terpenjara dalam dimensi ruang & waktu. Mungkin, pengalaman jiwa sudah terbentuk lama bahkan sebelum dimasukan ke dalam raga. Sebagian adalah pengalaman masa lalu yang diwariskan oleh nenek moyang. Sebagian lagi adalah pengalaman yang telah dan sedang kita alami selama hidup. Dan mungkin sebagian lainnya adalah pengalaman yang bersumber dari masa depan kita.

Apakah kalian pernah sepertiku? Memimpikan seseorang yang tidak dikenal dan ketika bangun membawa perasaan yang istimewa. Perasaan yang tidak pernah diperoleh melalui pengalaman empiris selama hidup. Akan tetapi, perasaan itu ada dan nyata! Barangkali perasaan itu adalah pengalaman masa depanku dengan orang lain. Seseorang yang mungkin suatu saat hubungannya denganku menghasilkan perasaan yang istimewa ini.

Perasaan istimewa yang mungkin berasal dari masa depan itu sangat membekas di jiwa. Karena saking membekasnya, mungkin, perasaan itu secara tidak sengaja ikut diterjemahkan oleh alam bawah sadarku. Alam bawah sadarku mengira itu adalah kenyataan empiris yang pernahku alami. Padahal, aku tidak pernah mengalaminya di kehidupan nyata.

Walau waktu telah berlalu 5 tahun lamanya, perasaan istimewa itu masih membekas di jiwaku. Semoga saja perasaan itu benar adanya, bukan sebuah delusi, ataupun halusinasi semata. Sejak awal tulisan ini dibuat, diriku hanya berpijak di atas pengandaian, bahwa pengalaman jiwa mungkin saja melampaui pengalaman empiris. 

Apa yang membuatku meyakini pengandaian itu adalah fenomena fobia yang dialami oleh hampir semua manusia dan beberapa oleh sebagian kecil manusia. Selain itu, apakah kalian pernah mengalami deja vu? Saat mengalami peristiwa baru, seolah-olah peristiwa itu pernah dilami sebelumnya, namun pada kenyataanya, kita baru mengalaminya. Rasa penasaranku walaupun masih dalam proses pencarian, untuk sementara membuatku meyakini bahwa pengalaman jiwa mungkin saja melampaui pengalaman empiris.

Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan ole...

Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan oleh kedua bentuk dikotomis peristiwa tersebut, yang penulis wakilkan dengan istilah komedi dan tragedi.
Gambar pohon komedi dan tragedi
Gambar oleh Franck Barske dari Pixabay 
Komedi dan tragedi memiliki hubungan yang sangat dekat, yaitu sebagai saudara kandung. Ibunya adalah pengalaman manusia yang mengoperasikan kehidupan, sedangkan bapaknya adalah mekanisme alam yang mengoperasikan realitas. Kalau ibu melakukan kesalahan kepada bapak maka lahirlah komedi. Kalau bapak melakukan kesalahan kepada ibu maka lahirlah tragedi. Kehidupan rumah tangga yang dipenuhi dengan pertengkaran antara subjektivitas sang ibu dan objektivitas sang bapak.

Sebagai permisalan ekstrem tragedi, maka kematian adalah yang paling mewakili bentuk mekanisme alam yang mustahil ditolak. Kematian menjadi tragedi karena sang bapak dengan objektivitasnya merenggut subjektivitas sang ibu secara paksa. Kehidupan yang diopersaikan oleh pengalaman manusia dihentikan oleh realitas yang dioperasikan mekanisme alam.

Namun, tidak semua kematian dijiwai sebagai tragedi. Tidak semua ibu posesif terhadap kehidupan manusia. Ada pula ibu yang memahami bahwa kedudukan subjektivitasnya dideterminasi oleh objektivitas sang bapak. Pemahamannya tersebut membawa pengalaman manusia pada level kesadaran tertinggi sebagai makhluk fana yang sedang sekarat menuju kematian. Dengan begitu, kematian hanya diartikan sebagai dialog perpisahan antara ibu dan bapak, antara pengalaman manusia dengan realitas alam.

Sedangkan komedi, maka kebodohan adalah yang paling mewakili bentuk pengalaman manusia yang secara potensial dapat ditolak. Kebodohan menjadi komedi karena sang ibu dengan subjektivitasnya dapat salah dalam memahami objektivitas sang bapak. Kesalahpahaman yang dihasilkan oleh pengalaman manusia senantiasa dimunculkan oleh benturan antara subjektivitas dengan objektivitas.

Namun, tidak seperti tragedi kematian. Komedi kebodohan tidak dialami oleh semua manusia. Faktanya, kesalahpahaman hanya terjadi di dalam pikiran individu. Oleh karena itu, kebodohan bersifat individual. Karena bersifat individual, komedi kebodohan hanya dialami oleh individu-individu yang melakukan kesalahpahaman terhadap kekakuan realitas alam. Dengan begitu, kebodohan menjadi komedi ketika individu-individu lain menyaksikan adegan kesalahpahaman manusia terhadap kekakuan realitas.

Pendek kata, kematian menyalahi keinginan manusia untuk tetap hidup, sehingga disebut sebagai tragedi. Sedangkan kebodohan menyalahi kekakuan mekanisme alam, sehingga disebut sebagai komedi. Tragedi adalah realitas yang tidak dapat dihindarkan, sedangkan komedi adalah pengalaman yang dapat dihindarkan. Oleh karena itu, objek dari tragedi adalah manusia secara keseluruhan, sedangkan objek dari komedi adalah manusia secara individual.

Lalu, bagaimana dengan cinta? Hemat penulis, cinta adalah titik temu keduanya. Perkawinan antara komedi dan tragedi. Sebagai komedi, cinta menyalahi kesendirian eksistensi manusia. Sebagai tragedi, cinta menyalahi kebersamaan esensial individu. Tidak heran, jika kebahagiaan cinta selalu dibayang-bayangi penderitaan.

Apakah aku harus memenuhi ekspektasimu? Atau aku tetap harus menjadi diriku? Apakah orisinalitas diri lebih utama ketimbang diriku yang ha...

Apakah aku harus memenuhi ekspektasimu? Atau aku tetap harus menjadi diriku? Apakah orisinalitas diri lebih utama ketimbang diriku yang harus disesuaikan dengan ekspektasimu? Menjadi diri sendiri tapi kehilangan mu atau menjadi orang lain tapi mendapatkanmu?
Paradoks Cinta: Dualisme Ekspektasi
Gambar oleh S. Hermann & F. Richter dari Pixabay 

Dualisme Ekspektasi

Menurutku, upaya untuk memenuhi ekspektasimu sama saja upaya untuk mencemari kemurnian diriku sendiri. Memang, terdapat kepuasan apabila kita dapat memenuhi ekspektasi pasangan kita. Namun, jika kita telah terbiasa dengan itu, bukankah sama saja kita telah menghilangkan diri kita yang sebenarnya? Begitu pula yang terjadi pada pasangan kita. Diri kita dan diri pasangan kita justru saling diterjemahkan sesuai ego pasangannya, bukan oleh keautentikan egonya masing-masing sebagai makhluk merdeka.

Persoalannya, apakah hubungan cinta yang seperti itu akan bertahan lama? Sebarapa lama diri kita mampu memenuhi ekspektasi pasangan kita? Bukankah kita sering mendengar desas-desus mengenai karakter asli pasangan yang baru terungkap ketika pernikahan telah berjalan? Lalu, bagaimana seharusnya cinta diterjemahkan dan dipraktikan?

Lagi-lagi kita terjebak dalam suatu paradoks. Cinta tidak dapat menerjemahkan dirinya sendiri (untuk menamai dirinya saja tidak bisa), dengan begitu cinta membutuhkan subjek penerjemah. Subjek penerjemah tersebut tidak lain adalah diri kita. Sebagai manusia, kita memiliki ego yang mewujud pada ekspektasi pasangan yang ideal. Ekspektasi itulah yang mungkin saja menjadi barang buruan ego kita, bukan cinta.

Subjek penerjemah memiliki kemungkinan untuk salah ketika membedakan mana cinta dan mana ego. Dan seringkali, hal ini terjadi pada kedua pasangan sekaligus. Alhasil, alih-alih mereka saling mencintai dengan tulus, mereka justru saling tertekan karena tuntutan untuk memenuhi ego ekspektasi pasangannya masing-masing.

Mengurai Paradoks

Ada dua kemungkinan apabila kita mengalami perasaan cinta terhadap seseorang. Pertama, kita mencintai ego kita sendiri dengan 'mencintai' orang lain sebagai alat pemuas ego. Kedua, kita mencintai orang lain dengan ego kita sebagai alat pemuas cinta. Sederhananya, yang pertama adalah cinta sebagai alat untuk memuaskan ego, sedangkan yang kedua adalah ego sebagai alat untuk memuaskan cinta.

Pada kemungkinan pertama, seseorang mencintai orang lain karena orang itu sesuai ekspektasinya. Orang tersebut memiliki keinginan untuk mendapatkan apa yang diekspektasikannya tersebut. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan 'cinta' sebagai alat pembenaran egonya. Padahal, dia hanya mencintai egonya sendiriyang secara kebetulan egonya itu dipuaskan oleh seseorang. Setelah egonya didapat, barulah benih-benih cinta dipaksakan untuk tumbuh dan dipertahankan. Cinta itupun tumbuh atas dasar ego.

Pada kemungkinan pertama ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa dikendalikan oleh ego masing-masing pasangannya. 'Cinta' justru digunakan sebagai alat kekuasaan yang dioperasikan oleh masing-masing ego pasangan tersebut. Misalnya, "kalau kamu tidak melakukan hal ini, artinya kamu tidak mencintai ku", "kalau kamu mencintai aku maka kamu harus nurutin kemauanku". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling menggunakan 'cinta' sebagai alat pemuas egonya masing-masing. 'Cinta' digunakan untuk mengendalikan tubuh, pikiran, bahkan perasaan pasangannya. Pendek kata, inilah cinta yang memenjarakan orisinalitas manusia.

Pada kemungkinan kedua, seseorang mencintai orang lain bukan karena orang itu sesuai ekspektasinya. Terdapat daya tarik lain (cinta itu sendiri) yang keberadaannya justru mendekonstruksi ego ekspektasi manusia tentang pasangan ideal. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan egonya sebagai alat pembenaran cintanya. Setelah cintanya didapat, barulah benih-benih ego ditumbuhkan kembali. Ego yang sebelumnya dikorbankan untuk mendapatkan cinta akan kembali tumbuh, namun tumbuh atas dasar cinta.

Pada kemungkinan kedua ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa mengalir bebas mengikuti derasnya arus cinta keduanya. Cinta berperan sebagai pelaku yang mengendalikan ego kedua pasangan tersebut. Misalnya, "kalau hal ini membuat mu semakin mencintai ku, maka akan kulakukan", "kalau nurutin kemauanku membuat cintamu redup maka jangan turutin yaa". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling mengorbankan egonya masing-masing atas dasar hubungan cinta, bahkan karena hal itu pula cinta mereka terawat. Cinta telah bersemayam sebagai tujuan bukan alat. Pendek kata, inilah cinta yang membebaskan orisinalitas manusia.

Pada kemungkinan pertama, yaitu cinta sebagai alat pemuas ego, ekspektasi terhadap cinta memenuhi kondisi paradoks dualisme. Cinta hanya hidup di dalam angan, mimpi, dan harapan-harapan dari masing-masing ego pasangan tersebut. Cinta tidak benar-benar hidup sebagai suatu hubungan ataupun tujuan, melainkan hanyalah khayalan belaka. Pada kemungkinan kedua, yaitu ego sebagai alat pemuas cinta, ekspektasi terhadap cinta menjadi cair dan tidak menemui bentuk yang baku. Cinta mengendalikan ego manusia untuk memenuhi ekspektasi dari cinta itu sendiri, yaitu pengorbanan masing-masing ego pasangan. Dengan begitu, ekspektasi terhadap cinta bukan bersumber dari ego pasangan, melainkan dari tujuan hubungan cinta itu sendiri.

Kesimpulan

Kedua kemungkinan tersebut pada kenyataannya sulit ditemukan secara sempurna di lapangan. Faktanya, cinta bukanlah satu-satunya tujuan hidup manusia, terdapat tujuan-tujuan lainnya yang bahkan dapat lebih penting dari cinta. Hubungan manusia juga tidak sebatas dengan satu orang yang kita cintai, melainkan juga ada hubungan lainnya yang sangat mungkin lebih krusial dari hubungan cinta itu sendiri. Karenanya, pengalaman kita dalam mencintai seseorang tidak dapat dipisahkan dari rumitnya konteks yang melatari kehadiran cinta tersebut.

Paradoks dualisme ekspektasi cinta hanya bisa diuraikan di atas tulisan, bukan di lapangan. Benturan ekspresi sosial dan ekspresi jiwa tidak dapat dipisahkan secara tegas batasannya. Sangat mungkin yang kita anggap sebagai ekspresi jiwa (cinta & kasih sayang) adalah ekspresi sosial (tuntutan berkeluarga & hidup berpasangan) atau bisa saja hanya ekspresi biologis semata (kebutuhan seksual). Lagi-lagi, persoalan cinta bukanlah persoalan yang mudah dibicarakan dan dipraktikan.

Namun, penulis meyakini bahwa cinta yang tulus hingga dapat melumpuhkan ego pasangan itu ada. Cinta yang seperti itulah yang berhasil melepaskan diri manusia dari paradoks dualisme ekspektasi. Cinta bukanlah milik ego pasangan, tapi ego itu sendirilah yang dimiliki oleh cinta. Dengan begitu, ekspektasi cinta hanyalah satu, bukan dari ego masing-masing, melainkan dari tujuan cinta itu sendiri.