Gambar oleh Comfreak dari Pixabay |
Secara sederhana, berpikir dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terjadi di dalam otak yang dimaksudkan (serangkaian aktivita...
Kenapa Kita Berpikir
Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa membutuhkan gairah—seperti motivasi atau tujuan—sebagai alasan yang mendsasari — semua a...
Gairah Makhluk Eksistensialis
Gambar oleh Tom und Nicki Löschner dari Pixabay |
Gairah Relasional: Ciri Makhluk Sosial
Sebagaimana namanya, terciptanya gairah ini didasari oleh relasi-relasi yang dimiliki oleh suatu eksistensi. Relasi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hubungan sesama manusia, melainkan juga hubungan terhadap hewan, benda, atau bahkan pada setiap aktivitas manusia, baik yang digemari secara personal, seperti hobi, atau yang dituntut secara sosial, seperti bersekolah. Meskipun demikian, unsur-unsur dari pembentukan semua relasi tersebut tetap bermula pada hubungan antar sesama manusia.Relasi terhadap sesama manusia adalah sumber gairah pertama eksistensial. Sejak lahir, manusia telah diberikan nama oleh orangtuanya. Nama adalah pemaknaan yang pertama kali dilekatkan oleh orangtua terhadap manusia, dengan harapan, kelak manusia tersebut memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemaknaan pada nama yang dilekatkannya. Melalui cara itu, harapan-harapan ideal—yang bersumber dari kecemasan dan semangat eksistensial orangtua—ditransmisikan melalui nama. Tindakan demikian semata-mata bertujuan agar manusia mewarisi kecemasan dan semangat eksistensial orangtuanya tersebut.
Relasi kuat terhadap orangtua membuat makna hidup manusia selalu terikat dengan eksistensi mereka. Misalnya, hampir semua manusia memaknai tujuan hidupnya untuk membahagiakan orangtua mereka. Apabila orangtua manusia tiada, manusia merasa telah kehilangan sebagian besar makna hidupnya, terutama dialami bagi mereka yang belum memenuhi tuntutan relasional untuk membahagiakan orangtua. Eksistensi manusia dapat menjadi bergairah namun juga dapat menjadi lesu, hanya karena relasinya dengan orangtua. Menurut penulis, kasus seperti ini adalah contoh terbaik yang menjelaskan gairah relasional eksistensialis manusia.
Sebagaimana uraian sebelumnya, eksistensi yang diaktifkan oleh gairah relasional tersebut memiliki kelemahan, yaitu terlalu bergantung pada hubungan yang dimiliki manusia terhadap sesuatu di luar dirinya. Ketergantungan ini menjadi malapetaka apabila manusia gagal dalam memenuhi harapan-harapan dari hubungan relasionalnya.
Misalnya, apabila kamu tidak dapat memenuhi harapan-harapan dari relasi sosial masyarakat secara umum—seperti tuntutan untuk berpendidikan minimal SMA—dan jika kamu hanya berpendidikan sampai SD, maka makna eksistensimu di masyarakat menjadi berkurang, bahkan pada kasus ekstrem, kamu dianggap tidak ada. Orang-orang disekitarmu pun tidak memaknaimu sebagai sesuatu yang penting. Kenapa demikian? Pertama, tujuan dasar eksistensi adalah untuk tetap ada (hidup). Kedua, karena tujuan tersebut, segala sesuatu yang berkontribusi terhadap pemenuhan tujuan dasar eksistensi menjadi bermakna. Apabila kita amati pada kasus pendidikan, bermodalkan hanya ijazah SD sulit untuk berkontribusi secara mapan terhadap tujuan eksistensi tersebut. Sehingga, secara umum, mereka yang hanya berpendidikan SD menjadi kurang bermakna dibandingkan dengan yang telah berpendidikan SMA.
Pendek kata, bergairah atau tidaknya eksistensi manusia lebih disebabkan oleh pemaknaan yang terdapat dalam hubungan relasionalnya. Manusia yang bergantung pada gairah relasional hanya merasa hidup apabila mendapat pengakuan dan makna dari orang lain (hubungan relasionalnya). Namun, bagaimana dengan mereka yang eksistensinya tidak diakui makna keberadaannya? Mereka yang kalah dan tidak mampu memenuhi tuntutan dan harapan relasionalnya? Jawabannya ada diakhir tulisan ini.
Gairah Kebebasan: Ciri Makhluk Individual
Apabila gairah relasional menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, maka gairah kebebasan sebaliknya, yaitu menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk individual. Dalam hal ini, manusia merasa terbebani dengan relasi-relasi yang dimilikinya, terutama bagi manusia yang sangat tertekan oleh tuntutan-tuntutan relasionalnya tersebut. Bagi manusia yang sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya, sangat mungkin, tidak akan tertarik untuk membebaskan diri dari ikatan relasionalnya. Sebaliknya, manusia yang tidak sanggup mengatasi tuntutan relasionalnya sangat mungkin untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan—tuntutan dan pemaknaan—relasional tersebut.Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semua manusia yang eksistensinya didominasi oleh gairah kebebasan adalah mereka yang tertekan oleh ikatan relasionalnya. Eksistensi yang digairahkan oleh kebebasan bisa saja bersumber dari hasrat keinginan manusia itu sendiri. Atau, bisa saja bersumber dari kemampuan manusia dalam merefleksikan pengalaman hidup mereka. Walaupun sulit memastikan apa dan dari mana sumbernya, gairah kebebasan memiliki kesamaan ciri mendasar, yaitu kesadaran akan adanya jarak antara eksistensinya dengan makna.
Kesadaran akan adanya jarak antara dirinya dengan makna memiliki konsekuensi logis bahwa manusia tidak lagi merasa terikat dengan makna relasionalnya. Dengan jarak, manusia mampu menjadikan makna sebagai instrumen yang memfasilitasi kepentingan individualnya. Manusia memegang makna sebagaimana alat, dapat digenggam juga dilepas apabila dibutuhkan atau tidak lagi dibutuhkan. Namun, konsekuensi logis daripada itu semua adalah bangkitnya kesadaran manusia bahwa kebermaknaan eksistensinya semu.
Berbeda dengan manusia yang tidak diakui makna eksistensinya, manusia dengan gairah kebebasan bisa saja sangat diakui makna eksistensinya dan bertingkah laku sama seperti manusia dengan gairah relasional. Namun, manusia dengan gairah kebebasan tetap dapat dibedakan. Manusia dengan tipe gairah ini memiliki rute hidupnya sendiri—yang tidak dapat diterjemahkan dengan pemahaman apapun. Contoh terbaik dari kasus ini adalah manusia yang tidak terbawa suasana lingkungannya. Manusia ini memiliki corak tersendiri yang membedakannya dari kerumunan.
Pendek kata, eksistensi yg tetap bergairah atau semakin bergairah tanpa terikat oleh pemaknaan orang lain, hidup dalam suatu kebebasan sekaligus kehampaan. Di satu sisi, eksistensinya dapat bebas dari ikatan makna relasional. Namun di sisi lain, eksisistensinya hampa.
Matinya Gairah Eksistensial
Oleh karena itu, penting untuk kita belajar memerhatikan dan menghargai kecemasan orang lain—tanpa melihat hubungan sosialnya, baik itu latar kelas, status, pendidikan, ideologi, dsb. Barangkali perhatianmu adalah penyelamat jiwanya.
Siapakah yang sebenarnya harus kita layani dari setiap ekspresi yang kita salurkan? Apakah untuk orang-orang yang kita cintai? Yaitu hubun...
Pergulatan Ekspresi: Jiwa, Raga, dan Sosial
Gambar oleh Elias Sch. dari Pixabay |
Dewasa ini, umumnya jiwa manusia telah layu, yang bermekaran hanyalah kehidupan raga dan sosialnya saja. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara sederhana, baik melalui refleksi ataupun pengamatan. Melalui refleksi, kita cukup menolehkan wajah pada cermin lalu bertanya kepada diri sendiri, "apakah kamu siap bercerai dengan ragamu?". Sedangkan melalui pengamatan, kita cukup menolehkan wajah pada kehidupan masyarakat yang semakin modern tapi justru semakin jauh dari tujuan moral bermasyarakat, yaitu menghilangkan penderitaan yang masih juga dialami oleh sebagian manusia.
Kebanyakan ekspresi manusia di era modern saat ini hanyalah representasi kebutuhan raga dan sosialnya saja. Misalnya saja percakapan sesama manusia, yang seringkali hanya gambaran dari adanya kesamaan kepentingan dan kelas sosial. Alih-alih menghasilkan kelapangan jiwa, percakapan sesama manusia justru menghasilkan ketegangan dan kecemasan jiwa melalui persaingan kepentingan.
Pendek kata, dapat menemukan ekspresi murni dari jiwa manusia di era modern saat ini adalah suatu hal yang langka dan istimewa. Lalu, jika kamu sudah benar-benar menemukannya, apa yang seharusnya dicari dari momentum kehidupan yang singkat ini?
Di kesunyian malam, badai rindu telah menghinggapi diri ini. Perasaan yang entah dari mana datangnya, apabila ditelusuri, tidak kunjung di...
Melampaui Pengalaman Empiris
Gambar oleh Andrea Stöckel-Kowall dari Pixabay |
Manusia berbahagia, pun menderita. Manusia tertawa, pun menangis. Manusia tersenyum, pun cemberut. Kehidupan manusia tidak terpisahkan ole...
Komedi dan Tragedi
Gambar oleh Franck Barske dari Pixabay |
Apakah aku harus memenuhi ekspektasimu? Atau aku tetap harus menjadi diriku? Apakah orisinalitas diri lebih utama ketimbang diriku yang ha...
Paradoks Cinta: Dualisme Ekspektasi
Gambar oleh S. Hermann & F. Richter dari Pixabay |
Dualisme Ekspektasi
Lagi-lagi kita terjebak dalam suatu paradoks. Cinta tidak dapat menerjemahkan dirinya sendiri (untuk menamai dirinya saja tidak bisa), dengan begitu cinta membutuhkan subjek penerjemah. Subjek penerjemah tersebut tidak lain adalah diri kita. Sebagai manusia, kita memiliki ego yang mewujud pada ekspektasi pasangan yang ideal. Ekspektasi itulah yang mungkin saja menjadi barang buruan ego kita, bukan cinta.
Subjek penerjemah memiliki kemungkinan untuk salah ketika membedakan mana cinta dan mana ego. Dan seringkali, hal ini terjadi pada kedua pasangan sekaligus. Alhasil, alih-alih mereka saling mencintai dengan tulus, mereka justru saling tertekan karena tuntutan untuk memenuhi ego ekspektasi pasangannya masing-masing.
Mengurai Paradoks
Pada kemungkinan pertama, seseorang mencintai orang lain karena orang itu sesuai ekspektasinya. Orang tersebut memiliki keinginan untuk mendapatkan apa yang diekspektasikannya tersebut. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan 'cinta' sebagai alat pembenaran egonya. Padahal, dia hanya mencintai egonya sendiri—yang secara kebetulan egonya itu dipuaskan oleh seseorang. Setelah egonya didapat, barulah benih-benih cinta dipaksakan untuk tumbuh dan dipertahankan. Cinta itupun tumbuh atas dasar ego.
Pada kemungkinan pertama ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa dikendalikan oleh ego masing-masing pasangannya. 'Cinta' justru digunakan sebagai alat kekuasaan yang dioperasikan oleh masing-masing ego pasangan tersebut. Misalnya, "kalau kamu tidak melakukan hal ini, artinya kamu tidak mencintai ku", "kalau kamu mencintai aku maka kamu harus nurutin kemauanku". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling menggunakan 'cinta' sebagai alat pemuas egonya masing-masing. 'Cinta' digunakan untuk mengendalikan tubuh, pikiran, bahkan perasaan pasangannya. Pendek kata, inilah cinta yang memenjarakan orisinalitas manusia.
Pada kemungkinan kedua, seseorang mencintai orang lain bukan karena orang itu sesuai ekspektasinya. Terdapat daya tarik lain (cinta itu sendiri) yang keberadaannya justru mendekonstruksi ego ekspektasi manusia tentang pasangan ideal. Pada kemungkinan ini, manusia mengorbankan egonya sebagai alat pembenaran cintanya. Setelah cintanya didapat, barulah benih-benih ego ditumbuhkan kembali. Ego yang sebelumnya dikorbankan untuk mendapatkan cinta akan kembali tumbuh, namun tumbuh atas dasar cinta.
Pada kemungkinan kedua ini, perilaku sepasang kekasih senantiasa mengalir bebas mengikuti derasnya arus cinta keduanya. Cinta berperan sebagai pelaku yang mengendalikan ego kedua pasangan tersebut. Misalnya, "kalau hal ini membuat mu semakin mencintai ku, maka akan kulakukan", "kalau nurutin kemauanku membuat cintamu redup maka jangan turutin yaa". Alhasil, kedua pasangan tersebut saling mengorbankan egonya masing-masing atas dasar hubungan cinta, bahkan karena hal itu pula cinta mereka terawat. Cinta telah bersemayam sebagai tujuan bukan alat. Pendek kata, inilah cinta yang membebaskan orisinalitas manusia.
Pada kemungkinan pertama, yaitu cinta sebagai alat pemuas ego, ekspektasi terhadap cinta memenuhi kondisi paradoks dualisme. Cinta hanya hidup di dalam angan, mimpi, dan harapan-harapan dari masing-masing ego pasangan tersebut. Cinta tidak benar-benar hidup sebagai suatu hubungan ataupun tujuan, melainkan hanyalah khayalan belaka. Pada kemungkinan kedua, yaitu ego sebagai alat pemuas cinta, ekspektasi terhadap cinta menjadi cair dan tidak menemui bentuk yang baku. Cinta mengendalikan ego manusia untuk memenuhi ekspektasi dari cinta itu sendiri, yaitu pengorbanan masing-masing ego pasangan. Dengan begitu, ekspektasi terhadap cinta bukan bersumber dari ego pasangan, melainkan dari tujuan hubungan cinta itu sendiri.
Kesimpulan
Kedua kemungkinan tersebut pada kenyataannya sulit ditemukan secara sempurna di lapangan. Faktanya, cinta bukanlah satu-satunya tujuan hidup manusia, terdapat tujuan-tujuan lainnya yang bahkan dapat lebih penting dari cinta. Hubungan manusia juga tidak sebatas dengan satu orang yang kita cintai, melainkan juga ada hubungan lainnya yang sangat mungkin lebih krusial dari hubungan cinta itu sendiri. Karenanya, pengalaman kita dalam mencintai seseorang tidak dapat dipisahkan dari rumitnya konteks yang melatari kehadiran cinta tersebut.Paradoks dualisme ekspektasi cinta hanya bisa diuraikan di atas tulisan, bukan di lapangan. Benturan ekspresi sosial dan ekspresi jiwa tidak dapat dipisahkan secara tegas batasannya. Sangat mungkin yang kita anggap sebagai ekspresi jiwa (cinta & kasih sayang) adalah ekspresi sosial (tuntutan berkeluarga & hidup berpasangan) atau bisa saja hanya ekspresi biologis semata (kebutuhan seksual). Lagi-lagi, persoalan cinta bukanlah persoalan yang mudah dibicarakan dan dipraktikan.
Namun, penulis meyakini bahwa cinta yang tulus hingga dapat melumpuhkan ego pasangan itu ada. Cinta yang seperti itulah yang berhasil melepaskan diri manusia dari paradoks dualisme ekspektasi. Cinta bukanlah milik ego pasangan, tapi ego itu sendirilah yang dimiliki oleh cinta. Dengan begitu, ekspektasi cinta hanyalah satu, bukan dari ego masing-masing, melainkan dari tujuan cinta itu sendiri.